29.2 C
Jakarta
30 April 2024, 2:31 AM WIB

Ngaturang Buah, Tradisi Kuno Desa Bali Aga, Ada Sejak 767 Masehi

BANJAR – Bali kaya tradisi. Salah satunya adalah tradisi ngaturang buah yang dilangsungkan oleh masyarakat adat di Desa Pakraman Sidatapa, salah satu desa Bali Aga di Kecamatan Banjar.

Ritual itu dilangsungkan sebagai wujud syukur atas panen raya yang berlangsung tahun ini.

Penyarikan Desa Pakraman Sidatapa, Made Parma mengungkapkan, tradisi ini sudah berlangsung secara turun temurun. Kemungkinan sejak tahun 735 saka atau sekitar tahun 767 masehi.

Tidak ada catatan tertulis yang pasti terkait hal tersebut. Namun masyarakat tetap menjalankannya secara rutin dengan penuh ikhlas.

Parma menjelaskan, ritual itu dilangsungkan sebagai wujud ucapan syukur dan ungkapan terima kasih pada Dewa yang memelihara tumbuhan.

Sekaligus mengucap syukur pada leluhur masyarakat Sidatapa yang berasal dari Gunung Agung. “Selain berterima kasih, tujuannya agar tumbuhan ini bisa tumbuh lebat di kemudian hari.

Setelah upacara di Pura Bale Agung ini, baru dilanjutkan dengan upacara di kebun di rumah. Kalau masyarakat mau melangsungkan upacara sebagai

wujud syukur di pekarangan masing-masing, silahkan. Tapi tetap harus diawali dari Pura Bale Agung ini dulu,” jelas Parma.

Lebih lanjut Parma menjelaskan, tidak ada tanggal tertentu atau dewasa tertentu untuk menyelenggarakan upacara.

Biasanya upacara digelar apabila sudah ada tanda-tanda musim panen akan tiba. Bila sudah demikian, maka Prajuru Desa harus mengumumkan kepada seluruh masyarakat, bahwa upacara ngaturang buah dilaksanakan.

Dalam dresta yang dimiliki, upacara ngaturang buah biasanya akan dilangsungkan selama tiga hari. Pada hari pertama, masyarakat wajib membawa tiga butir buah durian.

Apabila ada yang memiliki buah-buahan lain, dipersilahkan membawanya. Biasanya masyarakat yang memiliki buah manggis, akan membawa sedikitnya tiga kilogram manggis.

Sementara yang memiliki buah rambutan, membawa sedikitnya tiga ikat. Pada hari kedua, masyarakat kembali wajib membawa dua butir buah durian.

Sedangkan pada hari ketiga, hanya satu buah durian yang wajib dibawa. “Semuanya itu buah-buahan lokal yang ada di sini. Dari dulu buah-buahan yang ada di desa kami ya itu,” jelas Parma.

Bagaimana bila ada masyarakat yang tak punya kebun durian? Menurut Parma, masyarakat sudah memahami hal tersebut.

Kalau toh ada yang tak memiliki kebun durian, biasanya mereka akan membeli pada tetangga.

“Karena ini untuk upacara, sudah tradisi juga, masyarakat sudah paham. Mereka bisa meminta ke tetangga, atau membeli pada tetangga juga bisa,” imbuhnya.

Selama ini, upacara ini selalu dilaksanakan. Kalau toh tak dilaksanakan, itu disebabkan dalam kondisi sebel desa, sehingga tidak ada upacara yang boleh dilaksanakan.

Dalam kondisi seperti itu, percaya atau tidak, pohon buah warga tidak berbuah. “Kalau ada yang berbuah juga jarang-jarang,” tandas Parma.

BANJAR – Bali kaya tradisi. Salah satunya adalah tradisi ngaturang buah yang dilangsungkan oleh masyarakat adat di Desa Pakraman Sidatapa, salah satu desa Bali Aga di Kecamatan Banjar.

Ritual itu dilangsungkan sebagai wujud syukur atas panen raya yang berlangsung tahun ini.

Penyarikan Desa Pakraman Sidatapa, Made Parma mengungkapkan, tradisi ini sudah berlangsung secara turun temurun. Kemungkinan sejak tahun 735 saka atau sekitar tahun 767 masehi.

Tidak ada catatan tertulis yang pasti terkait hal tersebut. Namun masyarakat tetap menjalankannya secara rutin dengan penuh ikhlas.

Parma menjelaskan, ritual itu dilangsungkan sebagai wujud ucapan syukur dan ungkapan terima kasih pada Dewa yang memelihara tumbuhan.

Sekaligus mengucap syukur pada leluhur masyarakat Sidatapa yang berasal dari Gunung Agung. “Selain berterima kasih, tujuannya agar tumbuhan ini bisa tumbuh lebat di kemudian hari.

Setelah upacara di Pura Bale Agung ini, baru dilanjutkan dengan upacara di kebun di rumah. Kalau masyarakat mau melangsungkan upacara sebagai

wujud syukur di pekarangan masing-masing, silahkan. Tapi tetap harus diawali dari Pura Bale Agung ini dulu,” jelas Parma.

Lebih lanjut Parma menjelaskan, tidak ada tanggal tertentu atau dewasa tertentu untuk menyelenggarakan upacara.

Biasanya upacara digelar apabila sudah ada tanda-tanda musim panen akan tiba. Bila sudah demikian, maka Prajuru Desa harus mengumumkan kepada seluruh masyarakat, bahwa upacara ngaturang buah dilaksanakan.

Dalam dresta yang dimiliki, upacara ngaturang buah biasanya akan dilangsungkan selama tiga hari. Pada hari pertama, masyarakat wajib membawa tiga butir buah durian.

Apabila ada yang memiliki buah-buahan lain, dipersilahkan membawanya. Biasanya masyarakat yang memiliki buah manggis, akan membawa sedikitnya tiga kilogram manggis.

Sementara yang memiliki buah rambutan, membawa sedikitnya tiga ikat. Pada hari kedua, masyarakat kembali wajib membawa dua butir buah durian.

Sedangkan pada hari ketiga, hanya satu buah durian yang wajib dibawa. “Semuanya itu buah-buahan lokal yang ada di sini. Dari dulu buah-buahan yang ada di desa kami ya itu,” jelas Parma.

Bagaimana bila ada masyarakat yang tak punya kebun durian? Menurut Parma, masyarakat sudah memahami hal tersebut.

Kalau toh ada yang tak memiliki kebun durian, biasanya mereka akan membeli pada tetangga.

“Karena ini untuk upacara, sudah tradisi juga, masyarakat sudah paham. Mereka bisa meminta ke tetangga, atau membeli pada tetangga juga bisa,” imbuhnya.

Selama ini, upacara ini selalu dilaksanakan. Kalau toh tak dilaksanakan, itu disebabkan dalam kondisi sebel desa, sehingga tidak ada upacara yang boleh dilaksanakan.

Dalam kondisi seperti itu, percaya atau tidak, pohon buah warga tidak berbuah. “Kalau ada yang berbuah juga jarang-jarang,” tandas Parma.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/