31 C
Jakarta
8 Desember 2024, 18:07 PM WIB

Ajak Selalu Bersyukur, Paling Sedih Menyaksikan Pasien Sekarat

Selama 14 hari menjalani isolasi di rumah sakit, Ngatiman, 63, mendapat banyak pengalaman berharga. Ia menyaksikan orang berjuang mempertahankan hidup akibat Covid-19.

 

MAULANA SANDIJAYA, Tabanan

SETIAP batuk dada Ngatiman terasa sakit. Napasnya juga tersengal-sengal. Wajah pria 63 tahun itu pucat pasi.

Ia terbaring pasrah di bad ruang UGD salah satu rumah sakit di Kabupaten Tabanan. Istri, anak, dan menantunya terus berdoa agar sang ayah kuat.

Tidak lama kemudian hasil rontgen Ngatiman keluar. Dokter jaga memanggil anak Ngatiman.

“Banyak flek putih pada paru-paru Pak Ngatiman. Dan, berdasar hasil swab, Pak Ngatiman positif Covid-19,” ujar dokter jaga dengan pakaian alat pelindung diri (APD) lengkap itu.

Dokter lantas menunjukkan hasil rontgen kepada anak Ngatiman. Flek putih di paru-paru Ngatiman seperti bercak yang menempel.

“Melihat kondisi Pak Ngatiman, maka harus diisolasi,” imbuh dokter. Setelah rapat darurat keluarga, Ngatiman akhirnya setuju diisolasi.

Lebih cepat lebih baik. Dokter dan perawat menyiapkan segala keperluan untuk isolasi. Sementara keluarga Ngatiman mengurus administrasi.

Ngatiman kemudian dinaikkan ke atas kursi roda dibawa ke lantai dua ruang isolasi. Di depan ruang isolasi ada tulisan mencolok “Ruang Isolasi. Dilarang Masuk”.

“Doakan bapak supaya cepat sembuh,” kata Ngatiman kepada salah seorang anaknya. Setelah masuk ruang isolasi, pria asal Jombang, Jawa Timur, itu mendapat bantuan oksigen karena kondisinya yang tidak stabil.

Malam itu menjadi malam pertama Ngatiman di ruang isolasi. Rata-rata pasien yang diisolasi bersama Ngatiman sudah lanjut usia.

Di dalam satu ruangan ada delapan bed atau tempat tidur. Setiap tempat tidur disekat gorden. Ngatiman mendapat tempat tidur di tepi jendela.

Dari balik jendela ia bisa melihat orang melintas di lorong rumah sakit. Selama menjalani isolasi, Ngatiman tidak boleh dibesuk.

Keluarganya boleh membawakan makanan atau pakaian dengan cara dicantolkan di gagang pintu. Agar tidak tertukar, kantong diisi tulisan nama pasien.

Setelah itu perawat yang membawa masuk ke dalam. Perawat masuk ke dalam pun harus sesuai jadwal, pukul 06.00, 11.00, dan 22.00. Selain jam itu tidak boleh masuk.

“Selama isolasi, mental harus benar-benar siap,” kata Ngatiman saat diwawancarai kemarin. Betapa tidak, selama isolasi Ngatiman melihat banyak pasien yang berjuang antara hidup dan mati.

Sebagian pasien terutama yang sudah lanjut usia gagal bertahan hidup. Terutama mereka yang memiliki riwayat penyakit bawaan.

“Kadang pagi pasien masuk, sorenya keluar sudah meninggal,” tutur kakek tujuh cucu itu. Yang membuat Ngatiman harus menguatkan mental ketika melihat pasien lain di dekatnya sekarat.

Ia harus menyaksikan dan mendengar pasien meracau serta berteriak kesakitan menjelang ajalnya.

“Kalau mental tidak kuat bisa down. Makanya, ketika masuk di dalam ruang isolasi harus mentalnya dikuatkan, harus fokus pada diri sendiri. Bahwa menjalani isolasi untuk sembuh,” paparnya.

Karena perawat tidak masuk setiap saat, antara pasien yang satu dengan yang lain harus kompak. Misalnya, ketika ada pasien yang infusnya tidak lancar, pasien lain harus menolong.

Ngatiman mengaku banyak berdoa pada Tuhan. Selain itu, ia meminum vitamin dan obat yang diberikan dokter.

Keluarga Ngatiman juga banyak mengirimkan makanan sehat seperti buah dan susu. “Karena pingin cepat sembuh, semua makanan yang ada saya makan,” ucapnya lantas tertawa.

Diakui Ngatiman peran keluarga dalam proses penyembuhan sangat besar. Anak, menantu, cucu, selalu menghibur lewat video call.

Motivasi itulah yang membuat Ngatiman semangat sembuh. Selain itu, anjuran dokter selama menjalani perawatan juga harus dilakukan.

Tepat hari ke-14, Ngatiman diizinkan pulang ke rumah. Wajahnya segar dan napasnya longgar. Ia juga tidak perlu duduk di kursi roda.

Ngatiman benar-benar sembuh. Saat keluar rumah sakit senyumnya terus mengembang seraya mengucap kalimat syukur.

Ia berpesan, bahwa Covid-19 memang nyata. Gejala yang ia rasakan awalnya panas, batuk, dan hilang penciuman dan indera perasa.

“Bersyukur bagi kita yang diberikan sehat dan umur panjang. Jangan sampai menyepelekan dan masuk ruang isolasi seperti saya,” pungkasnya.(*)

Selama 14 hari menjalani isolasi di rumah sakit, Ngatiman, 63, mendapat banyak pengalaman berharga. Ia menyaksikan orang berjuang mempertahankan hidup akibat Covid-19.

 

MAULANA SANDIJAYA, Tabanan

SETIAP batuk dada Ngatiman terasa sakit. Napasnya juga tersengal-sengal. Wajah pria 63 tahun itu pucat pasi.

Ia terbaring pasrah di bad ruang UGD salah satu rumah sakit di Kabupaten Tabanan. Istri, anak, dan menantunya terus berdoa agar sang ayah kuat.

Tidak lama kemudian hasil rontgen Ngatiman keluar. Dokter jaga memanggil anak Ngatiman.

“Banyak flek putih pada paru-paru Pak Ngatiman. Dan, berdasar hasil swab, Pak Ngatiman positif Covid-19,” ujar dokter jaga dengan pakaian alat pelindung diri (APD) lengkap itu.

Dokter lantas menunjukkan hasil rontgen kepada anak Ngatiman. Flek putih di paru-paru Ngatiman seperti bercak yang menempel.

“Melihat kondisi Pak Ngatiman, maka harus diisolasi,” imbuh dokter. Setelah rapat darurat keluarga, Ngatiman akhirnya setuju diisolasi.

Lebih cepat lebih baik. Dokter dan perawat menyiapkan segala keperluan untuk isolasi. Sementara keluarga Ngatiman mengurus administrasi.

Ngatiman kemudian dinaikkan ke atas kursi roda dibawa ke lantai dua ruang isolasi. Di depan ruang isolasi ada tulisan mencolok “Ruang Isolasi. Dilarang Masuk”.

“Doakan bapak supaya cepat sembuh,” kata Ngatiman kepada salah seorang anaknya. Setelah masuk ruang isolasi, pria asal Jombang, Jawa Timur, itu mendapat bantuan oksigen karena kondisinya yang tidak stabil.

Malam itu menjadi malam pertama Ngatiman di ruang isolasi. Rata-rata pasien yang diisolasi bersama Ngatiman sudah lanjut usia.

Di dalam satu ruangan ada delapan bed atau tempat tidur. Setiap tempat tidur disekat gorden. Ngatiman mendapat tempat tidur di tepi jendela.

Dari balik jendela ia bisa melihat orang melintas di lorong rumah sakit. Selama menjalani isolasi, Ngatiman tidak boleh dibesuk.

Keluarganya boleh membawakan makanan atau pakaian dengan cara dicantolkan di gagang pintu. Agar tidak tertukar, kantong diisi tulisan nama pasien.

Setelah itu perawat yang membawa masuk ke dalam. Perawat masuk ke dalam pun harus sesuai jadwal, pukul 06.00, 11.00, dan 22.00. Selain jam itu tidak boleh masuk.

“Selama isolasi, mental harus benar-benar siap,” kata Ngatiman saat diwawancarai kemarin. Betapa tidak, selama isolasi Ngatiman melihat banyak pasien yang berjuang antara hidup dan mati.

Sebagian pasien terutama yang sudah lanjut usia gagal bertahan hidup. Terutama mereka yang memiliki riwayat penyakit bawaan.

“Kadang pagi pasien masuk, sorenya keluar sudah meninggal,” tutur kakek tujuh cucu itu. Yang membuat Ngatiman harus menguatkan mental ketika melihat pasien lain di dekatnya sekarat.

Ia harus menyaksikan dan mendengar pasien meracau serta berteriak kesakitan menjelang ajalnya.

“Kalau mental tidak kuat bisa down. Makanya, ketika masuk di dalam ruang isolasi harus mentalnya dikuatkan, harus fokus pada diri sendiri. Bahwa menjalani isolasi untuk sembuh,” paparnya.

Karena perawat tidak masuk setiap saat, antara pasien yang satu dengan yang lain harus kompak. Misalnya, ketika ada pasien yang infusnya tidak lancar, pasien lain harus menolong.

Ngatiman mengaku banyak berdoa pada Tuhan. Selain itu, ia meminum vitamin dan obat yang diberikan dokter.

Keluarga Ngatiman juga banyak mengirimkan makanan sehat seperti buah dan susu. “Karena pingin cepat sembuh, semua makanan yang ada saya makan,” ucapnya lantas tertawa.

Diakui Ngatiman peran keluarga dalam proses penyembuhan sangat besar. Anak, menantu, cucu, selalu menghibur lewat video call.

Motivasi itulah yang membuat Ngatiman semangat sembuh. Selain itu, anjuran dokter selama menjalani perawatan juga harus dilakukan.

Tepat hari ke-14, Ngatiman diizinkan pulang ke rumah. Wajahnya segar dan napasnya longgar. Ia juga tidak perlu duduk di kursi roda.

Ngatiman benar-benar sembuh. Saat keluar rumah sakit senyumnya terus mengembang seraya mengucap kalimat syukur.

Ia berpesan, bahwa Covid-19 memang nyata. Gejala yang ia rasakan awalnya panas, batuk, dan hilang penciuman dan indera perasa.

“Bersyukur bagi kita yang diberikan sehat dan umur panjang. Jangan sampai menyepelekan dan masuk ruang isolasi seperti saya,” pungkasnya.(*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/