25.2 C
Jakarta
22 November 2024, 7:46 AM WIB

Pandemi Covid-19, Pelukis Batu Vulkanik Batur Sepi Peminat

DENPASAR – Jika biasa lukisan terbuat dari cat dengan media kanvas atau sejenisnya, di kawasan Kintamani, sedikit berbeda.

Mereka menggunakan media batu vulkanik berwarna hitam. Mereka menghancurkan batu tersebut menjadi berbentuk serbuk sebelum ditempel di media kertas.

Setelah itu, mereka mengecat serpihan tersebut menjadi berbagai lukisan seperti lukisan barong, Gunung Batur, dan sebagainya.

Untuk wisatawan lokal, mereka menjual satu lukisan dengan harga Rp 100 ribu. Untuk wisatawan mancanegara, harga jualnya dua kali lipat lebih mahal dari wisatawan mancanegara.

“Unik lukisan ini. Berbeda dari lukisan lain yang dijual di daerah lain seperti Denpasar atau Ubud. Kebetulan saya bisa sedikit-sedikit melukis,” terang pelukis Made Mara.

Sebelum pandemi Covid-19, Made Mara dan sembilan pelukis lainnya bisa menjual setidaknya dua sampai empat lukisan ke wisatawan.

Dia pun bisa mengantongi penghasilan sebesar Rp 400 ribu per hari. Namun, kini tinggal kenangan. Sebab dia mengaku tidak ada yang membeli lukisannya selama pandemi.

Padahal, inilah mata pencarian utamanya dalam enam tahun terakhir. Sebelumnya dia bekerja sebagai buruh tani.

“Mau bagaimana lagi. Tidak ada yang beli sampai sekarang. Kalau ada, sangat jarang dan hanya satu atau dua lukisan saja yang laku,” ungkap ayah tiga anak tersebut.

Berdasar pantauan Jawa Pos Radar Bali, memang sedikit wisatawan yang datang ke kawasan Kintamani.

Mereka juga jarang membeli lukisan atau pernah-pernik lainnya seperti gelang yang juga terbuat dari batu vulkanik.

Wisawatan yang didominasi oleh wisatawan lokal, lebih dominan memilih berkunjung ke coffee shop yang mulai menjamur di Kintamani. 

DENPASAR – Jika biasa lukisan terbuat dari cat dengan media kanvas atau sejenisnya, di kawasan Kintamani, sedikit berbeda.

Mereka menggunakan media batu vulkanik berwarna hitam. Mereka menghancurkan batu tersebut menjadi berbentuk serbuk sebelum ditempel di media kertas.

Setelah itu, mereka mengecat serpihan tersebut menjadi berbagai lukisan seperti lukisan barong, Gunung Batur, dan sebagainya.

Untuk wisatawan lokal, mereka menjual satu lukisan dengan harga Rp 100 ribu. Untuk wisatawan mancanegara, harga jualnya dua kali lipat lebih mahal dari wisatawan mancanegara.

“Unik lukisan ini. Berbeda dari lukisan lain yang dijual di daerah lain seperti Denpasar atau Ubud. Kebetulan saya bisa sedikit-sedikit melukis,” terang pelukis Made Mara.

Sebelum pandemi Covid-19, Made Mara dan sembilan pelukis lainnya bisa menjual setidaknya dua sampai empat lukisan ke wisatawan.

Dia pun bisa mengantongi penghasilan sebesar Rp 400 ribu per hari. Namun, kini tinggal kenangan. Sebab dia mengaku tidak ada yang membeli lukisannya selama pandemi.

Padahal, inilah mata pencarian utamanya dalam enam tahun terakhir. Sebelumnya dia bekerja sebagai buruh tani.

“Mau bagaimana lagi. Tidak ada yang beli sampai sekarang. Kalau ada, sangat jarang dan hanya satu atau dua lukisan saja yang laku,” ungkap ayah tiga anak tersebut.

Berdasar pantauan Jawa Pos Radar Bali, memang sedikit wisatawan yang datang ke kawasan Kintamani.

Mereka juga jarang membeli lukisan atau pernah-pernik lainnya seperti gelang yang juga terbuat dari batu vulkanik.

Wisawatan yang didominasi oleh wisatawan lokal, lebih dominan memilih berkunjung ke coffee shop yang mulai menjamur di Kintamani. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/