29.2 C
Jakarta
30 April 2024, 2:38 AM WIB

Mimih! Nasib Kesenian Gandrung Desa Adat Liligundi: Nihil Penerus, Puluhan Tahun Tak Dipentaskan

AMLAPURA – Karangasem memiliki sejumlah kesenian tua yang usianya cukup lama. Namun, kesenian ini ada yang terus berlanjut generasinya, ada juga yang terhenti karena tak generasi penerus.

Pada 2019 lalu, Dinas Kebudayaan Karangasem melakukan rekontsruksi terhadap kesenian yang usianya uzur. Beberapa di antaranya, tari topeng di Kelurahan Subagan, tari Seraman di Desa Bukit, hingga tari baris. Namun program rekonstruksi ini terhenti di tahun 2020 lalu hingga saat ini lantaran keterbatasan anggaran untuk penanganan covid-19.

Ternyata masih ada sejumlah kesenian tua yang memerlukan perhatian. Khususnya kesenian yang sudah tak lagi dipentaskan. Terputus karena tak ada lagi yang melanjutkan serta belum sempat diwariskan generasi sebelumnya dan para pelaku seninya juga telah meninggal. Seperti kesenian tari gandrung di Desa Adat Liligundi, Desa Bebandem Kecamatan Bebandem.

Tarian rakyat yang kerap dipentaskan untuk hiburan masyarakat setempat pun sudah puluhan tahun tak lagi dipertontonkan. Bahkan, generasi milinial di Desa Adat Liligundi tak banyak yang tahu. “Tarian gandrung itu penarinya laki-laki semua. Biasanya dipentaskan malam hari. Itu untuk hiburan rakyat,” kata salah seorang tokoh di Desa Adat Liligundi, I Komang Wenten, Minggu (16/10).

Bahkan tarian tersebut dipentaskan terakhir kali lebih dari dua puluh tahun lalu. “Kalau anak dari penari-penarinya masih. Tapi karena generasi tidak ada, jadi tarian itu seolah menghilang,” terangnya.

Hal itu juga diungkapkan Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Karangasem, I Wayan Astika. Taria gandrung tersebut merupakan tarian yang dipentaskan kaum laki-laki dengan pengiring instrumen dari cungklik atau bambu. “Itu termasuk kesenian yang cukup tua di Desa Adat Liligundi,” terangnya.

Disinggung apakah akan dilakukan rekonstruksi terhadap tarian gandrung ini, Astika mengatakan untuk rekonstruksi sendiri membutuhkan sejumlah dukungan dari berbagai pihak. Mulai dari masyarakat setempat, penggalian data, literasi dengan mengajak akademisi. “Jadi referensinya harus kuat. Termasuk membutuhkan anggaran juga,” kata Astika.

Sayangnya, untuk saat ini belum ada rencana dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata untuk melakukan rekontsruksi terhadap kesenian gandrung ini. “Upaya untuk ke arah itu (rekonstruksi) ada, tapi memang belum bisa dilakukan,” tandasnya. (zulfika Rahman/rid)

 

AMLAPURA – Karangasem memiliki sejumlah kesenian tua yang usianya cukup lama. Namun, kesenian ini ada yang terus berlanjut generasinya, ada juga yang terhenti karena tak generasi penerus.

Pada 2019 lalu, Dinas Kebudayaan Karangasem melakukan rekontsruksi terhadap kesenian yang usianya uzur. Beberapa di antaranya, tari topeng di Kelurahan Subagan, tari Seraman di Desa Bukit, hingga tari baris. Namun program rekonstruksi ini terhenti di tahun 2020 lalu hingga saat ini lantaran keterbatasan anggaran untuk penanganan covid-19.

Ternyata masih ada sejumlah kesenian tua yang memerlukan perhatian. Khususnya kesenian yang sudah tak lagi dipentaskan. Terputus karena tak ada lagi yang melanjutkan serta belum sempat diwariskan generasi sebelumnya dan para pelaku seninya juga telah meninggal. Seperti kesenian tari gandrung di Desa Adat Liligundi, Desa Bebandem Kecamatan Bebandem.

Tarian rakyat yang kerap dipentaskan untuk hiburan masyarakat setempat pun sudah puluhan tahun tak lagi dipertontonkan. Bahkan, generasi milinial di Desa Adat Liligundi tak banyak yang tahu. “Tarian gandrung itu penarinya laki-laki semua. Biasanya dipentaskan malam hari. Itu untuk hiburan rakyat,” kata salah seorang tokoh di Desa Adat Liligundi, I Komang Wenten, Minggu (16/10).

Bahkan tarian tersebut dipentaskan terakhir kali lebih dari dua puluh tahun lalu. “Kalau anak dari penari-penarinya masih. Tapi karena generasi tidak ada, jadi tarian itu seolah menghilang,” terangnya.

Hal itu juga diungkapkan Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Karangasem, I Wayan Astika. Taria gandrung tersebut merupakan tarian yang dipentaskan kaum laki-laki dengan pengiring instrumen dari cungklik atau bambu. “Itu termasuk kesenian yang cukup tua di Desa Adat Liligundi,” terangnya.

Disinggung apakah akan dilakukan rekonstruksi terhadap tarian gandrung ini, Astika mengatakan untuk rekonstruksi sendiri membutuhkan sejumlah dukungan dari berbagai pihak. Mulai dari masyarakat setempat, penggalian data, literasi dengan mengajak akademisi. “Jadi referensinya harus kuat. Termasuk membutuhkan anggaran juga,” kata Astika.

Sayangnya, untuk saat ini belum ada rencana dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata untuk melakukan rekontsruksi terhadap kesenian gandrung ini. “Upaya untuk ke arah itu (rekonstruksi) ada, tapi memang belum bisa dilakukan,” tandasnya. (zulfika Rahman/rid)

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/