28.6 C
Jakarta
10 Desember 2024, 19:25 PM WIB

Sebut Ada Mafia Tanah, Ipung Mengadu ke KPK

DENPASAR– Siti Sapurah atau yang akrab disapa Ipung mengirimkan surat ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait perkara tanahnya di Kampung Bugis, Serangan, Denpasar Selatan.

Aktivis perlindungan perempuan dan anak itu meyakini ada mafia yang sengaja mengambil alih tanah warisan leluhurnya. Lalu, siapa saja yang diadukan ke KPK? Ipung tidak menyebut secara spesifik.

Menurutnya ada beberapa pihak yang diduga terlibat dalam pengambilalihan tanahnya. Mulai dari oknum aparat terbawah hingga oknum di tingkat Pemkot Denpasar.

Selain KPK, dia juga mengadu ke Kejagung, Kementerian ATR, dan Kementerian Lingkungan Hidup. “Surat pengaduan kami kirim per hari ini, tembusan ke Kejati Bali, BPN Bali, dan Ombudsman RI,” ujar Ipung, Kamis (2/6).

Ipung menambahkan, dirinya juga sudah mengirim somasi Lurah Serangan dan Bendesa Adat Serangan dengan batas waktu tujuh hari. Jika tujuh hari tidak ada tanggapan, dirinya akan menutup jalan yang dibangun diatas tanah miliknya.

Menurut Ipung, tanah yang dipersoalkan itu merupakan warisan dari orang tuanya. “Hak atas tanah itu diperkuat keluarnya putusan PN Denpasar hingga Mahkamah Agung,” tegasnya.

Masalah muncul saat keluarnya SK Wali Kota Denpasar Nomor 188.45/575/HK/2014. SK tersebut mengacu pada surat berita acara tertanggal 2 Mei 2016 di Kantor Lurah Serangan tentang penyerahan tanah dari PT BTID selaku pihak pertama, dan I Made Sedana mewakili Desa Adat Serangan sebagai Pihak II.

Berdasar SK itu, tanah Ipung dibangun jalan raya di kawasan Serangan oleh Pemkot Denpasar.

Ipung merasa heran dengan SK Wali Kota Denpasar yang terbit 2014. SK itu dinilai tidak sinkron dengan berita acara penyerahan pada 2 Mei 2016.

Ipung juga menanyakan siapa yang mewakili keluarga besarnya, yaitu keluarga Daeng Abdul Kadir, sehingga bisa terbit SK. Ipung mengaku terpaksa bersikap tegas mengadu ke aparat hukum lantaran sudah beberapa kali meminta pertanggungjawaban, tapi tak ada respons dari pemerintah daerah. “Saya ini masyarakat biasa, tidak punya apa-apa. Saya merasa seperti diinjak-injak,” cetusnya. (san)

DENPASAR– Siti Sapurah atau yang akrab disapa Ipung mengirimkan surat ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait perkara tanahnya di Kampung Bugis, Serangan, Denpasar Selatan.

Aktivis perlindungan perempuan dan anak itu meyakini ada mafia yang sengaja mengambil alih tanah warisan leluhurnya. Lalu, siapa saja yang diadukan ke KPK? Ipung tidak menyebut secara spesifik.

Menurutnya ada beberapa pihak yang diduga terlibat dalam pengambilalihan tanahnya. Mulai dari oknum aparat terbawah hingga oknum di tingkat Pemkot Denpasar.

Selain KPK, dia juga mengadu ke Kejagung, Kementerian ATR, dan Kementerian Lingkungan Hidup. “Surat pengaduan kami kirim per hari ini, tembusan ke Kejati Bali, BPN Bali, dan Ombudsman RI,” ujar Ipung, Kamis (2/6).

Ipung menambahkan, dirinya juga sudah mengirim somasi Lurah Serangan dan Bendesa Adat Serangan dengan batas waktu tujuh hari. Jika tujuh hari tidak ada tanggapan, dirinya akan menutup jalan yang dibangun diatas tanah miliknya.

Menurut Ipung, tanah yang dipersoalkan itu merupakan warisan dari orang tuanya. “Hak atas tanah itu diperkuat keluarnya putusan PN Denpasar hingga Mahkamah Agung,” tegasnya.

Masalah muncul saat keluarnya SK Wali Kota Denpasar Nomor 188.45/575/HK/2014. SK tersebut mengacu pada surat berita acara tertanggal 2 Mei 2016 di Kantor Lurah Serangan tentang penyerahan tanah dari PT BTID selaku pihak pertama, dan I Made Sedana mewakili Desa Adat Serangan sebagai Pihak II.

Berdasar SK itu, tanah Ipung dibangun jalan raya di kawasan Serangan oleh Pemkot Denpasar.

Ipung merasa heran dengan SK Wali Kota Denpasar yang terbit 2014. SK itu dinilai tidak sinkron dengan berita acara penyerahan pada 2 Mei 2016.

Ipung juga menanyakan siapa yang mewakili keluarga besarnya, yaitu keluarga Daeng Abdul Kadir, sehingga bisa terbit SK. Ipung mengaku terpaksa bersikap tegas mengadu ke aparat hukum lantaran sudah beberapa kali meminta pertanggungjawaban, tapi tak ada respons dari pemerintah daerah. “Saya ini masyarakat biasa, tidak punya apa-apa. Saya merasa seperti diinjak-injak,” cetusnya. (san)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/