DENPASAR – Ada yang menarik saat sidang tuntutan kasus ujaran kebencian dengan terdakwa front man Superman Is Dead (SID) I Gede Aryastina alias JRX di PN Denpasar kemarin.
JPU yang dikoordinir Otong Hendra Rahayu meminta telepon genggam merek iPhone 7 milik JRX yang digunakan membuat status dirampas untuk negara.
Hakim memberikan kesempatan terdakwa dan penasihat hukumnya untuk mengajukan pledoi. “Saya dan penasihat hukum akan mengajukan pledoi sendiri-sendiri,” kata JRX.
Hakim memberikan waktu sepekan. Sementara itu, Nora Alexadra, usai mengantarkan JRX ke mobil tahanan langsung menemui Gendo dkk.
Perempuan darah campuran Swiss – Jember, kelahiran 12 November 1994 itu tak percaya dengan tuntutan JPU.
“Kaget lho aku, kak. Tiga tahun. Sampai gemetaran aku, lihat ini tanganku,” ujarnya sambil menunjuk tangannya.
Gendo dan Teguh Santoso yang diwawancarai terpisah mengaku tidak kaget dengan tuntutan tinggi JPU. Kasus yang dihadapi JRX tidak akan biasa lantaran banyak campur tangan lain.
“Melihat fakta persidangan, saksi melapor lisan dibuatkan tertulis, pasal penghinaan jadi kebencian, kami sudah memprediksi, tuntutannya tidak akan biasa (tinggi),” kata Gendo.
Soal JRX walk out (WO) sebagai hal yang memberatkan, menurut Gendo hal itu tidak masuk akal. Katanya, JPU terkesan hanya mencari alasan untuk melegitimasi tuntutannya yang tinggi.
Menurut Gendo, JRX WO untuk menegakkan hukum acara. Tindakan WO itu juga dikabulkan oleh ketua majelis hakim yang mempersilakan terdakwa untuk walk out.
Hal lain yg menunjukan alasan JPU yaitu pada surat tuntutannya JPU menyatakan bahwa tindakan atau aktivitas sosial dari JRX tidak bisa menjadi pemaaf, tetapi hanya bisa sebagai hal yg meringankan.
“Faktanya, tidak satupun dalam hal yang meringankan tertulis terdakwa sangat aktif melakukan gerakan sosial di masa pandemi,” sentilnya.
Sementara itu, Teguh menyebut JPU telah melakukan contradictio interminis alias rancu di dalam mengajukan tuntutan.
Sebab, JPU dalam tuntutannya menyertakan berita acara pemeriksaan (BAP) yang berisi keterangan saksi ahli Bahasa Wahyu Aji Wibowo.
Sementara keterangan saksi ahli di dalam sidang tidak ada yang dikutip jaksa. Yang dikutip justru BAP. Hal ini bertentangan dengan ketentuan Pasal 186 dan Pasal 187 KUHAP.
Dalam Pasal 186 KUHAP, keterangan ahli adalah apa yang disampaikan di persidangan. “Dalam keterangannya, ahli menyebut ini (postingan JRX) sebagai tanggapan sikap, bukan ancaman kebencian,” terang Teguh.
Selama persidangan JPU juga tidak pernah mengajukan BAP sebagai bukti. Jika itu dilakukan, maka JPU melanggar Pasal 187 KUHAP. “Selain rancu, ini juga bisa disebut manipulasi tuntutan,” pungkasnya.