DENPASAR– Jaksa penuntut umum (JPU) menghadirkan dua orang saksi ahli dalam sidang lanjutan dugaan korupsi dana aci-aci/sesajen dengan terdakwa Kepala Dinas Kebudayaan (nonaktif) Kota Denpasar, I Gusti Ngurah Bagus Mataram.
Saksi ahli tersebut adalah ahli pidana Universitas Udayana (Unud), Made Gede Subha Karma Resen dan ahli dari BPKP Perwakilan Provinsi Bali, I Gusti Setya Rudi.
Keterangan Subha maupun Rudi semakin membuat posisi terdakwa kian tersudut. Subha pada pokoknya memberikan keterangan, bahwa bantuan aci-aci/sesajen yang bersumber dari dana Bantuan Keuangan Khusus (BKK) pemerintah merupakan ruang lingkup pengadaan barang dan jasa (PBJ). Karena itu harus tunduk pada Perpres Nomor 16/2018.
Perubahan kegiatan harus berdasarkan pada mekanisme perubahan anggaran dan rencana kerja. Tidak dibenarkan membuat kebijakan yang bertentangan dengan aturan yang berlaku.
“Berdasar aturan yang berlaku, tidak dibenarkan membuat peralihan kegiatan dari PBJ menjadi bantuan langsung (uang) untuk barang dan jasa,” ujar Kasi Intel Kejari Denpasar, I Putu Eka Suyantha usai sidang kemarin (7/1).
Sementara saksi Rudi memberikan keterangan dirinya pernah melakukan audit kerugian keuangan negara pengadaan aci-aci/sesajen di Disubud Kota Denpasar. “Dilakukannya audit bertujuan untuk mencari kerugian keuangan nengara,” kata Rudi.
Kerugian yang ditemukan BPKP berasal dari pemotongan penyerahan uang dan uang hasil kegiatan yang belum diserahkan. Total kerugian Rp1,022 miliar.
Rudi menambahkan, di dalam mekanisme perubahan kegiatan harus melalui mekanisme yang telah ditentukan oleh aturan. “Jadi tidak bisa seenaknya,” cetusnya.
Sementara itu, I Komang Sutrisna selaku penasihat hukum terdakwa mempertanyakan perhitungan jumlah kerugian Rp 1 miliar lebih. Sutrisna menanyakan itu memiliki alasan tersendiri. Pasalnya, ada pengembalian dilakukan lewat rekanan Rp800 juta lebih.
“Apakah uang yang sudah dikembalikan itu sebagai kerugian negara, atau potensi kerugian negara? Kan, itu akibat kelalaian dari rekanan sudah membagikan uang sebelum tahun anggaran 2021,” tanya Sutrisna.
Sutrisna menilai uang yang sudah dikembalikan bukan kerugian negara, tapi potensi kerugian. Apalagi uang belum digunakan. Saksi dari BPKP menyatakan, walau sudah dikembalikan tetap menjadi kerugian negara. Alasannya tidak masuk ke dalam dokumen tahun anggaran 2020.
Dari kerugian Rp 1,022 miliar, masih kurang Rp125 juta yang belum ketemu. “Di mana yang Rp125 juta ini? Di mana letaknya belum terdeteksi, dan belum ketemu hitung-hitungannya. Sementara rekanan sudah mengembalikan semua,” tukasnya.
Sutrisna juga menanyakan kapan kerugian negara seharusnya dilakukan. Menurut dia, jaksa sudah lebih dulu mengumumkan kerugian negara sebelum penetapan tersangka. Jaksa melakukan perhitungan sendiri.
Sidang akan dilanjutkan pekan depan dengan agenda saksi ahli dari tim pengacara terdakwa.