DENPASARi – Meski menjalani sidang tuntutan, Ni Putu Eka Wiryastuti, 46, tetap tampil tenang. Mantan Bupati Tabanan dua periode itu mendapat dukungan dari puluhan kerabatnya. Di antara keluarga besarnya itu terlihat hadir ibu tiri Eka Wiryastuti, Ni Ketut Suastiningsih. Mereka bertahan dari pagi hingga sidang selesai malam hari.
Jaksa KPK meminta majelis hakim Pengadilan Tipikor Denpasar yang diketuai I Nyoman Wiguna agar menghukum Eka Wiryastuti dengan pidana penjara selama empat tahun dan denda Rp 110 juta subsider tiga bulan kurungan.
Yang mengejutkan, jaksa KPK juga menuntut pencabutan hak politik terhadap putri Ketua DPRD Bali I Nyoman Adi Wiryatama itu. “Menjatuhkan pidana tambahan kepada terdakwa Ni Putu Eka Wiryastuti berupa pencabutan hak politik untuk dipilih dalam jabatan publik selama lima tahun, terhitung sejak terdakwa selesai menjalani pidana pokoknya,” tuntut JPU Eko Wahyu Prayitno,Kamis kemarin (11/8) malam.
Dalam tuntutannya, jaksa KPK menilai Eka Wiryastuti bersama-sama Dewa Nyoman Wiratmaja (sidang terpisah) terbukti memberikan dana commitmen fee kepada pegawai negeri, dalam hal ini pejabat Kementerian Keuangan, Yaya Purnomo dan Rifa Surya.
Uang suap itu selanjutnya disebut sebagai dana “adat istiadat”. Tujuan memberikan suap itu agar Kabupaten Tabanan mendapat kenaikan alokasi Dana Insentif Daerah (DID) tahun anggaran 2018. “Bantahan terdakwa Ni Putu Eka Wiryastuti patut dikesampingkan karena hanya pembelaan yang berdiri sendiri,” ujar JPU dari KPK RI, Eko Wahyu Prayitno, kemarin (11/8).
Lebih lanjut dijelaskan jaksa, bukti Eka melakukan suap terjadi pada 27 Desember 2017. Saat itu Eka Wiryastuti dan Dewa Wiratmaja berada di hotel yang sama di Jakarta. Di waktu yang bersamaan terjadi penyerahan uang dalam mata uang dolar USD 55.300 kepada Yaya Purnomo. Uang diserahkan oleh Dewa Wiratmaja. “Terdakwa selaku Bupati Tabanan terbukti memberi commitmen fee sebesar Rp 600 juta pada 24 Agustus dan November 2017, serta bulan Desember menyerahkan USD 55.300 kepada Yaya Purnomo dan Rifa Surya,” ungkap JPU.
Berdasar rangkaian fakta hukum persidangan, terdakwa Eka Wiryastuti tidak berjalan sendiri, tapi bersama Dewa Wiratmaja. Keduanya menjalin kerja sama erat. Terdakwa juga memerintahkan Dewa Wiratmaja melakukan pengurusan dana DID ke pusat dengan menemui Yaya Purnomo dan Rifa Surya melalui perantara Bahrullah Akbar, Wakil Ketua BPK RI. “Meski uang tidak diserahkan langsung oleh terdakwa, tetapi Dewa Wiratmaja merupakan kepanjangan tangan atau representasi dari terdakwa,” jelas JPU.
Dari rangkaian fakta hukum yang ada, perbuatan Eka Wiryastuti telah terbukti memenuhi unsur-unsur Pasal 5 huruf b UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP, sebagaimana dakwaan alternatif. Sementara pertimbangan memberatkan perbuatan terdakwa selaku kepala daerah/bupati tidak mendukung program pementasan korupsi. Terdakwa juga tidak mengakui perbuatannya.
Diwawancarai terpisah, Eka Wiryastuti tidak banyak bicara seperti biasanya. “Mohon doanya, ikuti prosesnya saja,” kata Eka sambil memasuki ruang tahanan sementara.
Sementara itu, koordinator tim penasihat hukum Eka Wiryastuti, I Gede Wija Kusuma memilih tenang menanggapi tuntutan jaksa KPK. Dikatakan Wija, KPK menilai Eka Wiryastuti terbukti melakukan penyuapan. KPK menyimpulkan niat jahat penyuapan itu ada pada diri Eka Wiryastuti. “Tetapi, saksi ahli kami sudah menjelaskan, niat jahat itu harus dibuktikan dengan perbuatan. Sementara Eka tidak kenal Yaya Purnomo dan Rifa Surya,” ucapnya.
Selain itu, penyuapan juga harus ada ijab kabul serta interaksi antara yang memberi dan menerima suap. Pihaknya akan menyiapkan pembelaan dalam pledoi. Ditanya tentang terkait tuntutan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik, Wija menganggap hal itu tidak masuk akal. “Menurut kami itu (pencabutan hak politik) mengada-ada, kan suap tidak ada kerugian negara dalam kasus ini,” tegas Wija.
Pengacara senior itu juga menyoal KPK yang mendalilkan Eka Wiryastuti sebagai otak sementara Dewa sebagi pelakunya. Menurut Wija hal itu sudah dijelaskan saksi ahli bahwa representatif tidak dikenal dalam tatanan hukum acara pidana, karena representatif itu adanya pada hukum administrasi negara. (san)