DENPASAR– Jaksa KPK berusaha keras menggali informasi sumber dana yang digunakan terdakwa I Dewa Nyoman Wiratmaja menyuap pejabat Kementerian Keuangan.
Dalam sidang di Pengadilan Tipikor Denpasar, Selasa kemarin (12/7), jaksa memperdalam adanya fee proyek yang diduga dipakai menyuap Yaya Purnomo dan Rifa Surya, pejabat Kementerian Keuangan.
Jaksa mendapat percakapan itu setelah melakukan penyadapan terhadap telepon terdakwa. Jaksa lantas memutar percakapan antara mantan Kepala Bagian Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ), Dewa Ayu Sri Budiarti dengan Dewa Wiratmaja.
Rekaman itu diputar JPU untuk mempertegas keterangan Budiarti dalam berita acara pemeriksaan (BAP) yang menyebutkan adanya pengkondisian jatah proyek yang akan dibiayai melalui DID 2018.
Antara saksi Budiarti dengan terdakwa membahas soal persentase fee 70 persen dan 30 persen dalam lelang proyek. “Pak Dewa (melalui telepon) tanya bagaimana mekanisme pembagian (fee proyek),” ungkap Budiarti.
Jaksa lantas mengejar saksi Dewa Ayu Sri Budiarti soal maksud persentase pembagian tersebut. Namun, keterangan Saksi Budiarti berputar-putar tidak jelas. “Persentase-persentase itu ide atau wangsit dari siapa? Dari rekaman tersebut, itu bukan komunikasi pertama saksi dengan terdakwa. Dilihat dari pembicaraan itu, saksi dan terdakwa sebelumnya sudah berkomunikasi,” cecar jaksa.
Akhirnya, Budiarti mengaku pembicaraan soal fee itu muncul saat dirinya dipanggil terdakwa Ni Putu Eka Wiryastuti, mantan Bupati Tabanan. Setelah itu komunikasi lebih lanjut dilakukan dengan terdakwa Wiratmaja.
Budiarti mengatakan, meski ada pembicaraan soal persentase fee, ia mengaku tidak bisa melaksanakan arahan tersebut.
“Saya tidak bisa melaksanakan arahan-arahan ibu (terdakwa Eka Wiryastuti) setelah menjadi Kepala Bakeuda (Badan Keuangan Daerah),” ucap perempuan paruh baya itu.
Selain Budiarti, JPU juga menghadirkan enam orang saksi lainnya. Mereka adalah mantan Kepala Bagian Umum Setda Kabupaten Tabanan I Made Sumerta Yasa; mantan ajudan Terdakwa Eka Wiryastuti, I Ketut Suwita; dan mantan asisten pribadi Terdakwa Eka Wiryastuti yang bernama Ayu.
Nama lain adalah mantan Kepala Dinas Pertanian, I Nyoman Budana; mantan Kepala Dinas Kesehatan dr I Nyoman Suratmika; dan mantan Kepala Dinas Kebudayaan I GN Supanji.
Ketiga kepala dinas tersebut dihadirkan karena OPD atau organisasi perangkat daerah yang mereka pimpin saat ini memperoleh anggaran yang bersumber dari DID 2018.
Mereka ditanya JPU mengenai proses pengusulan kegiatan yang belakangan dibiayai melalui DID.
Saksi Suratmika mengatakan, pihaknya hanya merancang kegiatan untuk diusulkan kepada Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD). Sedangkan untuk sumber pembiayaan tidak tahu.
Keterangan yang sama juga disampaikan mantan Kepala Dinas Pertanian I Nyoman Budana. Ia menjelaskan, perencanaan kegiatan berdasarkan proposal yang diajukan kelompok-kelompok tani dalam Musyawarah Rencana Pembangunan Daerah (Musrenbang) yang kemudian diajukan kepada TAPD.
“Saya tidak mengetahui dari mana sumber biaya dari kegiatan yang direncanakan tersebut. Saya baru tahu setelah DID cair,” ungkapnya.
Sama seperti Diskes, dinas yang pimpin saat itu memperoleh anggaran sekitar Rp 8 miliar lebih dari DID.
Setelah jaksa, giliran kuasa hukum terdakwa Eka Wiryastuti yakni Warsa T Bhuwana yang bertanya kepada saksi Budana soal realisasi anggaran yang bersumber dari DID. Dari anggaran Rp 8 miliar hanya terealisasi sekitar Rp 6,6 miliar.
Dalam keterangannya, Budana menyebutkan ada beberapa program yang pada akhirnya tidak bisa berjalan. Seperti pembangunan gedung untuk bantuan hibah dari Pemerintah Kota Toyama yang batal.
Selanjutnya anggaran pendamping sebesar 20 persen pada program Asuransi Usaha Tani Padi (AUTP) yang oleh pemerintah telah ditutupi sebesar 80 persen. Warsa lantas menanyakan apakah dari anggaran DID itu ada yang dipotong terdakwa Wiratmaja, Budana menjawab tidak ada. (san)