DENPASAR- Beredarnya video dan pemberitaan aksi penolakan terhadap upacara peringatan Maha Lingga Padma Buana atau upacara Odalan di Dusun Mangir Lor, Desa Mangir, Kecamatan Pajangan, Kabupaten Bantul menuai reaksi banyak pihak.
Bahkan atas kasus intoleransi yang kini tengah menjadi pergunjingan public dan viral itu juga langsung menuai kecaman dari para tokoh dan pemuka di Bali.
Salah satunya datang dari tokoh yang juga anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan Dapil Bali Wayan Sudirta SH.
Dikonfirmasi terkait penolakan terhadap pelaksanaan odalan di Desa Mangir Lor, Bantul, Sudirta dengan tegas menyayangkan dan menyesalkan serta mengecam tindakan penolakan itu.
Alasannya, anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI periode 2019-2024 ini menilai, tindakan itu merupakan sikap tidak menghormati warga negara lain, serta tidak hormat pada Negara.
Sebab menurut mantan Ketua Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU) DPD RI ini, secara konstitusi Negara menjamin kebebasan melaksanakan ibadah.
“Apalagi jika mencermati video dan pemberitaan dijelaskan bahwa warga sekitar di Desa Mangir tersebut tidak berkeberatan, bahkan ada yang menyediakan lahannya untuk parkir serta toilet tamu,”ujar Sudirta.
Selain itu, masih dalam kasus ini, pengacara senior asal Bali ini juga mengingatkan aparat Kepolisian (Polri) bahwa dalam kasus seperti itu, seharusnya Polri bisa menjalankan tupoksi sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat (umat yang beribadah) dan tidak tunduk pada tekanan, dengan alasan birokrasi seperti disampaikan petugas Kepolisian di video.
‘’Kami harapkan, ini yang pertama dan terakhir ada kejadian seperti ini. Umat beragama apapun tidak boleh dibiarkan mendapat perlakuan seperti ini. Kasus ini jangan dibiarkan jadi preseden yang diulang dan diulang lagi di tempat lain. Aparat harus tegas,’’ imbuh Sudirta
Pria yang merupakan mantan dari pengacara Eks Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok ini mencontohkan di Bali, ibadah keagamaan umat yang berbeda itu sudah nyata-nyata memperlihatkan kerukunan dan aktualisasi nyata filosofi Pancasila sebagai dasar negara, serta dasar berinteraksi secara sosial politik.
‘’Bukan hal aneh kalau ada sholat Jumat di masjid, yang menjaga keamanan dan ketertiban lalu lintasnya ada pecalang Desa Adat bersama Banser NU. Jadi, bukannya membubarkan, tapi malah saling menjaga.
Andaikata umat Hindu itu membuat acara, entah seminar atau ceramah yang menyerang Pancasila, menyebar kebencian, fitnah, itu wajar saja dibubarkan. Tetapi yang mereka lakukan adalah persembahyangan, mendekatkan diri kepada Tuhan, acara damai, harusnya dilindungi,’’ lanjutnya.
Untuk itu, selain meminta Polri bersikap mengayomi dan menjamin kebebasan beribadah sesuai UUD 1945, ‘’senator’’ Bali dua periode ini juga mohon perhatian Sri Sultan Hamengkubawono X, agar beliau mengantisipasi kasus seperti ini.
“Agar DIY tetap menjadi salah satu simbol pluralisme yang baik di bumi Nusantara ini,”imbuhnya.
Tak hanya itu, Sudirta juga meminta agar ke depan Polri harus lebih bersikap serius dan bertindak tegas terhadap acara-acara keagamaan yang berisi hasutan, caci maki kepada Negara dan Pancasila, yang mengadu domba, memprovokasi permusuhan dan perpecahan.
Jangan sampai menurutnya, energi aparat penegak hukum terkuras untuk melayani tekanan kelompok tertentu, yang dilakukan secara melawan konstitusi, dan menyebabkan kelompok lain terpinggirkan terus menerus.
‘’Bagi umat Hindu yang melakukan persembahyangan, mereka sesunggguhnya melestarikan tradisi dan budaya Jawa yang adiluhung, seperti yang dilestarikan oleh keluarga Keraton Yogyakarta,
dan dikreasi secara indah sampai sekarang di Bali. Secara kultural sangat banyak perimpitan budaya, sehingga bisa dimaklumi adanya sambutan baik dari warga sekitar pelaksanaan upacara dan upakara.
Tapi yang tidak bisa dipahami, mengapa yang keberatan justru dari luar desa, seperti dilansir media,’’ lanjut Sudirta.
Dalam berbagai kesempatan kunjungan pejabat, umat Hindu di seantero Nusantara sering mendapat pujian dari pejabat negara, karena kemampuannya beradaptasi, bertoleransi serta berinteraksi, baik ketika mereka ada di Bali maupun diluar Bali.
Umat Hindu di Bali terkenal karena mewarisi suatu budaya dan tradisi toleransi yang mengakar dalam filosofi dan perilaku, yang diluar Bali terkenal karena mampu beradaptasi dengan lingkungan sekitar yang berbeda budaya.
‘’Pujian itu jangan sampai tidak dirawat dan dijaga oleh negara. Toleransi, kebhinnekaan dan keindahan budaya, merupakan warisan leluhur dari sejak Kerajaan Tarumanegara, Mulawarman, Sriwijaya sampai era Majapahit.
Bung Karno dan para pendiri bangsa telah menyarikan kekayaan budaya itu menjadi Pancasila, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika, serta konstitusi UUD 1945.
Mahal sekali kerugian yang ditimbulkan kalau negara, termasuk Polri tidak maksimal merawat toleransi dan kebhinnekaan yang tidak ternilai harganya,’’ tukas Sudirta.