DENPASAR – Pasca Walhi Bali memenangkan sengketa informasi melawan Pelindo III Cabang Benoa di Kantor Komisi Informasi Provinsi Bali,
pihak pengadilan Komisi Informasi Provinsi Bali memberikan tenggang waktu selama 14 hari untuk memenuhi permintaan Walhi Bali.
Hasil putusan yang dikeluarkan pengadilan agar dipenuhi oleh pihak Pelindo III untuk diserahkan kepada Walhi Bali.
Antara lain, izin lingkungan termasuk lampiran dokumen pendukung yang dikeluarkan oleh kementerian Lingkungan tersebut.
Nah, Kamis (13/6) merupakan tenggang waktu diberikan oleh pihak pengadilan kepada pihak Pelindo III untuk mempersiapkan hasil putusan tersebut.
Kemudian, segala sesuatu sebagaimana hasil putusan diserahkan di kantor Pelindo III yang berana di area pelabuhan Benoa.
Dalam agenda serah terima tersebut, Direktur Walhi Bali Untung Juli Pratama dan tim Hukum Walhi, Adi Sumiarta bertemu di lantai dua kantor Pelindo tersebut.
Sedangkan pihak Pelindo III dihadiri oleh Astrid Fitria Kasih dari tim legal Pelindo dan Wilis Aji selaku VP Corcom Pelindo III beserta beberapa jajarannya.
“Ini kami berikan sejumlah produk kementrian lingkungan sebagaiamana yang tertuang dalam putusan pengadilan,” ujar Wilis kepada pihak Walhi Bali.
Namun saat diperiksa, pihak Pelindo III tidak menyertakan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) yang juga sebagaimana surat permohonan Walhi.
Pihak Pelindo hanya memberikan beberapa surat, seperti izin lingkungan saja. Pihak Pelindo III mengungkap Amdal tidak perlu diberikan karena dalam putusan pengadilan
tertulis dokumen yang diberikan hanya produk dari Kementerian Lingkungan Hidup saja. Sehingga pihak Pelindo III sendiri bersikukuh Amdal tak perlu diberikan.
“Amdal ini sebagai hak intelektual milik Pelindo yang dibuat dengan konsultan. Lagian atas dasar apa kami memberikan?
Kan pengadilan memerintahkan hanya memberikan produk dari Kementerian Lingkungan Hidup. Ini semua sudah kami berikan,” ujar Astrid.
Pihak Pelindo III juga menyebut Amdal tidak perlu diberikan karena juga terdapat sejumlah rahasia perusahaan.
Ketakutan lainnya, Amdal Pelindo III dapat saja disalahgunakan oleh perusahaan lainnya baik dengan mencontek ataupun hal yang dapat berakibat buruk lainnya.
“Sampai saat ini Amdal ini hanya ada di kami. Tak ada kami serahkan ke yang lain. Saya juga pastikan Amdal ini ada. Bagaimana bilang Amdal tidak ada, sedangkan izin lingkungan kami punya.
Syarat mendapatkan izin lingkungan kan harus ada Amdal lebih dahulu, nah itu kami punya izin lingkungan,” imbuh Wilis mencoba meyakinkan.
Hal tersebut pun langsung direspon oleh Walhi Bali. Mengingat dokumen yang diberikan tidak lengkap dan tidak sesuai permohonan pihak Walhi,
Untung bersama Adi Sumiarta kompak untuk menolak menerima seluruh dokumen yang sudah disiapkan tersebut.
“Amdal ini bagian dari izin lingkungan. Artinya, kementerian dalam menerbitkan izin lingkungan tentu harus ada Amdal.
Kalau sudah begitu, Amdal ini masuk dalam izin kemenetrian sebagaimana dalam putusan pengadilan dong,” tegas Adi Sumiarta.
Terlebih, Adi juga menegaskan bahwa Amdal adalah bagian dari dokumen yang wajib dibuka untuk publik. Tak ada alasan bagi Pelindo untuk menutupinya.
Untuk itu, Walhi Bali pun menolak seluruh dokumen sebelum dilengkapi seluruhnya oleh pihak Pelindo. Bahkan, Walhi juga menolak untuk menandatangani berita acara.
Dikonfirmasi terpisah, Wayan Gendo Suardana selaku Dewan Nasional Walhi dalam kasus ini menyebut tindakan yang dilakukan oleh Pelindo III merupakan tindakan semena-mena.
“Kok seenak udelnya begitu menafsirkan keputusan dari sidang ajudikasi KIP,” herannya. Baginya, sikap yang dilakukan Pelindo III ini keluar dari esensi keterbukaan informasi publik.
Khususnya dalam dokumen dalam kebijakan lingkungan hidup. Pertama, jika dibilang Amdal ini bersifat private dan hak kekayaan intelektual adalah jawaban ngawur.
Bahwa di dalamnya ada hal yang bersifat rahasia, hal tersebut sudah dikecualikan oleh putusan KIP. “Tafsirnya sudah jelas, bahwa Amdal harus diserahkan keseluruhan, kecuali matrix dan peta,” terangnya.
Nah ketika dokumen ini tidak diserahkan dengan alasan bahwa dokumen amdal ini produk Pelindo III dan bagian dari Hak Kekayaan Intelektual, maka disitulah terlihat kesewenang-wenangan dari pihak Pelindo.
Padahal yang namanya Amdal, kata Gendo merupakan dokumen terbuka untuk publik, termasuk di UU Pelindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup juga menyatakan dokumen tersebut terbuka.
“Karena Amdal tersebut secara esensial untuk mengukur dampak supaya masyarakat yang terdampak langsung mengetahui dampak dari sebuah proyek.
Kalau dihalangi karena hak kekayaan intelektual karena dibuat oleh pihak mereka, lalu di uji pemerintah, maka dimana ada klausul Amdal itu adalah hak kekayaan intelektual,
sementara dia ada uji publiknya? Dan UU KIP menyatakan setiap dokumen yang disampaikan ke publik adalah menjadi dokumen yang terbuka,” tegasnya.
Bagi Gendo, tafsir seenak udel dari Pelindo III ini sangat berbahaya bagi demokrasi. Dalam putusan KIP tersebut cukup jelas, bahwa tertuang memberikan salinan informasi
terkait izin lokasi beserta dokumen pendukungnya, izin lingkungan beserta dokumen pendukungnya yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup, termasuk izin pelaksanaan.
“Begitu izin lingkungan itu terbit berdasarkan dokumen Amdal yang dinilai oleh publik dan komisi penilai Amdal, itu sudah masuk dalam dokumen publik,” terangnya.
Dan ketika Amdal menjadi basis dokumen pendukung atas terbitnya izin lingkungan, maka Amdal menjadi satu kesatuan.
“Amdal ini sudah tidak menjadi eksklusif lagi milik Pelindo. Ini yang saya sebut semena-mena, arogan dan menafsir seenak udelnya bahkan melawan keputusan KIP,” terangnya.