26.2 C
Jakarta
22 November 2024, 2:57 AM WIB

Sidang Kasus Korupsi Dana Insentif Daerah Tabanan

Hakim Sebut Terdakwa Dewa Wiratmaja Seperti Makelar Proyek

DENPASAR– Fakta menarik terus terungkap dalam sidang dugaan suap pengurusan Dana Insentif Daerah (DID) Kabupaten Tabanan. Dalam sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor Denpasar Kamis kemarin (14/7), JPU menghadirkan Terdakwa I Dewa Nyoman Wiratmaja, mantan staf khusus Bupati Eka Wiryastuti.

 

Dalam sidang yang berlangsung dari pagi hingga sore itu, hakim I Nyoman Wiguna sempat menyebut terdakwa Dewa Wiratmaja tak ubahnya seorang broker alias makelar proyek. Hal itu didasarkan pada keterangan saksi I Made Puniarta (Direktur PT Dwi Arta Yadya Utama), dan Dewa Ketut Sukadana (Direktur CV Cipta Karya Abadi).

 

Menurut pengakuan Puniarta, terdakwa Dewa Wiratmaja meminta disiapkan dana dengan menggunakan istilah “peluru” alias uang pelicin. “Kata Pak Dewa, “peluru” itu akan digunakan untuk mengurus DID Tabanan di pusat. Jika sudah dapat (DID), nanti akan dikasih perkerjaan proyek jalan di Tabanan,” terang Puniarta.

 

Jika tidak menyerahkan “peluru” ke pusat, Tabanan tidak akan mendapat dana DID. Namun, permintaan “peluru” itu tidak pernah diberikan oleh Puniarta.

 

Menurut saksi, terdakwa pernah menawarkan proyek jembatan nilainya sekitar Rp 20 miliar. Terdakwa menyebut setelah proyek didapat harus ada mahar atau fee yang disetorkan. “Berapa maharnya, saya belum tahu karena saya tidak ambil proyek jembatan itu. Terlalu besar nilai proyeknya,” jelasnya.

 

Masih menurut saksi, terdakwa juga pernah menawarkan proyek perbaikan jalan raya. Namun, setelah mengikuti lelang, saksi tidak mendapatkan proyek itu. Ditawarkan proyek jembatan Rp 20 miliar, tidak ada pengalaman tidak diambil, katanya untuk jembatan maharnya besar, kalau begitu berapa mas kawin. “Ada peluru, jembatan, jalan, aspal, kok terdakwa ini seperti striker, bisa masuk ke semua lini,” cetus hakim Wiguna.

 

Hakim yang juga Ketua PN Denpasar itu lantas mengejar apakah selama ini di Tabanan selalu ada permintaan mahar jika ada proyek, saksi mengaku tidak tahu. “Saksi ini pemain besar, jangan bohong, lah,” sodok hakim Wiguna. Saksi kukuh tidak tahu. “Apakah selama ini yang mengatur proyek di Tabanan saudara Dewa? Apakah selalu ada uang pelicin atau peluru? Atau ada mas kawinnya,” cecar hakim. Saksi kembali mengatakan tidak tahu.

 

Hakim menyebut tidak mungkin jika saksi tidak tahu. Terlebih saksi adalah pemborong besar. Saksi menyebut hanya tahu semua paket proyek di Tabanan termasuk di pusat diurus terdakwa. “Kata Pak Dewa disuruh bupati,” kata saksi. “Menurut saya terdakwa ini seperti broker. Dia mengurus aspal, jembatan, dan peluru ke Jakarta,” tukas hakim.

 

Yang menarik adalah pengakuan saksi yang sudah lama kenal dengan I Nyoman Adi Wiryatama, ayah Eka Wiryastuti. Saksi Puniarta mengaku awal berkomunikasi dengan terdakwa Dewa Wiratmaja saat hendak menjual tempat pengolahan aspal atau Aspal Mixing Plant (AMP) tahun 2018 di Tabanan.

 

Puniarta menjual AMP karena tempat pengolahan aspalnya di Tabanan ditutup oleh desa adat setempat tahun 2016. Terakhir mengerjakan proyek dari Dinas PU Tabanan.

 

Jaksa penuntut KPK menanyakan posisi terdakwa saat komunikasi dengan saksi. Puniarta mengatakan terdakwa waktu itu bilang berada di Jakarta. Namun untuk urusan apa dirinya tidak tahu.

 

Jaksa lalu memutar rekaman percakapan telpon antara saksi Puniarta dengan terdakwa Dewa Nyoman Wiratmaja. Dalam percakapan itu terdakwa mengaku diperintah Eka ke Jakarta untuk mengurus dana APBN.

 

Sementara itu, Warsa T Bhuwana selaku penasihat hukum Eka Wiryastuti menanyakan kembali saksi Puniarta terkait dana pelicin atau “peluru”. “Apakah “peluru” yang diminta terdakwa Dewa ada hubungannya dengan pengurusan DID?” tanya Warsa. “Saya tidak tahu,” jawab saksi.

 

Warsa kembali bertanya, apakah ada pernyataan dari terdakwa Dewa Wiratmaja yang meminta “peluru” adalah Eka Wiryastuti, saksi menjawab tidak ada pesanan Eka.

 

Keterangan tidak jauh berbeda disampaikan saksi Sukadana. Dia mengaku pernah meminta proyek ke terdakwa Wiratmaja. Sukadana mengaku tahu terdakwa dekat dengan Eka Wiryastuti. “Saya pernah minta proyek di Tabanan, pengerjaan jalan setapak di Batukaru, tapi tidak dapat. Itu Tahun 2017,” ujar Sukadana.

 

Jaksa KPK menanyakan keterangan saksi yang akan memberikan fee komitmen kepada terdakwa. “Saya bilang ke Pak Dewa, bahwa saya akan memberikan dana komitmen awal kepada Bupati Eka,” ucapnya.

 

Hal itu dilakukan agar dirinya mendapat proyek di Tabanan. Saksi Sukadana mengungkapkan, terdakwa Dewa Wiratmaja juga menyuruh menyiapkan dana komitmen. Tapi, dana itu urung diberikan lantaran dirinya tidak mendapat proyek.

 

“Ya, karena tidak dapat proyek, saya tidak jadi menyerahkan dana komitmen,” ucap Sukadana.

 

Menanggapi hali itu, Gede Wija Kusuma, koordinator penasihat hukum terdakwa Eka Wiryastuti menanyakan apakah dana komitmen itu muncul dari inisiatif saksi atau terdakwa Dewa Wiratmaja. Saksi mengatakan inisiatif pribadi. (san)

 

DENPASAR– Fakta menarik terus terungkap dalam sidang dugaan suap pengurusan Dana Insentif Daerah (DID) Kabupaten Tabanan. Dalam sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor Denpasar Kamis kemarin (14/7), JPU menghadirkan Terdakwa I Dewa Nyoman Wiratmaja, mantan staf khusus Bupati Eka Wiryastuti.

 

Dalam sidang yang berlangsung dari pagi hingga sore itu, hakim I Nyoman Wiguna sempat menyebut terdakwa Dewa Wiratmaja tak ubahnya seorang broker alias makelar proyek. Hal itu didasarkan pada keterangan saksi I Made Puniarta (Direktur PT Dwi Arta Yadya Utama), dan Dewa Ketut Sukadana (Direktur CV Cipta Karya Abadi).

 

Menurut pengakuan Puniarta, terdakwa Dewa Wiratmaja meminta disiapkan dana dengan menggunakan istilah “peluru” alias uang pelicin. “Kata Pak Dewa, “peluru” itu akan digunakan untuk mengurus DID Tabanan di pusat. Jika sudah dapat (DID), nanti akan dikasih perkerjaan proyek jalan di Tabanan,” terang Puniarta.

 

Jika tidak menyerahkan “peluru” ke pusat, Tabanan tidak akan mendapat dana DID. Namun, permintaan “peluru” itu tidak pernah diberikan oleh Puniarta.

 

Menurut saksi, terdakwa pernah menawarkan proyek jembatan nilainya sekitar Rp 20 miliar. Terdakwa menyebut setelah proyek didapat harus ada mahar atau fee yang disetorkan. “Berapa maharnya, saya belum tahu karena saya tidak ambil proyek jembatan itu. Terlalu besar nilai proyeknya,” jelasnya.

 

Masih menurut saksi, terdakwa juga pernah menawarkan proyek perbaikan jalan raya. Namun, setelah mengikuti lelang, saksi tidak mendapatkan proyek itu. Ditawarkan proyek jembatan Rp 20 miliar, tidak ada pengalaman tidak diambil, katanya untuk jembatan maharnya besar, kalau begitu berapa mas kawin. “Ada peluru, jembatan, jalan, aspal, kok terdakwa ini seperti striker, bisa masuk ke semua lini,” cetus hakim Wiguna.

 

Hakim yang juga Ketua PN Denpasar itu lantas mengejar apakah selama ini di Tabanan selalu ada permintaan mahar jika ada proyek, saksi mengaku tidak tahu. “Saksi ini pemain besar, jangan bohong, lah,” sodok hakim Wiguna. Saksi kukuh tidak tahu. “Apakah selama ini yang mengatur proyek di Tabanan saudara Dewa? Apakah selalu ada uang pelicin atau peluru? Atau ada mas kawinnya,” cecar hakim. Saksi kembali mengatakan tidak tahu.

 

Hakim menyebut tidak mungkin jika saksi tidak tahu. Terlebih saksi adalah pemborong besar. Saksi menyebut hanya tahu semua paket proyek di Tabanan termasuk di pusat diurus terdakwa. “Kata Pak Dewa disuruh bupati,” kata saksi. “Menurut saya terdakwa ini seperti broker. Dia mengurus aspal, jembatan, dan peluru ke Jakarta,” tukas hakim.

 

Yang menarik adalah pengakuan saksi yang sudah lama kenal dengan I Nyoman Adi Wiryatama, ayah Eka Wiryastuti. Saksi Puniarta mengaku awal berkomunikasi dengan terdakwa Dewa Wiratmaja saat hendak menjual tempat pengolahan aspal atau Aspal Mixing Plant (AMP) tahun 2018 di Tabanan.

 

Puniarta menjual AMP karena tempat pengolahan aspalnya di Tabanan ditutup oleh desa adat setempat tahun 2016. Terakhir mengerjakan proyek dari Dinas PU Tabanan.

 

Jaksa penuntut KPK menanyakan posisi terdakwa saat komunikasi dengan saksi. Puniarta mengatakan terdakwa waktu itu bilang berada di Jakarta. Namun untuk urusan apa dirinya tidak tahu.

 

Jaksa lalu memutar rekaman percakapan telpon antara saksi Puniarta dengan terdakwa Dewa Nyoman Wiratmaja. Dalam percakapan itu terdakwa mengaku diperintah Eka ke Jakarta untuk mengurus dana APBN.

 

Sementara itu, Warsa T Bhuwana selaku penasihat hukum Eka Wiryastuti menanyakan kembali saksi Puniarta terkait dana pelicin atau “peluru”. “Apakah “peluru” yang diminta terdakwa Dewa ada hubungannya dengan pengurusan DID?” tanya Warsa. “Saya tidak tahu,” jawab saksi.

 

Warsa kembali bertanya, apakah ada pernyataan dari terdakwa Dewa Wiratmaja yang meminta “peluru” adalah Eka Wiryastuti, saksi menjawab tidak ada pesanan Eka.

 

Keterangan tidak jauh berbeda disampaikan saksi Sukadana. Dia mengaku pernah meminta proyek ke terdakwa Wiratmaja. Sukadana mengaku tahu terdakwa dekat dengan Eka Wiryastuti. “Saya pernah minta proyek di Tabanan, pengerjaan jalan setapak di Batukaru, tapi tidak dapat. Itu Tahun 2017,” ujar Sukadana.

 

Jaksa KPK menanyakan keterangan saksi yang akan memberikan fee komitmen kepada terdakwa. “Saya bilang ke Pak Dewa, bahwa saya akan memberikan dana komitmen awal kepada Bupati Eka,” ucapnya.

 

Hal itu dilakukan agar dirinya mendapat proyek di Tabanan. Saksi Sukadana mengungkapkan, terdakwa Dewa Wiratmaja juga menyuruh menyiapkan dana komitmen. Tapi, dana itu urung diberikan lantaran dirinya tidak mendapat proyek.

 

“Ya, karena tidak dapat proyek, saya tidak jadi menyerahkan dana komitmen,” ucap Sukadana.

 

Menanggapi hali itu, Gede Wija Kusuma, koordinator penasihat hukum terdakwa Eka Wiryastuti menanyakan apakah dana komitmen itu muncul dari inisiatif saksi atau terdakwa Dewa Wiratmaja. Saksi mengatakan inisiatif pribadi. (san)

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/