28.4 C
Jakarta
30 April 2024, 4:17 AM WIB

Keseharian Jualan Ayam, Sempat Bertanya, “Uang Ini Aman Tidak”

Hukuman berat membayangi Klian Dinas Banjar Buahan, Gianyar, I Nyoman Wirawan alias Komang Bilawa, 33.

Terdakwa kasus pungutan liar (pungli) penyertifikatan tanah itu mengaku secara sadar meminta uang kepada saksi korban Ni Made Wirani alias Nuasih.

 

MAULANA SANDIJAYA, Denpasar

KALIMAT pengakuan itu meluncur dari mulut Komang Bilawa saat dicecar majelis hakim yang terdiri dari Angeliky Handajani Day (hakim ketua);

Esthar Oktavi (hakim anggota I); dan Miftahul (hakim anggota II); serta Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Gianyar, Putu Iskadi Kekeran, dkk.

Sedangkan terdakwa didampingi kuasa hukumnya I Ketut Dodik Arta K. Bilawa membeberkan ikhwal kesepakatan uang Rp 20 juta, yakni setelah saksi Wirani datang ke rumahnya.

“Wirani (saksi) minta tolong dipercepat dan dibantu. Katanya, kalau ada biaya pasti akan dikasih. Awalnya Rp 25 juta.

Wirani bilang tidak bisa kurang? Akhirnya disepakat Rp 20 juta,” ujar Bilawa dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Denpasar baru-baru ini.

Alhasil, pengakuan Bilawan menjadi pintu masuk hakim menelisik lebih jauh apa yang melatarbelakangi terdakwa meminta uang Rp 20 juta.

“Kesepakatan Yang Mulia,” kelit terdakwa. Namun, jawaban itu tidak dipercaya oleh hakim. Hakim Angeliky kemudian meminta terdakwa berterus terang.

Hakim menanyakan siapa yang terlebih dahulu meminta uang, sehingga muncul angka Rp 25 juta yang kemudian disepakati Rp 20 juta.

“Apa saksi yang menawarkan memberi uang asal urusannya dipercepat, atau saudara yang minta uang duluan?” kejar hakim Angeliky.

Ditanya begitu terdakwa terdiam cukup lama. Terdakwa seperti bimbang. “Saudara terdakwa, saudara sudah disumpah dan di-BAP. Yang minta uang duluan saudara atau saksi yang menjanjikan? Tolong jawab jujur,” cecar hakim.

Setelah dicecar akhirnya terdakwa buka suara. “Saya yang minta,” ucapnya lirih. Hakim Miftahul tidak mau ketinggalan.

Hakim asal Lombok itu penasaran bagaimana cara terdakwa meminta uang pada saksi. “Bagaimana kalimat saudara minta uang Rp 25 juta itu. Coba diulangi,” kata Miftahul.

Saksi pun mengatakan jika permintaan disampaikan secara blak-blakan. “Mbok, ini ada biaya Rp 25 juta. Saksi bilang, apa tidak bisa kurang? Saya bilang bisa,” ucap terdakwa.

Ditambahkan terdakwa, setelah “kesepakatan terlarang” itu tercapai saksi tidak ada datang. Hingga tiga bulan kemudian terdakwa menanyakan kelanjutan pengurusan sertifikat melalui pesan singkat SMS.

Saksi datang membawa uang Rp 10 juta pecahan Rp 100 ribu yang dimasukkan dalam amplol cokelat. Sisanya Rp 10 juta lagi dibayar setelah urusan kelar.

 “Terus, setelah menerima uang Rp 10 juta itu Anda bagaimana?” pancing hakim Miftahul. Setelah menerima uang, ternyata terdakwa sempat ragu-ragu.

“Saya bilang, “aman” tidak ini?” tanya terdakwa pada saksi. Saksi mengatakan uang “aman” baru diambil.

“Maksudnya kata “aman” itu apa?” kejar hakim Miftahul. Terdakwa terdiam. “Dengan kata “aman” itu, berarti saudara terdakwa ini sadar dan mengerti bahwa perbuatannya tidak benar,” cetus hakim ad-hoc itu.

Sementara hakim Esthar menanyakan apa sejatinya tugas klian dinas dalam hal penyertifikatan tanah.

Dijelaskan terdakwa, sebagai aparat terbawah tugas klian dinas hanya sebagai saksi jika tanah yang akan disertifikatkan tidak dalam sengketa.

Klian memastikan secara fisik bahwa tanah yang disertifikatkan memang ada. Kesaksian itu kemudian dibubuhkan dalam tanda tangan sebuah berkas.

Tahap pengurusan sertifikat selanjutnya ada pada kepala desa; camat; hingga Badan Pertanahan Nasional (BPN).

“Seharusnya ada biaya atau tidak kalau minta tanda tangan saudara?” kata hakim Esthar. “Tidak ada,” jawabnya singkat.

Bilawa pun mengakui sadar saat menerima uang dan mengakui perbuatannya salah. Hakim Esthar juga menelisik pekerjaan tetap terdakwa.

Di muka majelis, terdakwa mengaku keseharinnya jualan ayam. Dia mendapat gaji dari desa dengan cara dirapel beberapa bulan sekali.

“Jualan ayamnya kerjaan tetap. Klian dinasnya sampingan,” terang terdakwa. Terdakwa sempat meminta maaf kepada majelis hakim atas perbuatannya.

“Saya minta maaf Yang Mulia, atas perkataan saya yang meminta uang,” kata terdakwa. “Ah, sudah-sudah. Itu kamu sampaikan nanti (pledoi) saja,” sergah hakim Angeliky. Sidang dilanjutkan pekan depan dengan agenda tuntutan penuntut umum.

 

Hukuman berat membayangi Klian Dinas Banjar Buahan, Gianyar, I Nyoman Wirawan alias Komang Bilawa, 33.

Terdakwa kasus pungutan liar (pungli) penyertifikatan tanah itu mengaku secara sadar meminta uang kepada saksi korban Ni Made Wirani alias Nuasih.

 

MAULANA SANDIJAYA, Denpasar

KALIMAT pengakuan itu meluncur dari mulut Komang Bilawa saat dicecar majelis hakim yang terdiri dari Angeliky Handajani Day (hakim ketua);

Esthar Oktavi (hakim anggota I); dan Miftahul (hakim anggota II); serta Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Gianyar, Putu Iskadi Kekeran, dkk.

Sedangkan terdakwa didampingi kuasa hukumnya I Ketut Dodik Arta K. Bilawa membeberkan ikhwal kesepakatan uang Rp 20 juta, yakni setelah saksi Wirani datang ke rumahnya.

“Wirani (saksi) minta tolong dipercepat dan dibantu. Katanya, kalau ada biaya pasti akan dikasih. Awalnya Rp 25 juta.

Wirani bilang tidak bisa kurang? Akhirnya disepakat Rp 20 juta,” ujar Bilawa dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Denpasar baru-baru ini.

Alhasil, pengakuan Bilawan menjadi pintu masuk hakim menelisik lebih jauh apa yang melatarbelakangi terdakwa meminta uang Rp 20 juta.

“Kesepakatan Yang Mulia,” kelit terdakwa. Namun, jawaban itu tidak dipercaya oleh hakim. Hakim Angeliky kemudian meminta terdakwa berterus terang.

Hakim menanyakan siapa yang terlebih dahulu meminta uang, sehingga muncul angka Rp 25 juta yang kemudian disepakati Rp 20 juta.

“Apa saksi yang menawarkan memberi uang asal urusannya dipercepat, atau saudara yang minta uang duluan?” kejar hakim Angeliky.

Ditanya begitu terdakwa terdiam cukup lama. Terdakwa seperti bimbang. “Saudara terdakwa, saudara sudah disumpah dan di-BAP. Yang minta uang duluan saudara atau saksi yang menjanjikan? Tolong jawab jujur,” cecar hakim.

Setelah dicecar akhirnya terdakwa buka suara. “Saya yang minta,” ucapnya lirih. Hakim Miftahul tidak mau ketinggalan.

Hakim asal Lombok itu penasaran bagaimana cara terdakwa meminta uang pada saksi. “Bagaimana kalimat saudara minta uang Rp 25 juta itu. Coba diulangi,” kata Miftahul.

Saksi pun mengatakan jika permintaan disampaikan secara blak-blakan. “Mbok, ini ada biaya Rp 25 juta. Saksi bilang, apa tidak bisa kurang? Saya bilang bisa,” ucap terdakwa.

Ditambahkan terdakwa, setelah “kesepakatan terlarang” itu tercapai saksi tidak ada datang. Hingga tiga bulan kemudian terdakwa menanyakan kelanjutan pengurusan sertifikat melalui pesan singkat SMS.

Saksi datang membawa uang Rp 10 juta pecahan Rp 100 ribu yang dimasukkan dalam amplol cokelat. Sisanya Rp 10 juta lagi dibayar setelah urusan kelar.

 “Terus, setelah menerima uang Rp 10 juta itu Anda bagaimana?” pancing hakim Miftahul. Setelah menerima uang, ternyata terdakwa sempat ragu-ragu.

“Saya bilang, “aman” tidak ini?” tanya terdakwa pada saksi. Saksi mengatakan uang “aman” baru diambil.

“Maksudnya kata “aman” itu apa?” kejar hakim Miftahul. Terdakwa terdiam. “Dengan kata “aman” itu, berarti saudara terdakwa ini sadar dan mengerti bahwa perbuatannya tidak benar,” cetus hakim ad-hoc itu.

Sementara hakim Esthar menanyakan apa sejatinya tugas klian dinas dalam hal penyertifikatan tanah.

Dijelaskan terdakwa, sebagai aparat terbawah tugas klian dinas hanya sebagai saksi jika tanah yang akan disertifikatkan tidak dalam sengketa.

Klian memastikan secara fisik bahwa tanah yang disertifikatkan memang ada. Kesaksian itu kemudian dibubuhkan dalam tanda tangan sebuah berkas.

Tahap pengurusan sertifikat selanjutnya ada pada kepala desa; camat; hingga Badan Pertanahan Nasional (BPN).

“Seharusnya ada biaya atau tidak kalau minta tanda tangan saudara?” kata hakim Esthar. “Tidak ada,” jawabnya singkat.

Bilawa pun mengakui sadar saat menerima uang dan mengakui perbuatannya salah. Hakim Esthar juga menelisik pekerjaan tetap terdakwa.

Di muka majelis, terdakwa mengaku keseharinnya jualan ayam. Dia mendapat gaji dari desa dengan cara dirapel beberapa bulan sekali.

“Jualan ayamnya kerjaan tetap. Klian dinasnya sampingan,” terang terdakwa. Terdakwa sempat meminta maaf kepada majelis hakim atas perbuatannya.

“Saya minta maaf Yang Mulia, atas perkataan saya yang meminta uang,” kata terdakwa. “Ah, sudah-sudah. Itu kamu sampaikan nanti (pledoi) saja,” sergah hakim Angeliky. Sidang dilanjutkan pekan depan dengan agenda tuntutan penuntut umum.

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/