28.4 C
Jakarta
30 April 2024, 5:51 AM WIB

Sudirta Tegas Sebut Kasus Komisioner KPU Wahyu Setiawan dkk Bukan OTT

JAKARTA-Koordinator Tim Hukum DPP PDI Perjuangan I Wayan Sudirta, SH menegaskan,  penangkapan para tersangka dugaan suap yang melibatkan Komisioner KPU Wahyu Setiawan, dkk tidak dapat dikategorikan sebagai operasi tangkap tangan (OTT).

Sudirta menyatakan, bahwa setelah mencermati fakta-fakta sehubungan dengan istilah operasi tangkap tangan (OTT) versi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau secara hukum dalam KUHAP dikenal dengan definisi “tertangkap tangan”  yang dilakukan berdasarkan  Surat  Perintah  Penyelidikan  (Sprin Lidik)  tertanggal  20 Desember 2019 bertepatan dengan pergantian Pimpinan KPK, maka secara hukum, selaku koordinator tim Hukum DPP PDI Perjuangan, pihaknya memandang perlu untuk  menanggapi realese yang keluarkan Komisi Pemberantasa Korupsi (KPK) beberapa waktu lalu

 

Kata Sudirta, bahwa seluruh Warga Negara Indonesia wajib dan taat pada hukum, tanpa kecuali. Namun pada saat bersamaan, seluruh aparat penegak hukum, khususnya dalam hal ini KPK, juga wajib mengedepankan azas praduga tidak bersalah (presumption of innocence), dan seharusnya selalu menjunjung tinggi mekanisme hukum (pro-justisia);

 

Selain itu, kata Sudirta, bahwa persoalan penetapan calon terpilih berdasarkan Permohonan Pelaksanaan Putusan Mahkamah Agung RI yang  biasa  dilakukan oleh partai politik adalah persoalan sederhana  sebagai bagian dari kedaulatan Parpol, yang pengaturannya telah diatur secara tegas dan rigid dalam  peraturan perundang-undangan. 

 

Pengajuan Penetapan Calon Terpilih  yang dimohonkan kepada KPU oleh PDI Perjuangan adalah berdasarkan Putusan Mahkamah Agung RI No.: 57P/HUM/2019  tertanggal 19 Juli 2019 terhadap uji materi Peraturan KPU dan juga Fatwa Mahkamah Agung RI, sehingga tidak ada pihak manapun baik Parpol atau KPU yang dapat menegosiasikan hukum positif dimaksud;

 

Sehingga, dengan berdasarkan hal itu, terkait penangkapan para tersangka dugaan suap yang melibatkan Komisioner KPU Wahyu Setiawan, Agustiani Tio Fridelina (mantan Bawaslu) dan Syaiful Bahri (swasta), Sudirta menegaskan  tidak dapat dikategorikan sebagai operasi tangkap tangan (OTT).

“Karena menurut hemat kami,  tidak sesuai dengan definisi “Tertangkap Tangan” yang diatur di dalam Pasal 1 angka 19 KUHAP,”tegas Sudirta.

 

Sudirta lantas menjelaskan, sesuai Pasal 1 angka 19 KUHAP, tertangkap Tangan adalah “tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau  dengan segera sesudah beberapa saat  tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian  padanya ditemukan benda yang diduga  keras  telah  dipergunakan untuk  melakukan tindak  pidana  itu  yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu”.

 

Sementara, berdasarkan  release  yang  dikeluarkan  oleh  Komisi  Pemberantasan  Korupsi (KPK),   perbuatan   tersangka yang   diduga   sebagai   perbuatan   pidana   dilakukan   pada pertengahan    Desember    2019    dan    akhir    Desember    2019. Sedangkan  penangkapan  yang  dilakukan  oleh  KPK   baru dilaksanakan  pada tanggal  8  Januari 2020.

 

Oleh karena itu, dengan mengacu release yang dikeluarkan KPK, apa yang terjadi menurut pendapatnya tidak dapat dikategorikan sebagai OTT.  

Melainkan hal itu sebagai hasil konstruksi hukum berdasarkan penyadapan dan proses penyelidikan berdasarkan Sprin Lidik yang ditanda tangani oleh Ketua KPK  tanggal 20 Desember 2019 pada saat terjadinya pergantian Pimpinan KPK sebagaimana tersebut diatas.

 

Yang kemudian terjadi framing dari media tertentu dengan berita  adanya dugaan suap yang dilakukan oleh 2 (dua) orang staff Sekertaris Jenderal PDI Perjuangan kepada penyelenggara negara sehubungan dengan Proses Pergantian Antar Waktu (PAW) anggota legislative terpilih di daerah Sumatera Selatan sebagaimana disampaikan oleh Andi Arif, framing penggeledahan kantor PDI Perjuangan, framing PTIK dan framing OTT yang sebenarnya bukan OTT, dan lain sebagainya 

 

“Terhadap hal tersebut, menurut hemat kami yang terjadi adalah dugaan ada upaya sistimatis dari “Oknum KPK” yang melakukan “pembocoran” atas informasi yang bersifat rahasia dalam proses penyelidikan kepada sebagian media tertentu, dengan maksud untuk merugikan atau menghancurkan PDI Perjuangan,”tegasnya. 

 

Lantas, selaku coordinator tim Hukum, Sudirta menyatakan sangat menyesalkan adanya pemberitaan sepihak yang objek pemberitaannya tersebut seharusnya merupakan konten pro-justisia yang belum terbukti akan kebenarannya dan masih berada pada tahap penyelidikan.

 

 “Sehingga terhadap hal tersebut, tidak tertutup kemungkinan kami akan mengambil langkah   hukum secara perdata dengan berkonsultasi kepada Dewan Pers,”tandasnya

 

Menurutnya, bahwa  upaya  penggeledahan  dan  penyegelan  yang  hendak dilakukan  oleh penyidik KPK di Gedung PDI Perjuangan pada tanggal 9 Januari 2020 tanpa ijin tertulis dari Dewan Pengawas, adalah  perbuatan melanggar  hukum dan  melanggar kode etik, karena berdasarkan UU 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 37 B ayat (1) huruf (b),  pada intinya menyatakan :

 

“Dewan Pengawas bertugas memberikan izin penyadapan, penggeledahan dan/atau penyitaan”, dan Pasal 47 ayat (1) menyatakan : “Dalam proses penyidikan, penyidik dapat melakukan penggeledahan dan penyitaan atas izin tertulis dari Dewan Pengawas”.

 

 Oleh karena itu menurut hukum, izin tertulis dari Dewan Pengawas  adalah hal yang wajib dan mutlak harus ada.

Selanjutnya penggunaan Sprint Lidik lama guna melaksanakan OTT pada masa kepemimpinan Pimpinan KPK yang baru tentu saja bertentangan dengan ketentuan yang diatur di dalam UU Nomor 19 Tahun 2019 dalam Pasal 70B dan Pasal 70C

 

Pasal 70B menyatakan “Pada saat Undang-Undnang ini berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan Undang – Undang ini dicabut dan dinyatakan tidak berlaku”

 

Pasal 70C menyatakan “ pada saat Undang – Undang ini berlaku, semua tindakan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang proses hukumnya belum selesai, harus dilakukan berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur di dalam Undang – Undang ini”

 

“Bahwa dari pandangan kami, konstruksi hukum yang terjadi sebenarnya adalah perkara penipuan dan pemerasan yang diduga dilakukan oleh oknum tertentu”tukasnya

 

JAKARTA-Koordinator Tim Hukum DPP PDI Perjuangan I Wayan Sudirta, SH menegaskan,  penangkapan para tersangka dugaan suap yang melibatkan Komisioner KPU Wahyu Setiawan, dkk tidak dapat dikategorikan sebagai operasi tangkap tangan (OTT).

Sudirta menyatakan, bahwa setelah mencermati fakta-fakta sehubungan dengan istilah operasi tangkap tangan (OTT) versi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau secara hukum dalam KUHAP dikenal dengan definisi “tertangkap tangan”  yang dilakukan berdasarkan  Surat  Perintah  Penyelidikan  (Sprin Lidik)  tertanggal  20 Desember 2019 bertepatan dengan pergantian Pimpinan KPK, maka secara hukum, selaku koordinator tim Hukum DPP PDI Perjuangan, pihaknya memandang perlu untuk  menanggapi realese yang keluarkan Komisi Pemberantasa Korupsi (KPK) beberapa waktu lalu

 

Kata Sudirta, bahwa seluruh Warga Negara Indonesia wajib dan taat pada hukum, tanpa kecuali. Namun pada saat bersamaan, seluruh aparat penegak hukum, khususnya dalam hal ini KPK, juga wajib mengedepankan azas praduga tidak bersalah (presumption of innocence), dan seharusnya selalu menjunjung tinggi mekanisme hukum (pro-justisia);

 

Selain itu, kata Sudirta, bahwa persoalan penetapan calon terpilih berdasarkan Permohonan Pelaksanaan Putusan Mahkamah Agung RI yang  biasa  dilakukan oleh partai politik adalah persoalan sederhana  sebagai bagian dari kedaulatan Parpol, yang pengaturannya telah diatur secara tegas dan rigid dalam  peraturan perundang-undangan. 

 

Pengajuan Penetapan Calon Terpilih  yang dimohonkan kepada KPU oleh PDI Perjuangan adalah berdasarkan Putusan Mahkamah Agung RI No.: 57P/HUM/2019  tertanggal 19 Juli 2019 terhadap uji materi Peraturan KPU dan juga Fatwa Mahkamah Agung RI, sehingga tidak ada pihak manapun baik Parpol atau KPU yang dapat menegosiasikan hukum positif dimaksud;

 

Sehingga, dengan berdasarkan hal itu, terkait penangkapan para tersangka dugaan suap yang melibatkan Komisioner KPU Wahyu Setiawan, Agustiani Tio Fridelina (mantan Bawaslu) dan Syaiful Bahri (swasta), Sudirta menegaskan  tidak dapat dikategorikan sebagai operasi tangkap tangan (OTT).

“Karena menurut hemat kami,  tidak sesuai dengan definisi “Tertangkap Tangan” yang diatur di dalam Pasal 1 angka 19 KUHAP,”tegas Sudirta.

 

Sudirta lantas menjelaskan, sesuai Pasal 1 angka 19 KUHAP, tertangkap Tangan adalah “tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau  dengan segera sesudah beberapa saat  tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian  padanya ditemukan benda yang diduga  keras  telah  dipergunakan untuk  melakukan tindak  pidana  itu  yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu”.

 

Sementara, berdasarkan  release  yang  dikeluarkan  oleh  Komisi  Pemberantasan  Korupsi (KPK),   perbuatan   tersangka yang   diduga   sebagai   perbuatan   pidana   dilakukan   pada pertengahan    Desember    2019    dan    akhir    Desember    2019. Sedangkan  penangkapan  yang  dilakukan  oleh  KPK   baru dilaksanakan  pada tanggal  8  Januari 2020.

 

Oleh karena itu, dengan mengacu release yang dikeluarkan KPK, apa yang terjadi menurut pendapatnya tidak dapat dikategorikan sebagai OTT.  

Melainkan hal itu sebagai hasil konstruksi hukum berdasarkan penyadapan dan proses penyelidikan berdasarkan Sprin Lidik yang ditanda tangani oleh Ketua KPK  tanggal 20 Desember 2019 pada saat terjadinya pergantian Pimpinan KPK sebagaimana tersebut diatas.

 

Yang kemudian terjadi framing dari media tertentu dengan berita  adanya dugaan suap yang dilakukan oleh 2 (dua) orang staff Sekertaris Jenderal PDI Perjuangan kepada penyelenggara negara sehubungan dengan Proses Pergantian Antar Waktu (PAW) anggota legislative terpilih di daerah Sumatera Selatan sebagaimana disampaikan oleh Andi Arif, framing penggeledahan kantor PDI Perjuangan, framing PTIK dan framing OTT yang sebenarnya bukan OTT, dan lain sebagainya 

 

“Terhadap hal tersebut, menurut hemat kami yang terjadi adalah dugaan ada upaya sistimatis dari “Oknum KPK” yang melakukan “pembocoran” atas informasi yang bersifat rahasia dalam proses penyelidikan kepada sebagian media tertentu, dengan maksud untuk merugikan atau menghancurkan PDI Perjuangan,”tegasnya. 

 

Lantas, selaku coordinator tim Hukum, Sudirta menyatakan sangat menyesalkan adanya pemberitaan sepihak yang objek pemberitaannya tersebut seharusnya merupakan konten pro-justisia yang belum terbukti akan kebenarannya dan masih berada pada tahap penyelidikan.

 

 “Sehingga terhadap hal tersebut, tidak tertutup kemungkinan kami akan mengambil langkah   hukum secara perdata dengan berkonsultasi kepada Dewan Pers,”tandasnya

 

Menurutnya, bahwa  upaya  penggeledahan  dan  penyegelan  yang  hendak dilakukan  oleh penyidik KPK di Gedung PDI Perjuangan pada tanggal 9 Januari 2020 tanpa ijin tertulis dari Dewan Pengawas, adalah  perbuatan melanggar  hukum dan  melanggar kode etik, karena berdasarkan UU 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 37 B ayat (1) huruf (b),  pada intinya menyatakan :

 

“Dewan Pengawas bertugas memberikan izin penyadapan, penggeledahan dan/atau penyitaan”, dan Pasal 47 ayat (1) menyatakan : “Dalam proses penyidikan, penyidik dapat melakukan penggeledahan dan penyitaan atas izin tertulis dari Dewan Pengawas”.

 

 Oleh karena itu menurut hukum, izin tertulis dari Dewan Pengawas  adalah hal yang wajib dan mutlak harus ada.

Selanjutnya penggunaan Sprint Lidik lama guna melaksanakan OTT pada masa kepemimpinan Pimpinan KPK yang baru tentu saja bertentangan dengan ketentuan yang diatur di dalam UU Nomor 19 Tahun 2019 dalam Pasal 70B dan Pasal 70C

 

Pasal 70B menyatakan “Pada saat Undang-Undnang ini berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan Undang – Undang ini dicabut dan dinyatakan tidak berlaku”

 

Pasal 70C menyatakan “ pada saat Undang – Undang ini berlaku, semua tindakan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang proses hukumnya belum selesai, harus dilakukan berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur di dalam Undang – Undang ini”

 

“Bahwa dari pandangan kami, konstruksi hukum yang terjadi sebenarnya adalah perkara penipuan dan pemerasan yang diduga dilakukan oleh oknum tertentu”tukasnya

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/