33.4 C
Jakarta
20 November 2024, 11:50 AM WIB

“Saya Konsisten Melawan Kaum Radikal, tapi Tak Dapat Tempat”

DENPASAR – Hari tergelap sepanjang sejarah sedang dihadapi Selandia Baru. 49 orang meninggal dunia dan puluhan terluka dalam serangan teroris di Masjid Al Noor dan Masjid Linwood, Christchurch, Selandia Baru, Jumat (15/3) lalu.

Menggunakan senapan semiotomatis AR-15, pelaku Brenton Tarrant menghujani umat Muslim yang sedang menjalankan ibadah salat Jumat.

Mirisnya, sambil membunuh pelaku berusia 28 tahun ini memutar lagu Fire dari band rock The Crazy World of Arthur Brown dan mengabadikan langsung peristiwa sadis tersebut lewat facebook.

Pulau Bali pernah melewati hari gelap serupa akibat serangan teroris di malam Minggu, 12 Oktober 2002 silam.

Dua ledakan di Paddy’s Pub dan Sari Club (SC) di Jalan Legian, Kuta merenggut 202 korban jiwa dan 209 orang luka-luka.

Tiga orang tersangka, yakni Amrozi, Imam Samudra alias Abdul Aziz, dan Ali Ghufron alias Mukhlas telah dieksekusi mati di Bukit Nirbaya,

Pulau Nusa Kambangan, Cilacap, Jawa Tengah, Minggu, 9 November 2008 pukul 00.15 silam. Para tersangka dipastikan terpapar ideologi radikal.

Ironisnya, meski sejumlah pihak, salah satunya Mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Ansyaad Mbai, mengatakan ada bibit radikalisme pada tubuh

simpatisan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dalam memperjuangkan ideologinya, salah seorang anggota DPR RI Dapil Bali masa bakti 2014-2019 bersikukuh menolak pembubaran HTI.

Padahal ormas Islam tersebut dilarang di Mesir, Yordania, Arab Saudi, Suriah, Libya, Turki dan puluhan negara lain.

Fakta inilah yang membuat I Gusti Ngurah Harta terpanggil untuk berjuang lewat jalur politik. Saat ini, pinisepuh Sandi Murti Indonesia itu berstatus Calon DPD RI Dapil Bali No. Urut 31.

Sayangnya, perjuangan pria yang selalu jadi bamper bila Pulau Bali “diusik” kaum radikal ini tak berjalan mulus.

Harapan Pulau Dewata memiliki tokoh yang memahami Bali dan berani pasang badan (tak hanya teori, red) memerangi radikalisme terancam gagal.

Penyebabnya adalah sifat pragmatis masyarakat Bali yang telah terkondisikan menerima imbalan agar mau memilih.

“Ini adalah sebuah keputusan politik yang sangat luar biasa bagi saya yang terbiasa di jalanan. Dulu saya berpikir masyarakat kita adalah kelompok cerdas.

Tapi, apa yang terjadi setelah benar-benar terjun ke dunia legislatif yang tanpa partai ini? Bukan masukan dan saran demi Bali yang lebih baik,

tetapi tagihan dalam bentuk dana, gong abarung, perbaikan bale banjar, bantuan membangun rumah, jalanan desa dan sejenisnya,” ucapnya kepada Jawa Pos Radar Bali, Senin (18/3).

Ngurah Harta mengaku idealisme seketika luntur. Meski yakin masih banyak masyarakat Bali yang idealis, Ngurah Harta mengaku “terpukul” sangat telak dengan kondisi tersebut.

“Bukan lega seluk. Masyarakat saya pikir melihat apa yang saya lakukan dalam membela pulau ini. Sampai dijadikan tersangka karena dituduh melakukan persekusi terhadap

salah satu ustad yang selalu memanas-manasi umat mayoritas untuk melakukan gerakan anti pluralisme. Ternyata hal nyata seperti itu bukan sebuah tolok ukuran untuk mendapatkan simpati masyarakat Bali,” tegasnya.

Imbuhnya, mayoritas masyarakat Bali kalah oleh fulus alias uang dan mengesampingkan kualitas wakil rakyat yang benar-benar dibutuhkan tanah dewata.

Sebagai pendatang baru, Ngurah Harta yang memiliki murid di sejumlah negara mengaku langkahnya sangat berat.

Semakin menyakitkan lantaran di beberapa tempat yang dikunjunginya dia mengaku mendapati masyarakat yang dibuai janji busuk. Setelah caleg tertentu terpilih, mereka diabaikan.

“Saran saya, mari jadi pemilih cerdas. Lihat profil caleg dengan baik. Bagaimana sepak terjangnya sebelum menjadi apa-apa.

Setelah itu baru tentukan pilihan. Jangan terpancing dengan yang namanya hibah bansos dan serangan fajar karena itu politik yang tidak mendidik,” ungkapnya.

Ngurah Harta memastikan politik adalah jalan strategis untuk mengubah kondisi Indonesia, khususnya Provinsi Bali.

Namun, bila mereka yang berkualitas tidak terpilih karena kalah oleh uang, maka jangan berharap perubahan ke arah lebih baik akan terwujud.

“Kenapa kita pilih Jokowi? Karena dia orang baik kan? Lantas kenapa saya dan caleg baik dan lain harus bayar agar terpilih? Saya punya kemampuan dan keberanian.

Menghadapi kaum radikal, khususnya. Buktinya silakan dicek. Apakah calon senator lain berani pasang badan seperti saya?” pungkasnya.

Kepada para politikus lain, khususnya petahana, Ngurah Harta menekankan pentingnya  masyarakat dididik ke arah politik yang bermartabat. Politik yang mengedepankan program dan kejujuran.

“Semoga ada manfaatnya. Saya hanya ingin mengungkapkan perasaan dan pengalaman selama menyusuri arus politik dalam Pemilu 2019 ini.

Saya konsisten melawan radikalisme, tapi tak dianggap. Tak dapat tempat di hati masyarakat Bali. Semoga keluh kesah ini dipahami dan disimak dengan hati nurani,” tutupnya. (rba)

DENPASAR – Hari tergelap sepanjang sejarah sedang dihadapi Selandia Baru. 49 orang meninggal dunia dan puluhan terluka dalam serangan teroris di Masjid Al Noor dan Masjid Linwood, Christchurch, Selandia Baru, Jumat (15/3) lalu.

Menggunakan senapan semiotomatis AR-15, pelaku Brenton Tarrant menghujani umat Muslim yang sedang menjalankan ibadah salat Jumat.

Mirisnya, sambil membunuh pelaku berusia 28 tahun ini memutar lagu Fire dari band rock The Crazy World of Arthur Brown dan mengabadikan langsung peristiwa sadis tersebut lewat facebook.

Pulau Bali pernah melewati hari gelap serupa akibat serangan teroris di malam Minggu, 12 Oktober 2002 silam.

Dua ledakan di Paddy’s Pub dan Sari Club (SC) di Jalan Legian, Kuta merenggut 202 korban jiwa dan 209 orang luka-luka.

Tiga orang tersangka, yakni Amrozi, Imam Samudra alias Abdul Aziz, dan Ali Ghufron alias Mukhlas telah dieksekusi mati di Bukit Nirbaya,

Pulau Nusa Kambangan, Cilacap, Jawa Tengah, Minggu, 9 November 2008 pukul 00.15 silam. Para tersangka dipastikan terpapar ideologi radikal.

Ironisnya, meski sejumlah pihak, salah satunya Mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Ansyaad Mbai, mengatakan ada bibit radikalisme pada tubuh

simpatisan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dalam memperjuangkan ideologinya, salah seorang anggota DPR RI Dapil Bali masa bakti 2014-2019 bersikukuh menolak pembubaran HTI.

Padahal ormas Islam tersebut dilarang di Mesir, Yordania, Arab Saudi, Suriah, Libya, Turki dan puluhan negara lain.

Fakta inilah yang membuat I Gusti Ngurah Harta terpanggil untuk berjuang lewat jalur politik. Saat ini, pinisepuh Sandi Murti Indonesia itu berstatus Calon DPD RI Dapil Bali No. Urut 31.

Sayangnya, perjuangan pria yang selalu jadi bamper bila Pulau Bali “diusik” kaum radikal ini tak berjalan mulus.

Harapan Pulau Dewata memiliki tokoh yang memahami Bali dan berani pasang badan (tak hanya teori, red) memerangi radikalisme terancam gagal.

Penyebabnya adalah sifat pragmatis masyarakat Bali yang telah terkondisikan menerima imbalan agar mau memilih.

“Ini adalah sebuah keputusan politik yang sangat luar biasa bagi saya yang terbiasa di jalanan. Dulu saya berpikir masyarakat kita adalah kelompok cerdas.

Tapi, apa yang terjadi setelah benar-benar terjun ke dunia legislatif yang tanpa partai ini? Bukan masukan dan saran demi Bali yang lebih baik,

tetapi tagihan dalam bentuk dana, gong abarung, perbaikan bale banjar, bantuan membangun rumah, jalanan desa dan sejenisnya,” ucapnya kepada Jawa Pos Radar Bali, Senin (18/3).

Ngurah Harta mengaku idealisme seketika luntur. Meski yakin masih banyak masyarakat Bali yang idealis, Ngurah Harta mengaku “terpukul” sangat telak dengan kondisi tersebut.

“Bukan lega seluk. Masyarakat saya pikir melihat apa yang saya lakukan dalam membela pulau ini. Sampai dijadikan tersangka karena dituduh melakukan persekusi terhadap

salah satu ustad yang selalu memanas-manasi umat mayoritas untuk melakukan gerakan anti pluralisme. Ternyata hal nyata seperti itu bukan sebuah tolok ukuran untuk mendapatkan simpati masyarakat Bali,” tegasnya.

Imbuhnya, mayoritas masyarakat Bali kalah oleh fulus alias uang dan mengesampingkan kualitas wakil rakyat yang benar-benar dibutuhkan tanah dewata.

Sebagai pendatang baru, Ngurah Harta yang memiliki murid di sejumlah negara mengaku langkahnya sangat berat.

Semakin menyakitkan lantaran di beberapa tempat yang dikunjunginya dia mengaku mendapati masyarakat yang dibuai janji busuk. Setelah caleg tertentu terpilih, mereka diabaikan.

“Saran saya, mari jadi pemilih cerdas. Lihat profil caleg dengan baik. Bagaimana sepak terjangnya sebelum menjadi apa-apa.

Setelah itu baru tentukan pilihan. Jangan terpancing dengan yang namanya hibah bansos dan serangan fajar karena itu politik yang tidak mendidik,” ungkapnya.

Ngurah Harta memastikan politik adalah jalan strategis untuk mengubah kondisi Indonesia, khususnya Provinsi Bali.

Namun, bila mereka yang berkualitas tidak terpilih karena kalah oleh uang, maka jangan berharap perubahan ke arah lebih baik akan terwujud.

“Kenapa kita pilih Jokowi? Karena dia orang baik kan? Lantas kenapa saya dan caleg baik dan lain harus bayar agar terpilih? Saya punya kemampuan dan keberanian.

Menghadapi kaum radikal, khususnya. Buktinya silakan dicek. Apakah calon senator lain berani pasang badan seperti saya?” pungkasnya.

Kepada para politikus lain, khususnya petahana, Ngurah Harta menekankan pentingnya  masyarakat dididik ke arah politik yang bermartabat. Politik yang mengedepankan program dan kejujuran.

“Semoga ada manfaatnya. Saya hanya ingin mengungkapkan perasaan dan pengalaman selama menyusuri arus politik dalam Pemilu 2019 ini.

Saya konsisten melawan radikalisme, tapi tak dianggap. Tak dapat tempat di hati masyarakat Bali. Semoga keluh kesah ini dipahami dan disimak dengan hati nurani,” tutupnya. (rba)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/