28.2 C
Jakarta
17 September 2024, 2:39 AM WIB

Mafia Tanah di Bali gentayangan, BCW Dukung Pengusutan

DENPASAR– Bali Corruption Watch (BCW) mendukung penegakan hukum terhadap mafia tanah yang ditengarai masih bermain di Bali. Koordinator BCW Putu Wirata Dwikora mengatakan, walaupun tidak mudah, upaya memutus ekosistem dan episentrum mafia tanah harus didukung. 

 

“Masyarakat dapat mengadukan kasusnya ke penegak hukum, dan kami juga siap menerima dan menindaklanjuti kalau ada pengaduan dengan data dan bukti pendukung yang kuat,’’ ujar Dwikora dalam keterangan persnya Selasa (21/12).

 

Pria asal Penebel, Tabanan, itu optimistis bila semua komponen masyarakat, dari kampus, LSM, politisi, dan penegak hukum bersinergi secara konsisten, maka perlindungan hak-hak masyarakat atas tanahnya akan semakin membaik.

 

Jumlah korban mafia tanah yang lebih banyak pun bisa ditekan. Di Bali sendiri Polda Bali sudah mengusut kasus permainan mafia tanah di Nusa Penida, yang melibatkan oknum kepala desa. Kini statusnya yang sudah menjadi tersangka dugaan pemalsuan, penipuan dan penggelapan.

 

Menurut Dwikora, permainan mafia tanah sangat halus dan tidak mudah dibidik. Mereka mengincar tanah-tanah yang sudah bersertifikat. Setelah itu sejumlah pihak bersekongkol memperkarakannya ke pengadilan.

Mereka kerja sama dengan pola ada yang bertindak sebagai penggugat dan satunya lagi bertindak sebagai penyandang dana. Upaya permainannya tentu sampai ke meja hijau.

 

Dwikora juga mendorong kepolisian mengusut keterlibatan pihak lain kasus di Nusa Penida. Misalnya keterlibatan notaris, pegawai BPN, PPAT, dan lainnya. 

“Mari dukung tindakan tegas satgas mafia tanah dan kepolisian khususnya, agar pengusutan mafia tanah ini tuntas tanpa pandang bulu,” tukasnya.

 

Selain di Nusa Penida, ada juga warga Desa Lemukih, Buleleng yang 46 tahun berjuang membela tanah “druwe pura’’ seluas 96 hektare, yang disertifikatkan oleh penggarapnya secara perorangan. 

 

Ada juga korban di Desa Ungasan, mewarisi sekitar 14 ha tanah sejak ratusan tahun, dan memenangkan gugatan PTUN sampai Mahkamah Agung tahun 2001. Namun, yang memperoleh sertifikat justru pihak yang dikalahkan dalam putusan Mahkamah Agung. Selain itu, ada juga kasus sengketa tanag di Jimbaran, Kuta Selatan, Badung.

DENPASAR– Bali Corruption Watch (BCW) mendukung penegakan hukum terhadap mafia tanah yang ditengarai masih bermain di Bali. Koordinator BCW Putu Wirata Dwikora mengatakan, walaupun tidak mudah, upaya memutus ekosistem dan episentrum mafia tanah harus didukung. 

 

“Masyarakat dapat mengadukan kasusnya ke penegak hukum, dan kami juga siap menerima dan menindaklanjuti kalau ada pengaduan dengan data dan bukti pendukung yang kuat,’’ ujar Dwikora dalam keterangan persnya Selasa (21/12).

 

Pria asal Penebel, Tabanan, itu optimistis bila semua komponen masyarakat, dari kampus, LSM, politisi, dan penegak hukum bersinergi secara konsisten, maka perlindungan hak-hak masyarakat atas tanahnya akan semakin membaik.

 

Jumlah korban mafia tanah yang lebih banyak pun bisa ditekan. Di Bali sendiri Polda Bali sudah mengusut kasus permainan mafia tanah di Nusa Penida, yang melibatkan oknum kepala desa. Kini statusnya yang sudah menjadi tersangka dugaan pemalsuan, penipuan dan penggelapan.

 

Menurut Dwikora, permainan mafia tanah sangat halus dan tidak mudah dibidik. Mereka mengincar tanah-tanah yang sudah bersertifikat. Setelah itu sejumlah pihak bersekongkol memperkarakannya ke pengadilan.

Mereka kerja sama dengan pola ada yang bertindak sebagai penggugat dan satunya lagi bertindak sebagai penyandang dana. Upaya permainannya tentu sampai ke meja hijau.

 

Dwikora juga mendorong kepolisian mengusut keterlibatan pihak lain kasus di Nusa Penida. Misalnya keterlibatan notaris, pegawai BPN, PPAT, dan lainnya. 

“Mari dukung tindakan tegas satgas mafia tanah dan kepolisian khususnya, agar pengusutan mafia tanah ini tuntas tanpa pandang bulu,” tukasnya.

 

Selain di Nusa Penida, ada juga warga Desa Lemukih, Buleleng yang 46 tahun berjuang membela tanah “druwe pura’’ seluas 96 hektare, yang disertifikatkan oleh penggarapnya secara perorangan. 

 

Ada juga korban di Desa Ungasan, mewarisi sekitar 14 ha tanah sejak ratusan tahun, dan memenangkan gugatan PTUN sampai Mahkamah Agung tahun 2001. Namun, yang memperoleh sertifikat justru pihak yang dikalahkan dalam putusan Mahkamah Agung. Selain itu, ada juga kasus sengketa tanag di Jimbaran, Kuta Selatan, Badung.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/