29.3 C
Jakarta
22 November 2024, 11:30 AM WIB

Kasus Ngaben Sudaji Diskriminatif, Tim Hukum Tuntut Kapolres Dicopot

SINGARAJA – Proses hukum penanganan kasus kerumunan massa saat pengabenan massal di Desa Sudaji, hingga kini masih bergulir. Aparat kepolisian hingga kini belum menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).

Padahal tim litigasi yang mendampingi Gede Suwardana, warga Desa Sudaji yang jadi tersangka dalam kasus tersebut, telah mengajukan permohonan penerbitan SP3.

Tadinya tim litigasi telah mengajukan surat permohonan SP3 pada Selasa (26/5) silam. Namun surat itu belum mendapat jawaban. Kemarin tim litigasi dan tim non litigasi kembali mendatangi Mapolres Buleleng.

Ketua Tim Non Litigasi Gede Suardana menyebut, telah terjadi diskriminasi penegakan hukum dalam kasus kerumunan massa pada kegiatan pengabenan massal di Desa Sudaji.

“Kami minta agar Kapolres dan penyidiknya dicopot saja dan tidak usah lagi tugas di Buleleng. Sebab telah melakukan diskriminasi penegakan hukum  dengan menjadikan

upacara adat di Bali sebagai tersangka secara kilat tanpa alat bukti yang kuat. Kita perlu Kapolres yang mengayomi dan melayani rakyat di Buleleng,

bukan yang suka menggantung status tersangka warga adat untuk kasus yang tidak jelas,” tegas pria yang juga Waketum DPP Persadha Nusantara itu.

Di sisi lain, Kabag Ops Polres Buleleng Kompol A.A. Wiranata Kusuma mengatakan, penerbitan SP3 sebenarnya bukan sebuah momok bagi kepolisian.

Hanya saja, polisi tak mau menerbitkan SP3 hanya karena desakan dari kelompok tertentu. Namun harus berdasar fakta-fakta yang bisa dipertanggungjawabkan.

“Kalau hanya karena desakan dari kelompok tertentu, kemudian secara hukum tidak memungkinkan, ya tidak akan kami lakukan.

Tapi apabila fakta hukumnya ada, pasti kami akan lakukan. Tentunya kami akan lihat seperti apa kondisi di lapangan. Fakta hukum, itu yang penting,” tegasnya.

Seperti diberitakan sebelumnya, kasus di Sudaji bermula dari ngaben massal yang dilakukan Dadia Pasek Kubayan pada Jumat (1/5) lalu.

Peristiwa itu sempat viral di media sosial. Polisi kemudian melakukan penyelidikan dan menetapkan Gede Suwardana, sebagai tersangka dalam peristiwa tersebut.

Suwardana dianggap sebagai orang yang paling bertanggungjawab. Sebab prosesi itu dinilai mengabaikan prinsip social dan physical distancing.

Tersangka Suwardana dijerat dengan Pasal 14 ayat (1) UU RI Nomor 4 tahun 1984 tentang wabah penyakit menular dengan ancaman hukuman pidana paling lama 1 tahun penjara,

dan/atau Pasal 93 UU RI No. 6 tahun 2018 tentang kekarantinaan kesehatan dengan ancaman hukuman pidana paling lama 1 tahun penjara dan/atau denda maksimal Rp100 juta. 

SINGARAJA – Proses hukum penanganan kasus kerumunan massa saat pengabenan massal di Desa Sudaji, hingga kini masih bergulir. Aparat kepolisian hingga kini belum menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).

Padahal tim litigasi yang mendampingi Gede Suwardana, warga Desa Sudaji yang jadi tersangka dalam kasus tersebut, telah mengajukan permohonan penerbitan SP3.

Tadinya tim litigasi telah mengajukan surat permohonan SP3 pada Selasa (26/5) silam. Namun surat itu belum mendapat jawaban. Kemarin tim litigasi dan tim non litigasi kembali mendatangi Mapolres Buleleng.

Ketua Tim Non Litigasi Gede Suardana menyebut, telah terjadi diskriminasi penegakan hukum dalam kasus kerumunan massa pada kegiatan pengabenan massal di Desa Sudaji.

“Kami minta agar Kapolres dan penyidiknya dicopot saja dan tidak usah lagi tugas di Buleleng. Sebab telah melakukan diskriminasi penegakan hukum  dengan menjadikan

upacara adat di Bali sebagai tersangka secara kilat tanpa alat bukti yang kuat. Kita perlu Kapolres yang mengayomi dan melayani rakyat di Buleleng,

bukan yang suka menggantung status tersangka warga adat untuk kasus yang tidak jelas,” tegas pria yang juga Waketum DPP Persadha Nusantara itu.

Di sisi lain, Kabag Ops Polres Buleleng Kompol A.A. Wiranata Kusuma mengatakan, penerbitan SP3 sebenarnya bukan sebuah momok bagi kepolisian.

Hanya saja, polisi tak mau menerbitkan SP3 hanya karena desakan dari kelompok tertentu. Namun harus berdasar fakta-fakta yang bisa dipertanggungjawabkan.

“Kalau hanya karena desakan dari kelompok tertentu, kemudian secara hukum tidak memungkinkan, ya tidak akan kami lakukan.

Tapi apabila fakta hukumnya ada, pasti kami akan lakukan. Tentunya kami akan lihat seperti apa kondisi di lapangan. Fakta hukum, itu yang penting,” tegasnya.

Seperti diberitakan sebelumnya, kasus di Sudaji bermula dari ngaben massal yang dilakukan Dadia Pasek Kubayan pada Jumat (1/5) lalu.

Peristiwa itu sempat viral di media sosial. Polisi kemudian melakukan penyelidikan dan menetapkan Gede Suwardana, sebagai tersangka dalam peristiwa tersebut.

Suwardana dianggap sebagai orang yang paling bertanggungjawab. Sebab prosesi itu dinilai mengabaikan prinsip social dan physical distancing.

Tersangka Suwardana dijerat dengan Pasal 14 ayat (1) UU RI Nomor 4 tahun 1984 tentang wabah penyakit menular dengan ancaman hukuman pidana paling lama 1 tahun penjara,

dan/atau Pasal 93 UU RI No. 6 tahun 2018 tentang kekarantinaan kesehatan dengan ancaman hukuman pidana paling lama 1 tahun penjara dan/atau denda maksimal Rp100 juta. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/