DENPASAR– Sidang perdana dugaan gratifikasi dan pemerasan dengan terdakwa mantan Sekda Buleleng, Dewa Ketut Puspaka, 61, yang digelar Selasa (28/12) siang memunculkan fakta menarik. Salah satunya terkait sumber dana yang diterima terdakwa dari investor pembangunan Terminal Penerima dan Distribusi LNG di Celukan Bawang, Buleleng.
“Terdakwa menguntungkan diri sendiri kurang lebih sebesar Rp 16,1 miliar. Terdakwa menyalahgunakan kekuasaannya sebagai Sekda Buleleng, memaksa seseorang memberikan sesuatu,” ujar JPU Agus Eko Purnomo kepada majelis hakim yang diketuai Heriyanti.
Dalam dakwaan setebal 112 halaman itu, JPU menguraikan asal muasal uang Rp16,1 miliar yang diterima terdakwa. Di antaranya berasal dari calon investor PT Padma Energi Indonesia (PEI) sebesar Rp 1,1 miliar.
“Terdakwa bersedia membantu dan menjanjikan kelancaran proses pengurusan perizinan-perizinan terkait yang diajukan oleh PT Padma Energi Indonesia,” imbuh JPU Eko Purnomo.
Dijelaskan JPU, terdakwa kemudian mengarahkan PT PEI untuk konsultasi dengan CV Singajaya Konsultan. Selanjutnya, terdakwa melalui saksi Made Sukawan Adika (Direktur CV Singajaya Konsutan), menerima uang sebesar Rp 1,8 miliar dari PT PEI.
Uang tersebut merupakan pembayaran jasa konsultan atas pengurusan izin pembangunan Terminal Penerima dan Distribusi LNG Celukan Bawang. Namun, dari jumlah Rp1,8 miliar yang diterima, saksi Adika hanya menggunakan uang untuk jasa konsultan yang dikerjakan sebesar Rp725 juta.
Sedangkan sisanya sebesar Rp1,1 miliar atas perintah terdakwa ditransfer ke sejumlah pihak. Salah satunya yang menerima transferan adalah Bupati Gianyar I Made Mahayastra. “Transfer pada I Made Mahayastra sebesar Rp 300 juta melalui rekening Bank Mandiri pada 5 Maret 2015,” beber JPU Kejari Buleleng itu.
Selain Bupati Gianyar, uang juga ditransfer ke rekening Bank Mandiri mantan pebulutangkis Bali Made Chandra Berata sebesar Rp 25 juta. Sisanya uang masuk ke rekening terdakwa.
Anehnya, meski Mahayastra menerima aliran uang, politikus PDIP itu tidak pernah dipanggil penyidik Kejati Bali untuk diperiksa.
Mahayastra melalui pesan WhatsApp (WA) tak menyangkal bahwa dirinya pernah menerima transferan uang dari Dewa Puspaka. Persis sesuai dakwaan, Mahayastra menerima uang pada 2015 sejumlah Rp 300 juta.
Namun, Mahayastra membantah jika uang tersebut terkait kasus gratifikasi yang menjerat Dewa Puspaka. “Saya tidak ada kaitannya dengan dugaan perkara tersebut (Dewa Puspaka). Transferan itu sudah cukup lama, 2015 sesuai dengan hasil PPATK. Sementara perkara Pak Sekda (Puspaka) kan tahun 2018,” bantah Mahayastra.
Kembali pada dakwaan JPU Agus Eko Purnomo, Puspaka diduga menerima gratifikasi dalam sejumlah pembangunan di Buleleng selama kurun waktu 2015- 2020. Selain untuk pembagunan Terminal LNG di Celukan Bawang, juga terkait pengurusan izin pembangunan Bandara Bali Utara di Buleleng tahun 2018.
Puspaka juga diduga menerima gratifikasi terkait penyewaan lahan tanah di kawasan Yeh Sanih, Desa Bukti, Kecamatan Kubutambahan, Buleleng yang dilakukan suatu perusahaan.
JPU memasang Pasal 12 huruf (e) UU Tipikor atau kedua Pasal 12 huruf (b) UU Tipikor, atau ketiga Pasal 11 UU Tipikor, atau keempat Pasal 5 ayat (2) UU Tipikor juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP, atau kelima Pasal 12 huruf (g) UU Tipikor. Dalam dakwaan kedua, terdakwa dijerat Pasal 3 UU RI Nomor 8/2010 tentang pencegahan dan pemberantasan TPPU atau kedua Pasal 4 UU yang sama.
Sementara itu, Agus Sujoko dkk selaku penasihat hukum Puspaka menerima dakwaan JPU. “Kami tidak mengajukan eksepsi,” ujar Agus Sujoko.
Di sisi lain, Kasipenkum Kejati Bali Luga Harlianto mengatakan, selama penyidikan perkara Puspaka tidak pernah melakukan pemeriksaan terhadap I Made Mahayastra. Penyidik disebut masih fokus kepada Dewa Puspaka. “Nanti kami akan lihat perkembangan dalam sidang,” kata Luga.