29.3 C
Jakarta
22 November 2024, 10:57 AM WIB

Ariel: Pernyataan Menteri Yasonna Soal Remisi Susrama Menyesatkan

DENPASAR – Desakan kepada Presiden Jokowi untuk mencabut remisi pembunuh wartawan I Nyoman Susrama terus menggema.

Pasalnya, banyak prosedur dan ketentuan hukum yang ambigu dalam penerapan remisi Susrama. Fakta itu diungkap penasihat hukum Solidaritas Jurnalis Bali (SJB), I Made “Ariel” Suardana.

Menurut Suardana, beberapa kali Menteri Hukum dan HAM RI, Yasonna H. Laoly mengatakan dengan remisi 20 tahun penjara, maka masa hukuman I Nyoman Susrama menjadi 30 tahun.

Yasonna berasumsi Susrama sudah menjalani 10 tahun hukuman, kemudian ditambah 20 tahun remisi, maka menjadi 30 tahun penjara. Menurut Suardana, pernyataan tersebut menyesatkan.

“Menurut saya, Menteri Hukum dan HAM RI gagal paham,  menyesatkan, dan tanpa dasar hukum yang jelas,” tegas Suardana.

Kok bisa? Dijelaskan Suardana, Susrma tidak boleh dipenjara lebih dari 15 Tahun lagi sejak Keppres Nomor 29/2018, tertanggal 7  Desember 2018  itu diberlakukan.

Landasan hukumnya yakni Pasal 9 ayat (1) Keppres Nomor 174/1999 tentang Remisi. Di dalam Pasal 9 ayat (1) disebutkan, narapidana yang dikenakan pidana penjara seumur hidup dan telah

menjalani pidana paling sedikit lima tahun berturut-turut serta berkelakuan baik, dapat diubah pidananya menjadi pidana penjara sementara, dengan lama sisa pidana yang masih harus dijalani paling lama lima belas tahun.

Nah, jika dilihat dari ketentuan itu maka besar kemungkinan Susrma akan bebas sebelum 2029, apabila dia kembali mendapatkan remisi umum dan khusus yang diberikan pada hari kemerdekaan dan hari raya.

“Susrama akan keluar lebih cepat jika mendapat pembebasan bersyarat,” bebernya. Ditambahkan, sistem hukum yang dianut Indonesia tidak mengenal hukuman 30 Tahun penjara.

Pidana maksimal adalah 20 tahun penjara, seumur hidup dan hukuman mati. Acuan itu menganut sistem hukum Eropa continental, bahwa apa yang tertulis dalam Undang-Undang maka itulah yang berlaku.

“Karena itu saya meminta agar Menteri Hukum dan HAM RI segera meralat ucapannya karena dapat menyesatkan publik,” tuntutnya.

Lebih lanjut, meski namanya remisi namun jika dilihat dalam Undang-Undang Nomor 22/2002  setara dengan grasi pada Pasal 4 ayat 2 (a)  bisa dibaca merupakan Peringanan hukuman dan Pengubahan jenis hukuman.

Dengan demikian, Keppres Nomor 174/1999 tentang Remisi sesungguhnya bertabrakan dengan Undang-Undang Grasi.

“Makanya Pengubahan Hukuman dari Seumur Hidup menjadi 20 Tahun Penjara menjadi aneh dan ajaib,” sindirnya.

Karena kekeliruan sejak awal itu jangan lagi diperparah pernyataan Menteri Hukum dan HAM RI yang menjadi blunder hukum.

“Karena pernyataan Menteri Hukum dan HAM itu tanpa payung dan atapnya, maka bersiaplah disambar petir penolakan rakyat,” pungkas Suardana. 

DENPASAR – Desakan kepada Presiden Jokowi untuk mencabut remisi pembunuh wartawan I Nyoman Susrama terus menggema.

Pasalnya, banyak prosedur dan ketentuan hukum yang ambigu dalam penerapan remisi Susrama. Fakta itu diungkap penasihat hukum Solidaritas Jurnalis Bali (SJB), I Made “Ariel” Suardana.

Menurut Suardana, beberapa kali Menteri Hukum dan HAM RI, Yasonna H. Laoly mengatakan dengan remisi 20 tahun penjara, maka masa hukuman I Nyoman Susrama menjadi 30 tahun.

Yasonna berasumsi Susrama sudah menjalani 10 tahun hukuman, kemudian ditambah 20 tahun remisi, maka menjadi 30 tahun penjara. Menurut Suardana, pernyataan tersebut menyesatkan.

“Menurut saya, Menteri Hukum dan HAM RI gagal paham,  menyesatkan, dan tanpa dasar hukum yang jelas,” tegas Suardana.

Kok bisa? Dijelaskan Suardana, Susrma tidak boleh dipenjara lebih dari 15 Tahun lagi sejak Keppres Nomor 29/2018, tertanggal 7  Desember 2018  itu diberlakukan.

Landasan hukumnya yakni Pasal 9 ayat (1) Keppres Nomor 174/1999 tentang Remisi. Di dalam Pasal 9 ayat (1) disebutkan, narapidana yang dikenakan pidana penjara seumur hidup dan telah

menjalani pidana paling sedikit lima tahun berturut-turut serta berkelakuan baik, dapat diubah pidananya menjadi pidana penjara sementara, dengan lama sisa pidana yang masih harus dijalani paling lama lima belas tahun.

Nah, jika dilihat dari ketentuan itu maka besar kemungkinan Susrma akan bebas sebelum 2029, apabila dia kembali mendapatkan remisi umum dan khusus yang diberikan pada hari kemerdekaan dan hari raya.

“Susrama akan keluar lebih cepat jika mendapat pembebasan bersyarat,” bebernya. Ditambahkan, sistem hukum yang dianut Indonesia tidak mengenal hukuman 30 Tahun penjara.

Pidana maksimal adalah 20 tahun penjara, seumur hidup dan hukuman mati. Acuan itu menganut sistem hukum Eropa continental, bahwa apa yang tertulis dalam Undang-Undang maka itulah yang berlaku.

“Karena itu saya meminta agar Menteri Hukum dan HAM RI segera meralat ucapannya karena dapat menyesatkan publik,” tuntutnya.

Lebih lanjut, meski namanya remisi namun jika dilihat dalam Undang-Undang Nomor 22/2002  setara dengan grasi pada Pasal 4 ayat 2 (a)  bisa dibaca merupakan Peringanan hukuman dan Pengubahan jenis hukuman.

Dengan demikian, Keppres Nomor 174/1999 tentang Remisi sesungguhnya bertabrakan dengan Undang-Undang Grasi.

“Makanya Pengubahan Hukuman dari Seumur Hidup menjadi 20 Tahun Penjara menjadi aneh dan ajaib,” sindirnya.

Karena kekeliruan sejak awal itu jangan lagi diperparah pernyataan Menteri Hukum dan HAM RI yang menjadi blunder hukum.

“Karena pernyataan Menteri Hukum dan HAM itu tanpa payung dan atapnya, maka bersiaplah disambar petir penolakan rakyat,” pungkas Suardana. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/