Oleh: Dahlan Iskan
Tidak semua laki-laki seperti Herry Susanto. Saya baru kenal ia saat mendarat di bandara Tambulaka, Sumba Barat Daya. Di bandara itu ia menyalami saya. Herry mau terbang ke Kupang.
”Pak Dahlan mau ke mana?,” tanyanya.
”Ke Sumba Timur. Tapi mau mampir dulu ke Nihi Sumba di Nihi Watu,” jawab saya.
”Kok sendirian?,” tanyanya lagi.
”Saya kan sudah besar… hahha …,” jawab saya sekenanya.
Singkatnya: ”Pakai saja mobil saya. Ada sopirnya,” katanya.
”Gak apa-apa?,” tanya saya basa-basi.
Dalam hati sih saya berhoreee… gak perlu cari sewaan mobil. Yang juga tidak tahu di mana ada sewaan itu.
”Pak Dahlan pakai saja… berapa hari pun silakan…,” katanya. ”Toh saya ke Kupang… mobil ini nganggur … justru saya minta maaf tidak bisa menemani,” tambahnya.
”Tapi … bolehkah saya sopirinya sendiri saja? Tidak perlu sopir?,” tanya saya.
Herry terheran-heran. Tapi rupanya ia tahu kebiasaan saya di Sumba. Waktu jadi menteri pun saya sering membawa mobil sendiri.
Pernah tabrakan di tikungan dekat peternakan. Pernah juga bannya kempes di tengah sabana. Saat kembali dari ladang penari langitnya Ricky Elson. Di Sumba Timur. Tidak ada ban serep. Mobil saya paksa meneruskan perjalanan. Dengan ban kempes. Sampai peleknya tidak bisa dipakai lagi.
”Hati-hati ya pak… ini Sumba. Jalannya berliku-liku. Mobil ini pakai kopling. Pak Dahlan kan biasa mobil matic,” pesan Herry.
Herry adalah pengusaha muda. Teman jarak jauh Bobby Liono yang ketemu saya di bandara Ngurah Rai itu. Yang awalnya benci bapaknya itu.
Saya catat nomor HP Herry. Takut ada masalah ban kempes dengan mobil itu. Saya berjanji akan mengembalikan mobil itu di lapangan parkir bandara yang sama. Kapan-kapan.
Wow…mobilnya ada bak belakangnya. Double cabin. Mobil off road. Cocok untuk medan Sumba. Cat luarnya doreng. Seperti mobil tentara. Cocok untuk Sumba Barat. Yang sering rusuh. Yang kantor bupatinya pun dibakar habis. Yang laki-lakinya selalu menyandang pedang panjang di pinggang mereka.
Yang banyak bangunan beton nan megah penyimpan mayat di halaman warga.
Sepuluh menit pertama saya harus berlatih: membiasakan kombinasi persneleng-rem-gas. Sudah begitu lama tidak mengemudikan mobil seperti ini.
Saat meninggalkan kota Tambulaka (ibukota kabupaten Sumba Barat Daya) saya masih tertatih-tatih. Apalagi jalan sempit itu padat. Banyak konvoi kampanye hari terakhir Pilkada.
Tapi setelah lepas kota Waikabubak (ibukota kabupaten Sumba Barat) sudah mulai terbiasa. Justru asyik. Bisa main gigi rendah dengan lincah. Di setiap tikungan. Dan tikungannya ribuan. Pendek-pendek. Tajam-tajam. Naik-turun.
Di Amerika tidak ada lagi jenis tikungan seperti ini. Di Yellow Stone pun. Di Rocky Mountain sekali pun. Sumba memang istimewa.
Saya memang pengagum alam Sumba. Terutama di bulan Juni seperti ini. Atau di bulan Juli. Terakhir Agustus. Sejuk dan nyaman. Damai dan ngeri. Indah dalam kegersangan.
Tidak ayal bila raja penyair Indonesia yang juga presiden Malioboro, yang gurunya para penyair, gurunya Emha, gurunya Linus, Si Umbu Landu Paranggi begitu emosional dengan tempat kelahirannya. Dan lahirlah sajak-sajak tentang Sumba yang legendaris. Yang dibaca siapa saja.
Sekaliber ‘ayatullah sastra Indonesia’ Taufik Ismail langsung teringat Sumba. Saat berada di Uzbekistan nan jauh. Dan lahirlah sajaknya: “Berikan Daku Sumba”.
BERIKAN DAKU SUMBA
Oleh: Taufik Ismail
Di Uzbekistan, ada padang terbuka dan berdebu.
Aneh, aku jadi ingat pada Umbu
Rinduku pada Sumba adalah rindu padang-padang terbuka
Di mana matahari membusur api di atas sana.
Rinduku pada Sumba adalah rindu peternak perjaka
Bilamana peluh dan tenaga tanpa dihitung harga .
Tanah rumput, topi rumput dan jerami bekas rumput.
Kleneng genta, ringkik kuda dan teriakan gembala.
Berdirilah di pesisir, matahari ‘kan terbit dari laut.
Dan angin zat asam panas dikipas dari sana.
Beri daku sepotong daging bakar, lenguh kerbau dan sapi malam hari.
Beri daku sepucuk gitar, bossa nova dan tiga ekor kuda.
Beri daku cuaca tropika, kering tanpa hujan ratusan hari.
Beri daku ranah tanpa pagar, luas tak terkata, namanya Sumba.
Rinduku pada Sumba adalah rindu seribu ekor kuda.
Yang turun menggemuruh di kaki bukit-bukit yang jauh.
Sementara langit bagai kain tenunan tangan, gelap coklat tua.
Dan bola api, merah padam, membenam di ufuk teduh .
Rinduku pada Sumba adalah rindu padang-padang terbuka.
Di mana matahari bagai bola api, cuaca kering dan ternak melenguh.
Rinduku pada Sumba adalah rindu seribu ekor kuda.
Yang turun menggemuruh di kaki bukit-bukit yang jauh.
*
Begitu hebat Taufik mengenang Umbu. Umbu sendiri memang dikenal sebagai penyair misterius. Semesterius alam Sumba. Kini umurnya 74 tahun. Tidak di Jogja lagi. Ia tinggal di Bali. Sambil mengasuh rubrik sastra di Bali Pos.
Saat saya di Sumba Cak Nun mengirimi saya: foto-foto terbaru Umbu. Bersama komunitasnya di Bali. Dalam acara maiyahan. (Lihat foto-foto kiriman Emha yang saya sertakan di sini).
Simaklah salah satu sajak Umbu berjudul Sabana berikut ini. Yang saya ambil dari “Suara Pancaran Sastra”, himpunan esai dan kritik, Korrie Layun Rampan, Yayasan Arus Jakarta 1984:
SABANA
memburu fajar
yang mengusir bayang-bayangku
menghadang senja
yang memanggil petualang
sabana sunyi
di sini hidupku
sebuah gitar tua
seorang lelaki berkuda
sabana tandus
mainkan laguku
harum napas bunda
seorang gembala berpacu
lapar dan dahaga
kemarau yang kurindu
dibakar matahari
hela jiwaku risau
karena kumau lebih cinta
hunjam aku ke bibir cakrawala
*
Saya ingin: lebih banyak lagi orang datang ke Sumba. Mencari inspirasi. Memperkaya jiwa. Mengasah nurani. Melupakan dunia. Nirpeduli birkin. Abaikan Bijan. Termasuk Nihi Sumba. (dis)