24 C
Jakarta
13 September 2024, 2:07 AM WIB

Warga Tetap Bertahan, Buat Bedeng dan Nekat Beraktivitas Seperti Biasa

Kasus eksekusi 7 rumah di Tegal Jambangan, Desa Sayan, Kecamatan Ubud berlangsung sejak April 2017 lalu. Rumah warga dirobohkan dengan buldoser.

Meski begitu, beberapa diantaranya nekat bertahan. Seperti yang dilakukan oleh keluarga Dewa Made Rai, 70. Di atas tanah itu, dia membuat bedeng dan hidup seperti biasa. Bagaimana keadaan mereka?

 

IB INDRA PRASETIA, Gianyar

PUINGPUING reruntuhan beton, masih tampak terlihat di atas lahan Tegal Jambangan, Desa Sayan, Kecamatan Ubud.

Bangunan yang roboh itu menjadi saksi eksekusi di atas lahan seluas kurang lebih 50 hektar itu, pada April 2017 lalu.

Warga yang rumahnya diratakan, tetap nekat menempati rumah itu. Di sebelah reruntuhan, warga membuat bedeng untuk tidur.

Seperti yang dilakukan oleh keluarga Dewa Made Rai, 70. Warga asli Banjar Kutaraga, Desa Bongkasa, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung, itu sudah sejak turun temurun tinggal di atas lahan yang menjadi sengketa.

“Mau tinggal di mana lagi saya? Sudah dari leluhur saya tinggal di sini,” ujar Dewa Made Rai, Senin  kemarin(1/7).

Bedeng berukuran kurang lebih 4 x 5 meter itu terbuat semi permanen. Beratap asbes dan berdinding seng.

Bangunan beralas tanah itu terdapat kasur kecil. Meski telah dieksekusi, dia tinggal di sana bersama keluarga adiknya.

“Di sini saya tetap berkebun. Memang itu saja pekerjaan saya dari dulu,” ujarnya. Sehari-hari, dia hidup dari hasil kebun. Untuk memasak, dia mengandalkan hasil kebun dan kayu bakar.

Sedangkan untuk air, sudah ada sumur di atas lahan miliknya. “Kalau listrik masih ada,” jelasnya. Kasus eksekusi lahan itu juga menyisakan kenangan pilu.

Adik kandungnya, Dewa Ketut Raka Sudarma, mendadak sakit usai pembongkaran rumah. “Setelah rumah dibongkar, adik saya sakit dan meninggal 2 tahun lalu,” ujarnya sedih.

Sekarang istri adiknya, Sukerti, berusaha menyambung hidup dengan membuat jajanan keperluan banten. “Jajanannya sudah ada yang memesan. Kami berjuang di sini,” jelasnya.

Dewa Made Rai merupakan warga asli Bongkasa, Badung, yang sejak lama tinggal di Tegal Jambangan.

“KTP saya Badung dan masuk adat di Bongkasa Badung. Kalau di sana (Bongkasa, red) ada karya (upacara, red), suara kulkul di sana terdengar sampai disini,” jelasnya.

Jarak antara Bongkasa dan Tegal Jambangan itu hanya dipisahkan oleh sungai Ayung, sehingga keluarganya bisa mendengar suara kulkul di seberang sungai.

Dari Tegal Jambangan, warga harus memutar untuk mencari jembatan menuju ke Bongkasa. Selain menjadi warga adat Bongkasa, putri dan keponakannya juga bersekolah di Badung. 

Kata dia, sejak dulu, leluhurnya dari Bongkasa menjadi pengikut di Puri Sayan (Trah Ubud). “Dulu saya dengar cerita leluhur saya diberikan lahan di sini. Jadi sudah lama di sini,” jelasnya.

Meski begitu, orang tuanya dulu sudah mempunyai pipil dan bukti pembayaran pajak tanah. “Ada tertulis di daun ental (lontar, red). Kami juga punya pipil lama dan bukti pajak,” jelasnya.

Warga Tegal Jambangan lainnya, Dewa Made Swandawa, 58, menyatakan pasca-pembongkaran lahan, situasi di Tegal Jambangan kini masih aman.

“Dari dulu kami sangat tertekan sekali. Rumah saya permanen, tinggal sanggah (pura, red) yang disisakan,” ujar guru di salah satu SMP itu menambahkan.

Dewa Made Swandana dan beberapa yang rumahnya digusur memilih pergi dari lahan itu. “Saya ada lahan lain. Kalau yang tidak punya lahan, tetap bertahan di sini,” bebernya.

Diakui, sejak zaman kakeknya, sudah menetap disana dan mempunyai bukti pipil serta pembayaran pajak.

Dia pun tidak mengerti kenapa bukti pipil dan pembayaran pajak mendadak berubah. Ternyata keluar sertifikat atas nama Pura Kemuda Saraswati yang diempon oleh Puri Ubud.

Warga juga telah melakukan berbagai upaya, mulai mendatangi Kantor Badan Pertanahan Negara (BPN), Polda Bali, hingga ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).

“Kami tetap mempertanyakan ini. Kenapa bisa keluar sertifikat lain,” tukasnya. Diberitakan sebelumnya, lahan Tegal Jambangan itu seluas kurang lebih 50 hektar.

Di atas lahan itu digarap sekitar 70 kepala keluarga (KK). Selain ada kebun, sebanyak 7 KK juga membangun rumah permanen lengkap dengan pura keluarga.

Versi warga, mereka tidak tahu-menahu tanah mereka disertifikatkan atas nama Pura Kemuda Saraswati.

Sedangkan, versi pangempon pura, dari Puri Ubud, menyatakan tanah tersebut sudah dibeli dari warga. Bahkan, hubungan historis antara warga dengan panglingsir di puri Ubud sudah terjalin sejak lama. (*)

 

Kasus eksekusi 7 rumah di Tegal Jambangan, Desa Sayan, Kecamatan Ubud berlangsung sejak April 2017 lalu. Rumah warga dirobohkan dengan buldoser.

Meski begitu, beberapa diantaranya nekat bertahan. Seperti yang dilakukan oleh keluarga Dewa Made Rai, 70. Di atas tanah itu, dia membuat bedeng dan hidup seperti biasa. Bagaimana keadaan mereka?

 

IB INDRA PRASETIA, Gianyar

PUINGPUING reruntuhan beton, masih tampak terlihat di atas lahan Tegal Jambangan, Desa Sayan, Kecamatan Ubud.

Bangunan yang roboh itu menjadi saksi eksekusi di atas lahan seluas kurang lebih 50 hektar itu, pada April 2017 lalu.

Warga yang rumahnya diratakan, tetap nekat menempati rumah itu. Di sebelah reruntuhan, warga membuat bedeng untuk tidur.

Seperti yang dilakukan oleh keluarga Dewa Made Rai, 70. Warga asli Banjar Kutaraga, Desa Bongkasa, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung, itu sudah sejak turun temurun tinggal di atas lahan yang menjadi sengketa.

“Mau tinggal di mana lagi saya? Sudah dari leluhur saya tinggal di sini,” ujar Dewa Made Rai, Senin  kemarin(1/7).

Bedeng berukuran kurang lebih 4 x 5 meter itu terbuat semi permanen. Beratap asbes dan berdinding seng.

Bangunan beralas tanah itu terdapat kasur kecil. Meski telah dieksekusi, dia tinggal di sana bersama keluarga adiknya.

“Di sini saya tetap berkebun. Memang itu saja pekerjaan saya dari dulu,” ujarnya. Sehari-hari, dia hidup dari hasil kebun. Untuk memasak, dia mengandalkan hasil kebun dan kayu bakar.

Sedangkan untuk air, sudah ada sumur di atas lahan miliknya. “Kalau listrik masih ada,” jelasnya. Kasus eksekusi lahan itu juga menyisakan kenangan pilu.

Adik kandungnya, Dewa Ketut Raka Sudarma, mendadak sakit usai pembongkaran rumah. “Setelah rumah dibongkar, adik saya sakit dan meninggal 2 tahun lalu,” ujarnya sedih.

Sekarang istri adiknya, Sukerti, berusaha menyambung hidup dengan membuat jajanan keperluan banten. “Jajanannya sudah ada yang memesan. Kami berjuang di sini,” jelasnya.

Dewa Made Rai merupakan warga asli Bongkasa, Badung, yang sejak lama tinggal di Tegal Jambangan.

“KTP saya Badung dan masuk adat di Bongkasa Badung. Kalau di sana (Bongkasa, red) ada karya (upacara, red), suara kulkul di sana terdengar sampai disini,” jelasnya.

Jarak antara Bongkasa dan Tegal Jambangan itu hanya dipisahkan oleh sungai Ayung, sehingga keluarganya bisa mendengar suara kulkul di seberang sungai.

Dari Tegal Jambangan, warga harus memutar untuk mencari jembatan menuju ke Bongkasa. Selain menjadi warga adat Bongkasa, putri dan keponakannya juga bersekolah di Badung. 

Kata dia, sejak dulu, leluhurnya dari Bongkasa menjadi pengikut di Puri Sayan (Trah Ubud). “Dulu saya dengar cerita leluhur saya diberikan lahan di sini. Jadi sudah lama di sini,” jelasnya.

Meski begitu, orang tuanya dulu sudah mempunyai pipil dan bukti pembayaran pajak tanah. “Ada tertulis di daun ental (lontar, red). Kami juga punya pipil lama dan bukti pajak,” jelasnya.

Warga Tegal Jambangan lainnya, Dewa Made Swandawa, 58, menyatakan pasca-pembongkaran lahan, situasi di Tegal Jambangan kini masih aman.

“Dari dulu kami sangat tertekan sekali. Rumah saya permanen, tinggal sanggah (pura, red) yang disisakan,” ujar guru di salah satu SMP itu menambahkan.

Dewa Made Swandana dan beberapa yang rumahnya digusur memilih pergi dari lahan itu. “Saya ada lahan lain. Kalau yang tidak punya lahan, tetap bertahan di sini,” bebernya.

Diakui, sejak zaman kakeknya, sudah menetap disana dan mempunyai bukti pipil serta pembayaran pajak.

Dia pun tidak mengerti kenapa bukti pipil dan pembayaran pajak mendadak berubah. Ternyata keluar sertifikat atas nama Pura Kemuda Saraswati yang diempon oleh Puri Ubud.

Warga juga telah melakukan berbagai upaya, mulai mendatangi Kantor Badan Pertanahan Negara (BPN), Polda Bali, hingga ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).

“Kami tetap mempertanyakan ini. Kenapa bisa keluar sertifikat lain,” tukasnya. Diberitakan sebelumnya, lahan Tegal Jambangan itu seluas kurang lebih 50 hektar.

Di atas lahan itu digarap sekitar 70 kepala keluarga (KK). Selain ada kebun, sebanyak 7 KK juga membangun rumah permanen lengkap dengan pura keluarga.

Versi warga, mereka tidak tahu-menahu tanah mereka disertifikatkan atas nama Pura Kemuda Saraswati.

Sedangkan, versi pangempon pura, dari Puri Ubud, menyatakan tanah tersebut sudah dibeli dari warga. Bahkan, hubungan historis antara warga dengan panglingsir di puri Ubud sudah terjalin sejak lama. (*)

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/