Awalnya terlihat seperti biasa saja. Juga seperti tidak ada hubungan dengan taktik seorang presiden: Bantuan Rp 6 triliun dibekukan. Direktur keamanan Eropa meletakkan jabatan. Direktur nasional intelijen mengundurkan diri. Tepatnya, diminta mundur. Ternyata semua itu terkait. Baru ketahuan minggu lalu. Setelah transkrip omongan dua presiden itu bocor. Yakni transkrip pembicaraan antara Presiden Donald Trump dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky. Yang berbuntut serius: Presiden Trump di-impeach. Yang prosesnya pun sudah dimulai minggu lalu. Semua itu bermula tanggal 13 Agustus lalu. Hari itu seseorang yang menyebut dirinya ‘Peniup Peluit’ mengirim surat rahasia. Sebanyak 9 halaman. Itu sebagai kewajiban dinasnya. Agar kelak tidak disalahkan. Isinya: “Saya mendapat informasi dari beberapa staf di pemerintahan bahwa Presiden Amerika Serikat menggunakan kekuasaannya untuk mengundang intervensi asing ke dalam proses Pemilu 2020”. Si Peniup Peluit hanya memperkenalkan diri sebagai orang yang pernah menjadi staf di Gedung Putih. Ia juga mengaku pernah berdinas di badan intelijen Amerika, CIA. Selebihnya ia merahasiakan identitas dirinya. Si Peniup Peluit mengaku apa adanya: ia bukan orang yang mengalami sendiri peristiwa itu. Ia hanya mendengar informasi tersebut. Namun ia mengatakan informasinya itu terpercaya. Ia sendiri sudah menanyakannya ke beberapa staf yang terkait. Pendapat mereka sama: telah terjadi pelanggaran hukum oleh seorang presiden. Yang mendapat kiriman surat itu adalah: 1. Richard Burr, senator dari North Carolina. Dari Partai Republik. Separtai dengan Trump. 2. Adam B Schiff, Anggota DPR dari California. Ia dari Partai Demokrat. 3. Ketua Komite Intelijen Kongres. 13 hari kemudian, 26 Agustus, surat itu diteruskan ke satu instansi intelijen. Secara resmi. Untuk mendapatkan klarifikasi. Instansi yang dikirimi surat tersebut menjawab: pembicaraan telepon tanggal 25 Juli tersebut akurat. Mengapa hari itu Trump menelepon Zelensky? Hanya Tuhan yang tahu. Trump sebenarnya juga tahu –tapi ia tidak mengaku isinya seperti itu. Versi elektronik pembicaraan itu sudah tidak ada di tempatnya. Sudah dipindah secara khusus ke kelompok ‘dokumen rahasia’. Pemindahan dokumen itu sendiri menimbulkan masalah. Harusnya hanya dokumen yang membahayakan keamanan negara yang bisa dipindah. Sedang yang itu sama sekali tidak membahayakan keamanan negara. Hanya membahayakan keamanan seorang presiden. Di Amerika dibedakan: antara keamanan negara dengan keamanan presidennya. Mengapa Trump melakukan pembicaraan telepon seperti itu? Di bulan Juli itu Trump memang lagi tertekan. Oleh pemanggilan-pemanggilan DPR. Terkait dengan keterlibatan Rusia dalam Pemilu 2016 –yang memenangkannya. Bulan itu Trump juga lagi tertekan untuk Pemilu 2020. Diketahui, dukungan untuk Joe Biden ternyata sangat tinggi. Capres dari Partai Demokrat itu mengunggulinya. Agak jauh. Biden akan mengalahkan Trump di Pemilu 2020. Di tengah tekanan itu Trump cari senjata. Ketemu: Ukraina. Yang bagian timurnya lagi bergejolak. Minta merdeka. Didukung senjata Rusia. Presiden Ukraina Zelensky, lagi merengek bantuan Amerika. Kongres sudah menyetujui bantuan itu: sekitar Rp 6 triliun. Tapi Trump membekukan bantuan itu. Tanpa alasan. Semula Ukraina heran: ada apa? Baru tanggal 25 Juli itu Zelensky tahu: terkait dengan politik dalam negeri Amerika. Hari itu Zelensky menerima telepon dari Trump. Isinya –seperti tersiar di transkrip– Trump menginginkan imbalan untuk bantuan itu. Ada quid pro quo di balik pembekuan itu. Yakni: agar Zelensky memerintahkan aparatnya. Untuk menyelidiki kebijakan Joe Biden terkait Ukraina. Yakni saat Biden menjabat wakil presiden. Trump akan memakai hasil penyelidikan tersebut untuk menjatuhkan pesaingnya itu. Agar bisa menang lagi di Pemilu 2020. Permintaan Trump itu tidak hanya untuk penyelidiki Biden. Terutama mengenai keterlibatan Hunter Biden, anak bungsu Biden. Saat Biden mendampingi Barack Obama, Hunter duduk sebagai pengurus di sebuah perusahaan energi Ukraina. Transkrip pembicaraan telepon itulah yang dipakai si Peniup Peluit membuat laporan di atas. Info itu ditangani serius oleh DPR. Tidak ada tanda-tanda transaksional dengan kekuasaan. Di parlemen sana. Di Amerika. Kongres juga menanyakan yang lain: mengapa bantuan Rp 6 triliun itu tidak segera dicairkan. Semula Trump mengatakan ‘khawatir bantuan itu dikorupsi di Ukraina’. Belakangan Trump beralasan ‘mengapa hanya Amerika yang membantu Ukraina. Mestinya kan juga Eropa’. Pokoknya, mbulet. Trump sendiri berangnya luar biasa. Twitter-nya juga kian banyak –dan kian seru. Salah satunya sampai dianggap menjijikkan oleh kalangan partainya sendiri. Yakni twitter yang mengatakan “Kalau sampai saya dilengserkan akan terjadi perang sipil di Amerika dan negeri ini tidak akan bisa bangkit lagi”. Lalu dibayangkan Amerika akan seperti Irak. Yang hancur lebur. Akibat perang sipil. Parlemen Inggris kelihatannya lebih cerdik. Dalam menghadapi kekuasaan BoJo. Di Inggris, mereka tidak mau mengutamakan proses politik –sejenis impeachment. Di sana BoJo –Boris ‘Donald’ Johnson langsung diadukan ke pengadilan. Di Inggris lebih berhasil. Toh jelas-jelas ada pelanggaran hukumnya. Di Amerika kelihatannya lebih memilih jalan killing softly. Yang di Indonesia diterjemahkan menjadi ‘jangan bunuh aku dengan pedangmu’.(Dahlan Iskan)
Impeachment Trump
Awalnya terlihat seperti biasa saja. Juga seperti tidak ada hubungan dengan taktik seorang presiden: Bantuan Rp 6 triliun dibekukan. Direktur keamanan Eropa meletakkan jabatan. Direktur nasional intelijen mengundurkan diri. Tepatnya, diminta mundur. Ternyata semua itu terkait. Baru ketahuan minggu lalu. Setelah transkrip omongan dua presiden itu bocor. Yakni transkrip pembicaraan antara Presiden Donald Trump dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky. Yang berbuntut serius: Presiden Trump di-impeach. Yang prosesnya pun sudah dimulai minggu lalu. Semua itu bermula tanggal 13 Agustus lalu. Hari itu seseorang yang menyebut dirinya ‘Peniup Peluit’ mengirim surat rahasia. Sebanyak 9 halaman. Itu sebagai kewajiban dinasnya. Agar kelak tidak disalahkan. Isinya: “Saya mendapat informasi dari beberapa staf di pemerintahan bahwa Presiden Amerika Serikat menggunakan kekuasaannya untuk mengundang intervensi asing ke dalam proses Pemilu 2020”. Si Peniup Peluit hanya memperkenalkan diri sebagai orang yang pernah menjadi staf di Gedung Putih. Ia juga mengaku pernah berdinas di badan intelijen Amerika, CIA. Selebihnya ia merahasiakan identitas dirinya. Si Peniup Peluit mengaku apa adanya: ia bukan orang yang mengalami sendiri peristiwa itu. Ia hanya mendengar informasi tersebut. Namun ia mengatakan informasinya itu terpercaya. Ia sendiri sudah menanyakannya ke beberapa staf yang terkait. Pendapat mereka sama: telah terjadi pelanggaran hukum oleh seorang presiden. Yang mendapat kiriman surat itu adalah: 1. Richard Burr, senator dari North Carolina. Dari Partai Republik. Separtai dengan Trump. 2. Adam B Schiff, Anggota DPR dari California. Ia dari Partai Demokrat. 3. Ketua Komite Intelijen Kongres. 13 hari kemudian, 26 Agustus, surat itu diteruskan ke satu instansi intelijen. Secara resmi. Untuk mendapatkan klarifikasi. Instansi yang dikirimi surat tersebut menjawab: pembicaraan telepon tanggal 25 Juli tersebut akurat. Mengapa hari itu Trump menelepon Zelensky? Hanya Tuhan yang tahu. Trump sebenarnya juga tahu –tapi ia tidak mengaku isinya seperti itu. Versi elektronik pembicaraan itu sudah tidak ada di tempatnya. Sudah dipindah secara khusus ke kelompok ‘dokumen rahasia’. Pemindahan dokumen itu sendiri menimbulkan masalah. Harusnya hanya dokumen yang membahayakan keamanan negara yang bisa dipindah. Sedang yang itu sama sekali tidak membahayakan keamanan negara. Hanya membahayakan keamanan seorang presiden. Di Amerika dibedakan: antara keamanan negara dengan keamanan presidennya. Mengapa Trump melakukan pembicaraan telepon seperti itu? Di bulan Juli itu Trump memang lagi tertekan. Oleh pemanggilan-pemanggilan DPR. Terkait dengan keterlibatan Rusia dalam Pemilu 2016 –yang memenangkannya. Bulan itu Trump juga lagi tertekan untuk Pemilu 2020. Diketahui, dukungan untuk Joe Biden ternyata sangat tinggi. Capres dari Partai Demokrat itu mengunggulinya. Agak jauh. Biden akan mengalahkan Trump di Pemilu 2020. Di tengah tekanan itu Trump cari senjata. Ketemu: Ukraina. Yang bagian timurnya lagi bergejolak. Minta merdeka. Didukung senjata Rusia. Presiden Ukraina Zelensky, lagi merengek bantuan Amerika. Kongres sudah menyetujui bantuan itu: sekitar Rp 6 triliun. Tapi Trump membekukan bantuan itu. Tanpa alasan. Semula Ukraina heran: ada apa? Baru tanggal 25 Juli itu Zelensky tahu: terkait dengan politik dalam negeri Amerika. Hari itu Zelensky menerima telepon dari Trump. Isinya –seperti tersiar di transkrip– Trump menginginkan imbalan untuk bantuan itu. Ada quid pro quo di balik pembekuan itu. Yakni: agar Zelensky memerintahkan aparatnya. Untuk menyelidiki kebijakan Joe Biden terkait Ukraina. Yakni saat Biden menjabat wakil presiden. Trump akan memakai hasil penyelidikan tersebut untuk menjatuhkan pesaingnya itu. Agar bisa menang lagi di Pemilu 2020. Permintaan Trump itu tidak hanya untuk penyelidiki Biden. Terutama mengenai keterlibatan Hunter Biden, anak bungsu Biden. Saat Biden mendampingi Barack Obama, Hunter duduk sebagai pengurus di sebuah perusahaan energi Ukraina. Transkrip pembicaraan telepon itulah yang dipakai si Peniup Peluit membuat laporan di atas. Info itu ditangani serius oleh DPR. Tidak ada tanda-tanda transaksional dengan kekuasaan. Di parlemen sana. Di Amerika. Kongres juga menanyakan yang lain: mengapa bantuan Rp 6 triliun itu tidak segera dicairkan. Semula Trump mengatakan ‘khawatir bantuan itu dikorupsi di Ukraina’. Belakangan Trump beralasan ‘mengapa hanya Amerika yang membantu Ukraina. Mestinya kan juga Eropa’. Pokoknya, mbulet. Trump sendiri berangnya luar biasa. Twitter-nya juga kian banyak –dan kian seru. Salah satunya sampai dianggap menjijikkan oleh kalangan partainya sendiri. Yakni twitter yang mengatakan “Kalau sampai saya dilengserkan akan terjadi perang sipil di Amerika dan negeri ini tidak akan bisa bangkit lagi”. Lalu dibayangkan Amerika akan seperti Irak. Yang hancur lebur. Akibat perang sipil. Parlemen Inggris kelihatannya lebih cerdik. Dalam menghadapi kekuasaan BoJo. Di Inggris, mereka tidak mau mengutamakan proses politik –sejenis impeachment. Di sana BoJo –Boris ‘Donald’ Johnson langsung diadukan ke pengadilan. Di Inggris lebih berhasil. Toh jelas-jelas ada pelanggaran hukumnya. Di Amerika kelihatannya lebih memilih jalan killing softly. Yang di Indonesia diterjemahkan menjadi ‘jangan bunuh aku dengan pedangmu’.(Dahlan Iskan)