29.2 C
Jakarta
30 April 2024, 3:31 AM WIB

Pertanian Jadi Idola, Kurangi Sektor Fisik, Banyak Serap Tenaga Kerja

Desa Tembok di Kecamatan Tejakula punya cara sendiri dalam menghadapi masa pandemi. Mereka melakukan pemberdayaan terhadap masyarakat setempat.

Terlebih hampir separo warga mereka kini memilih pulang kampung, karena tak ada pekerjaan di kota, tempat tinggal mereka selama ini.

 

EKA PRASETYA, Singaraja

SEJAK awal masa pandemi covid-19, desa setempat telah bersiap menyambut gelombang kedatangan warga yang merantau.

Desa sejak awal memprediksi akan terjadi kelumpuhan ekonomi di ibukota. Sebab sektor pariwisata tak lagi bergerak.

Pemerintah desa pun mulai mempersiapkan skema ekonomi bagi masyarakat yang terdampak. Mereka digandeng melalui program padat karya tunai.

Program-program pemberdayaan pemerintah, melibatkan warga. Warga yang digandeng kemudian diberi upah. Upah itu setidaknya cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga saat hidup di desa.

Perbekel Tembok Dewa Komang Yudi Astara mengungkapkan, di awal masa pandemi, pemerintah menyiapkan 25 jenis pekerjaan.

Mulai dari pembuatan masker, pembersihan saluran irigasi, penyapuan jalan raya, pemetaan potensi bahari, hingga program pertanian.

Pekerjaan itu disesuaikan dengan target pembangunan yang akan dicapai pemerintah desa. “Kami kurangi sektor fisik. Supaya bisa menyerap lebih banyak pekerja.

Kalau misalnya kami kerjakan proyek fisik, itu kurang maksimal serapan tenaga kerjanya. Misalnya kita bicara rabat beton,

itu 60-70 persen sudah pasti habis di ongkos material. Sisanya baru untuk tenaga,” kata Yudi saat ditemui di Desa Tembok.

Alhasil pemerintah desa pun lebih fokus mengembangkan program padat karya di bidang pemberdayaan masyarakat. Misalnya di sektor pertanian.

Warga diajari bertani. Lahan-lahan yang tadinya tandus, diolah sedemikian rupa agar dapat menghasilkan sayur mayur. Total sudah ada 4 buah kebun yang dikembangkan oleh pihak desa.

“Warga yang mengolah kami bayar. Tergantung dari berat pekerjaannya. Berkisar antara Rp 900ribu sampai Rp 1,2 juta per bulan.

Sayurnya juga bisa mereka minta untuk kebutuhan di rumah. Saya berpikir, pandemi ini akan panjang. Makanya warga yang kehilangan pekerjaan, kami ajak bertani.

Paling tidak untuk makan, mereka sudah aman. Karena nanti kita akan kembali ke kebutuhan utama, urusan perut, butuh makanan,” kata Yudi.

Salah seorang warga, Dewa Tomi Wahyudi, mengaku tertarik bergabung dengan program pemberdayaan masyarakat itu. Ia mulai bergabung dengan program padat karya di desa, sejak bulan Mei lalu.

Tomi mengaku di-PHK dari tempatnya bekerja sejak April. Begitu di PHK, ia langsung pulang kampung dengan uang pesangon yang pas-pasan.

Saat awal pandemi, ia sempat berusaha mendapat program Bantuan Langsung Tunai Dana Desa (BLT-DD). Tapi ketika itu ia gagal mendapatkannya.

“Hanya yang disabilitas dan lansia saja yang dapat. Waktu itu keputusan di desa begitu. Kalau mau dapat BLT, harus lansia dulu atau lumpuh dulu. Akhirnya ya sudah, tidak dapat BLT,” kata Tomi.

Saat pemerintah membuka peluang program padat karya tunai, ia langsung mendaftarkan diri. Meski upahnya hanya Rp 900 ribu per bulan.

Upah itu hanya 10 persen bila dibandingkan dengan gaji yang ia dapat saat bekerja di restoran. “Bagi saya ini lebih baik dari pada nol. Lebih baik juga ketimbang dapat BLT.

Selagi masih punya tenaga, masih bisa berusaha, ya bekerja saja dulu. Yang penting keluarga masih bisa makan. Saat ini, itu yang penting bagi saya,” imbuhnya.

Apakah nantinya akan kembali lagi ke pariwisata? Tomi mengaku tidak bisa memastikan. “Saya bukan orang yang suka berencana. Kalau ada peluang, entah itu berangkat ke laut (kapal pesiar),

atau kembali ke pariwisata, mungkin saja. Kalau di desa lebih menjanjikan, mungkin saya akan di desa saja,” katanya. (*)

 

 

Desa Tembok di Kecamatan Tejakula punya cara sendiri dalam menghadapi masa pandemi. Mereka melakukan pemberdayaan terhadap masyarakat setempat.

Terlebih hampir separo warga mereka kini memilih pulang kampung, karena tak ada pekerjaan di kota, tempat tinggal mereka selama ini.

 

EKA PRASETYA, Singaraja

SEJAK awal masa pandemi covid-19, desa setempat telah bersiap menyambut gelombang kedatangan warga yang merantau.

Desa sejak awal memprediksi akan terjadi kelumpuhan ekonomi di ibukota. Sebab sektor pariwisata tak lagi bergerak.

Pemerintah desa pun mulai mempersiapkan skema ekonomi bagi masyarakat yang terdampak. Mereka digandeng melalui program padat karya tunai.

Program-program pemberdayaan pemerintah, melibatkan warga. Warga yang digandeng kemudian diberi upah. Upah itu setidaknya cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga saat hidup di desa.

Perbekel Tembok Dewa Komang Yudi Astara mengungkapkan, di awal masa pandemi, pemerintah menyiapkan 25 jenis pekerjaan.

Mulai dari pembuatan masker, pembersihan saluran irigasi, penyapuan jalan raya, pemetaan potensi bahari, hingga program pertanian.

Pekerjaan itu disesuaikan dengan target pembangunan yang akan dicapai pemerintah desa. “Kami kurangi sektor fisik. Supaya bisa menyerap lebih banyak pekerja.

Kalau misalnya kami kerjakan proyek fisik, itu kurang maksimal serapan tenaga kerjanya. Misalnya kita bicara rabat beton,

itu 60-70 persen sudah pasti habis di ongkos material. Sisanya baru untuk tenaga,” kata Yudi saat ditemui di Desa Tembok.

Alhasil pemerintah desa pun lebih fokus mengembangkan program padat karya di bidang pemberdayaan masyarakat. Misalnya di sektor pertanian.

Warga diajari bertani. Lahan-lahan yang tadinya tandus, diolah sedemikian rupa agar dapat menghasilkan sayur mayur. Total sudah ada 4 buah kebun yang dikembangkan oleh pihak desa.

“Warga yang mengolah kami bayar. Tergantung dari berat pekerjaannya. Berkisar antara Rp 900ribu sampai Rp 1,2 juta per bulan.

Sayurnya juga bisa mereka minta untuk kebutuhan di rumah. Saya berpikir, pandemi ini akan panjang. Makanya warga yang kehilangan pekerjaan, kami ajak bertani.

Paling tidak untuk makan, mereka sudah aman. Karena nanti kita akan kembali ke kebutuhan utama, urusan perut, butuh makanan,” kata Yudi.

Salah seorang warga, Dewa Tomi Wahyudi, mengaku tertarik bergabung dengan program pemberdayaan masyarakat itu. Ia mulai bergabung dengan program padat karya di desa, sejak bulan Mei lalu.

Tomi mengaku di-PHK dari tempatnya bekerja sejak April. Begitu di PHK, ia langsung pulang kampung dengan uang pesangon yang pas-pasan.

Saat awal pandemi, ia sempat berusaha mendapat program Bantuan Langsung Tunai Dana Desa (BLT-DD). Tapi ketika itu ia gagal mendapatkannya.

“Hanya yang disabilitas dan lansia saja yang dapat. Waktu itu keputusan di desa begitu. Kalau mau dapat BLT, harus lansia dulu atau lumpuh dulu. Akhirnya ya sudah, tidak dapat BLT,” kata Tomi.

Saat pemerintah membuka peluang program padat karya tunai, ia langsung mendaftarkan diri. Meski upahnya hanya Rp 900 ribu per bulan.

Upah itu hanya 10 persen bila dibandingkan dengan gaji yang ia dapat saat bekerja di restoran. “Bagi saya ini lebih baik dari pada nol. Lebih baik juga ketimbang dapat BLT.

Selagi masih punya tenaga, masih bisa berusaha, ya bekerja saja dulu. Yang penting keluarga masih bisa makan. Saat ini, itu yang penting bagi saya,” imbuhnya.

Apakah nantinya akan kembali lagi ke pariwisata? Tomi mengaku tidak bisa memastikan. “Saya bukan orang yang suka berencana. Kalau ada peluang, entah itu berangkat ke laut (kapal pesiar),

atau kembali ke pariwisata, mungkin saja. Kalau di desa lebih menjanjikan, mungkin saya akan di desa saja,” katanya. (*)

 

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/