29.2 C
Jakarta
30 April 2024, 2:09 AM WIB

Dulu Idola Mahasiswa, Sekarang Murid Enggan Naik

Suburnya kendaraan pribadi membuat nasib angkot di Bali kian termarginalkan. Seperti yang dialami angkot trayek Pasar Beringkit – Buleleng.

Sempat mengalami masa jaya 1980 hingga awal 2000, kini hidup segan mati enggan. Seperti apa?

 

MAULANA SANDIJAYA, Bedugul 

MADE Gatrayasa menghentikan laju kendaraannya di depan sebuah bengkel mobil di Jalan Raya Baturiti.

Pria paro baya itu kemudian turun lantas berusaha membuka jok di kursi depan. Kemudian dia lari ke dalam bengkel. Saat kembali dia membawa benda menyerupai jeriken dan corong.

“Isi oli mesin dulu, sudah dua minggu tidak isi oli,” ujar Gatra sambil menuangkan oli ke dalam mesin. Setelah selesai, Gatra kembali ke tempatnya mengemudi.

Mesin mobil tua jenis Isuzu itu kembali dinyalakan. Gatra kembali menginjak pedal kopling, memasukkan gigi dan menginjak gas.

Roda kembali melaju, deru mesin meraung menapaki jalanan menuju jalanan Bedugul yang menanjak dan berkelok. Asap hitam mengepul menyertai suara mesin.

Karena tidak ada Air Conditioner (AC), para penumpang membuka kaca. Angin pegunungan yang sejuk berhembus ke dalam.

Sesekali Gatra menurunkan porseneleng atau gigi mesin. Tangan tua Gatra begitu mahir memainkan setir tanpa power stering itu.

Saat hendak menyalip, Gatra membunyikan klakson. Bukan klakson yang menempel di setir, tapi seutas kabel yang ujungnya ditempelkan ke atas dashboard.

“Kanggoang, mobil tua adeng-adeng,” imbuh pria kelahiran 1956 itu. Gatra berusaha menenangkan penumpang yang memendam kegelisahan takut mobil tak kuat menanjak.

“Bukannya sombong, bemo ini sudah 12 kali ke Pura Lempuyang. Ke Pura Besakih sudah sering,” imbuhnya.

Gatra ngetem mulai pukul 05.00 dari Pasar Beringkit. Dalam sehari Gatra bisa dua kali bolak-balik ke Buleleng.

Gatra mengungkapkan, dirinya terpaksa menikmati pekerjaan menyetir angkot Pasar Beringkit – Buleleng, karena tidak memiliki pekerjaan lain.

Padahal, jika dihitung untung rugi, Gatra lebih banyak rugi. Dalam sehari dia belum tentu mendapat uang dapur dari hasil menyopir.

“Ini bemo punya adik ipar saya. Kalau dapat lebih saya setor, kalau tidak dapat cukup beli minyak sama nasi,” terang pria asal Perean, Tabanan, itu. 

Sambil menyetir, Gatra menceritakan bagaimana dia mengalami masa kejayaan angkot trayek Pasar Beringkit – Buleleng.

Ketika masa jaya, sehari Gatra dengan mudah mendapat uang Rp 500 ribu. Pendapatan kotor Rp 500 ribu itu kemudian dipotong Rp 150 ribu untuk bensin dan Rp 150 ribu disetor ke iparnya.

Sisanya Rp 200 ribu Gatra dibawa pulang. Uang Rp 200 ribu saat itu tentu sangat besar. Namun, saat ini alih-alih mencari keuntungan bersih Rp 200 ribu.

Omzet kotor Rp 200 ribu saja susah didapat. Kalaupun dapat Rp 200 ribu harus dipakai beli minyak Rp 120 ribu, disetor Rp 50 ribu.

“Sisa Rp 50 ribu pakai beli nasi dan rokok Rp 20 ribu. Pulang bawa Rp 30 ribu,” papar bapak dua anak itu.

Kondisi yang sepi itulah yang membuat jumlah bemo trayek Pasar Beringkit – Buleleng terus menyusut. Dulu sebanyak 70 unit sekarang tinggal 30 unit.

Gatra yang mulai menyopir 1979 dan menjadi sopir bemo sejak 2000 itu mengaku dulu betapa mudahnya mencari penumpang.

Pedagang dan orang yang hendak berpergian dari Buleleng ke Denpasar atau sebaliknya selalu rebutan naik bemo.

Mahasiswa yang hendak kuliah ke IKIP Singaraja atau Undiksha pun memilih bemo sebagai transportasi andalan.

Biasanya mahasiswa dari Tabanan atau Mengwi yang menjadi pelanggan Gatra. Ongkos dari Pasar Beringkit ke Buleleng saat itu Rp 20 ribu.

Saking ramainya penumpang, Gatra mengaku kerap menolak siswa sekolah. Angkot menjadi pilihan utama mahasiswa dan siswa karena waktu itu belum banyak motor dan mobil pribadi seperti sekarang.

“Dulu sampai menolak murid. Kalau ada anak sekolah di pinggir jalan biasanya saya tidak berhenti. Penumpang sudah penuh,” kenang kakek empat cucu itu.

Selain penumpang sudah penuh, murid hanya membayar Rp 100 perak. Gatra juga kasihan jika baju murid kotor terkena keranjang dagang sayur dan buah.

“Dulu saya nolak murid, sekarang murid nolak saya,” selorohnya. Cerita lucu juga kerap dialami Gatra. Suatu hari ada turis asing dari Bedugul menghentikannya.

Turis tersebut hendak menuju Terminal Ubung, Denpasar. Tak disangka, bule itu ternyata menghargai ongkos ke Ubung hanya Rp 20 ribu.

Padahal, perjalanan dari Bedugul ke Ubung butuh waktu sekitar 1,5 jam. Ternyata bule itu menawar berdasar informasi harga dari aplikasi khusus.

“Bulenya bawa lembaran Rp 20 ribu. Saya nggak bisa bahasa Inggris, saya bilang ‘no, no, terus.’ Saya kasih harga Rp 50 ribu geleng kepala. Ya sudah, saya tinggal,” ungkapnya lantas tertawa.

Gatra dan sopir angkot lainnya bisa sedikit tersenyum saat ada orang yang mencarter ke Pura Lempuyang di Karangasem.

Satu kali berangkat ke Lempuyang itu memasang tarif Rp 700 ribu. Dapur pun bisa kembali ngepul. 

Suburnya kendaraan pribadi membuat nasib angkot di Bali kian termarginalkan. Seperti yang dialami angkot trayek Pasar Beringkit – Buleleng.

Sempat mengalami masa jaya 1980 hingga awal 2000, kini hidup segan mati enggan. Seperti apa?

 

MAULANA SANDIJAYA, Bedugul 

MADE Gatrayasa menghentikan laju kendaraannya di depan sebuah bengkel mobil di Jalan Raya Baturiti.

Pria paro baya itu kemudian turun lantas berusaha membuka jok di kursi depan. Kemudian dia lari ke dalam bengkel. Saat kembali dia membawa benda menyerupai jeriken dan corong.

“Isi oli mesin dulu, sudah dua minggu tidak isi oli,” ujar Gatra sambil menuangkan oli ke dalam mesin. Setelah selesai, Gatra kembali ke tempatnya mengemudi.

Mesin mobil tua jenis Isuzu itu kembali dinyalakan. Gatra kembali menginjak pedal kopling, memasukkan gigi dan menginjak gas.

Roda kembali melaju, deru mesin meraung menapaki jalanan menuju jalanan Bedugul yang menanjak dan berkelok. Asap hitam mengepul menyertai suara mesin.

Karena tidak ada Air Conditioner (AC), para penumpang membuka kaca. Angin pegunungan yang sejuk berhembus ke dalam.

Sesekali Gatra menurunkan porseneleng atau gigi mesin. Tangan tua Gatra begitu mahir memainkan setir tanpa power stering itu.

Saat hendak menyalip, Gatra membunyikan klakson. Bukan klakson yang menempel di setir, tapi seutas kabel yang ujungnya ditempelkan ke atas dashboard.

“Kanggoang, mobil tua adeng-adeng,” imbuh pria kelahiran 1956 itu. Gatra berusaha menenangkan penumpang yang memendam kegelisahan takut mobil tak kuat menanjak.

“Bukannya sombong, bemo ini sudah 12 kali ke Pura Lempuyang. Ke Pura Besakih sudah sering,” imbuhnya.

Gatra ngetem mulai pukul 05.00 dari Pasar Beringkit. Dalam sehari Gatra bisa dua kali bolak-balik ke Buleleng.

Gatra mengungkapkan, dirinya terpaksa menikmati pekerjaan menyetir angkot Pasar Beringkit – Buleleng, karena tidak memiliki pekerjaan lain.

Padahal, jika dihitung untung rugi, Gatra lebih banyak rugi. Dalam sehari dia belum tentu mendapat uang dapur dari hasil menyopir.

“Ini bemo punya adik ipar saya. Kalau dapat lebih saya setor, kalau tidak dapat cukup beli minyak sama nasi,” terang pria asal Perean, Tabanan, itu. 

Sambil menyetir, Gatra menceritakan bagaimana dia mengalami masa kejayaan angkot trayek Pasar Beringkit – Buleleng.

Ketika masa jaya, sehari Gatra dengan mudah mendapat uang Rp 500 ribu. Pendapatan kotor Rp 500 ribu itu kemudian dipotong Rp 150 ribu untuk bensin dan Rp 150 ribu disetor ke iparnya.

Sisanya Rp 200 ribu Gatra dibawa pulang. Uang Rp 200 ribu saat itu tentu sangat besar. Namun, saat ini alih-alih mencari keuntungan bersih Rp 200 ribu.

Omzet kotor Rp 200 ribu saja susah didapat. Kalaupun dapat Rp 200 ribu harus dipakai beli minyak Rp 120 ribu, disetor Rp 50 ribu.

“Sisa Rp 50 ribu pakai beli nasi dan rokok Rp 20 ribu. Pulang bawa Rp 30 ribu,” papar bapak dua anak itu.

Kondisi yang sepi itulah yang membuat jumlah bemo trayek Pasar Beringkit – Buleleng terus menyusut. Dulu sebanyak 70 unit sekarang tinggal 30 unit.

Gatra yang mulai menyopir 1979 dan menjadi sopir bemo sejak 2000 itu mengaku dulu betapa mudahnya mencari penumpang.

Pedagang dan orang yang hendak berpergian dari Buleleng ke Denpasar atau sebaliknya selalu rebutan naik bemo.

Mahasiswa yang hendak kuliah ke IKIP Singaraja atau Undiksha pun memilih bemo sebagai transportasi andalan.

Biasanya mahasiswa dari Tabanan atau Mengwi yang menjadi pelanggan Gatra. Ongkos dari Pasar Beringkit ke Buleleng saat itu Rp 20 ribu.

Saking ramainya penumpang, Gatra mengaku kerap menolak siswa sekolah. Angkot menjadi pilihan utama mahasiswa dan siswa karena waktu itu belum banyak motor dan mobil pribadi seperti sekarang.

“Dulu sampai menolak murid. Kalau ada anak sekolah di pinggir jalan biasanya saya tidak berhenti. Penumpang sudah penuh,” kenang kakek empat cucu itu.

Selain penumpang sudah penuh, murid hanya membayar Rp 100 perak. Gatra juga kasihan jika baju murid kotor terkena keranjang dagang sayur dan buah.

“Dulu saya nolak murid, sekarang murid nolak saya,” selorohnya. Cerita lucu juga kerap dialami Gatra. Suatu hari ada turis asing dari Bedugul menghentikannya.

Turis tersebut hendak menuju Terminal Ubung, Denpasar. Tak disangka, bule itu ternyata menghargai ongkos ke Ubung hanya Rp 20 ribu.

Padahal, perjalanan dari Bedugul ke Ubung butuh waktu sekitar 1,5 jam. Ternyata bule itu menawar berdasar informasi harga dari aplikasi khusus.

“Bulenya bawa lembaran Rp 20 ribu. Saya nggak bisa bahasa Inggris, saya bilang ‘no, no, terus.’ Saya kasih harga Rp 50 ribu geleng kepala. Ya sudah, saya tinggal,” ungkapnya lantas tertawa.

Gatra dan sopir angkot lainnya bisa sedikit tersenyum saat ada orang yang mencarter ke Pura Lempuyang di Karangasem.

Satu kali berangkat ke Lempuyang itu memasang tarif Rp 700 ribu. Dapur pun bisa kembali ngepul. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/