28.4 C
Jakarta
30 April 2024, 6:09 AM WIB

Tiba di Pengungsian, Balita Usia Setahun Jadi Lancar Berjalan

Para pengungsi tidak semuanya harus menyimpan duka. Di tempat pengungsian ada kegembiraan  yang terpancar. Seperti dialami seorang nenek, Ni Nyoman Kembar, 50.

Nenek asal Selat Duda, Karangasem, ini senang cucunya yang berusia setahun mendadak bisa berjalan lancar.

 

IB INDRA PRASETIA, Sukawati

POSKO pengungsian di lapangan Sutasoma, di Desa Batuan, Kecamatan Sukawati, Gianyar, ini barangkali semacam miniatur pedesaan Karangasem.

Di atas lapangan itu memang telah tersedia bangunan yang rencananya untuk relokasi pasar seni Sukawati.

Warga pun berkumpul dan beristirahat di los bangunan layaknya seperti di rumah-rumah pedesaan. Warga dari beberapa desa berkumpul di posko Sutasoma.

Anak-anak yang tadinya tidak kenal kini berbaur bersama. Aktivitas sehari-hari seperti berpindah dari Karangasem, ke Sutasoma.

Seperti dilakukan Ni Nyoman Kembar, yang Senin kemarin (2/10) tampak menggendong cucunya. Perempuan 50 tahun ini mengaku, selama di Karangasem, kesehariannya tak lepas dengan cucunya.

“Kalau di rumah di Karangasem, saya begini saja. Seperti ini, saya ngempu (mengasuh) cucu,” jelas Kembar sambil menggendong cucu laki-laki Komang Agus Riski Putra.

Nenek Kembar sendiri tiba di pengungsian pada empat hari lalu, atau pada Sabtu lalu (30/9). Dia ke pengungsian karena khawatir dengan dampak gempa yang masih terasa hingga kini.

“Gempa masih terasa di sana. Makanya saya dibawa ke sini sama anak saya,” ujar Kembar. Anak Kembar, yakni Nyoman Wardana bersama istrinya Ni Kadek Tresni, sudah duluan mengungsi ke Sutasoma.

Di pengungsian, Kembar mengaku melihat suasana baru saja. “Kalau sehari-hari hanya ngempu, karena anak-anak kerja,” jelasnya.

Dijelaskan Kembar, ayah dari cucunya bahwa Nyoman Wardana bekerja menggarap bangunan pelinggih pura.

“Jadi kerjanya tidak selalu di rumah, biasa jauh-jauh mengambil proyek pelinggih pura,” jelasnya. Begitu juga dengan ibu dari cucunya itu juga bekerja.

“Jadi cucu saya ditinggal. Makanya saya yang ajak cucu ini,” ungkapnya. Selama di pengungsian, rupanya si cucu mendapat “ilmu” baru.

Cucunya, Komang Riski Putra sudah berusia setahun pada September 2017 lalu. “Dulu waktu di Karangasem belum bisa jalan. Sekarang baru di pengungsian malah bisa jalan lancar,” ujar Kembar dengan nada senang.

Menurut Kembar, saat di Karangasem, sebelum mengungsi, cucunya sering terjatuh saat berjalan. “Kalau dia jalan masih jatuh. Jalan sebentar jatuh. Sekarang di sini (posko pengungsiaan) sudah lancar,” akunya bangga.

Sayangnya, saat diminta untuk memamerkan cara berjalan kaki, Komang Riski yang mengenakan kaus singlet itu cemberut lalu menangis.

“Ini lagi pilek (flu). Kalau tidak pilek sudah minta jalan. Mungkin karena mau jalan sekarang,” ujarnya. Dia juga mengeluhkan, cucunya itu sejak pilek tidak mau makan dengan enak.

“Cuma mau air putih sama susu ibunya saja. Tapi nanti mau saya periksakan di sana (pos kesehatan di posko pengungsian),” ungkap Kembar.

Harapannya, situasi yang dibuat tidak menentu oleh aktivitas Gunung Agung cepat berlalu. “Supaya saya sama cucu bisa pulang ke rumah,” ujar nenek yang rindu rumah itu.

Sementara itu, kedua orang tua Komang Riski ini pada Senin siang kembali ke rumahnya di Selat Duda.

“Bapak ibunya, pulang. Bersih-bersih di rumah karena kotor lama tidak ditempati. Ini cucu saya sudah biasa sama saya,” tukasnya. (/pit)

 

Para pengungsi tidak semuanya harus menyimpan duka. Di tempat pengungsian ada kegembiraan  yang terpancar. Seperti dialami seorang nenek, Ni Nyoman Kembar, 50.

Nenek asal Selat Duda, Karangasem, ini senang cucunya yang berusia setahun mendadak bisa berjalan lancar.

 

IB INDRA PRASETIA, Sukawati

POSKO pengungsian di lapangan Sutasoma, di Desa Batuan, Kecamatan Sukawati, Gianyar, ini barangkali semacam miniatur pedesaan Karangasem.

Di atas lapangan itu memang telah tersedia bangunan yang rencananya untuk relokasi pasar seni Sukawati.

Warga pun berkumpul dan beristirahat di los bangunan layaknya seperti di rumah-rumah pedesaan. Warga dari beberapa desa berkumpul di posko Sutasoma.

Anak-anak yang tadinya tidak kenal kini berbaur bersama. Aktivitas sehari-hari seperti berpindah dari Karangasem, ke Sutasoma.

Seperti dilakukan Ni Nyoman Kembar, yang Senin kemarin (2/10) tampak menggendong cucunya. Perempuan 50 tahun ini mengaku, selama di Karangasem, kesehariannya tak lepas dengan cucunya.

“Kalau di rumah di Karangasem, saya begini saja. Seperti ini, saya ngempu (mengasuh) cucu,” jelas Kembar sambil menggendong cucu laki-laki Komang Agus Riski Putra.

Nenek Kembar sendiri tiba di pengungsian pada empat hari lalu, atau pada Sabtu lalu (30/9). Dia ke pengungsian karena khawatir dengan dampak gempa yang masih terasa hingga kini.

“Gempa masih terasa di sana. Makanya saya dibawa ke sini sama anak saya,” ujar Kembar. Anak Kembar, yakni Nyoman Wardana bersama istrinya Ni Kadek Tresni, sudah duluan mengungsi ke Sutasoma.

Di pengungsian, Kembar mengaku melihat suasana baru saja. “Kalau sehari-hari hanya ngempu, karena anak-anak kerja,” jelasnya.

Dijelaskan Kembar, ayah dari cucunya bahwa Nyoman Wardana bekerja menggarap bangunan pelinggih pura.

“Jadi kerjanya tidak selalu di rumah, biasa jauh-jauh mengambil proyek pelinggih pura,” jelasnya. Begitu juga dengan ibu dari cucunya itu juga bekerja.

“Jadi cucu saya ditinggal. Makanya saya yang ajak cucu ini,” ungkapnya. Selama di pengungsian, rupanya si cucu mendapat “ilmu” baru.

Cucunya, Komang Riski Putra sudah berusia setahun pada September 2017 lalu. “Dulu waktu di Karangasem belum bisa jalan. Sekarang baru di pengungsian malah bisa jalan lancar,” ujar Kembar dengan nada senang.

Menurut Kembar, saat di Karangasem, sebelum mengungsi, cucunya sering terjatuh saat berjalan. “Kalau dia jalan masih jatuh. Jalan sebentar jatuh. Sekarang di sini (posko pengungsiaan) sudah lancar,” akunya bangga.

Sayangnya, saat diminta untuk memamerkan cara berjalan kaki, Komang Riski yang mengenakan kaus singlet itu cemberut lalu menangis.

“Ini lagi pilek (flu). Kalau tidak pilek sudah minta jalan. Mungkin karena mau jalan sekarang,” ujarnya. Dia juga mengeluhkan, cucunya itu sejak pilek tidak mau makan dengan enak.

“Cuma mau air putih sama susu ibunya saja. Tapi nanti mau saya periksakan di sana (pos kesehatan di posko pengungsian),” ungkap Kembar.

Harapannya, situasi yang dibuat tidak menentu oleh aktivitas Gunung Agung cepat berlalu. “Supaya saya sama cucu bisa pulang ke rumah,” ujar nenek yang rindu rumah itu.

Sementara itu, kedua orang tua Komang Riski ini pada Senin siang kembali ke rumahnya di Selat Duda.

“Bapak ibunya, pulang. Bersih-bersih di rumah karena kotor lama tidak ditempati. Ini cucu saya sudah biasa sama saya,” tukasnya. (/pit)

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/