28.4 C
Jakarta
30 April 2024, 6:32 AM WIB

Gantikan Inventaris di Kantor Desa, Bikin Kursi Berbahan Eco-brick

Ada saja upaya yang dilakukan pemerintah desa Tembok dalam memberdayakan warga. Kali ini warga di desa setempat diberdayakan membuat kursi dengan bahan dasar eco-brick. Warga yang terlibat diberdayakan melalui program padat karya tunai.

 

 

EKA PRASETYA, Tejakula

PROSES pembuatan kursi berbahan dasar eco-brick itu baru dimulai sejak akhir Agustus lalu. Sampah plastik yang terkumpul di Bank Sampah Tembok Kedas Mesari, dimasukkan dalam wadah botol plastik.

Sampah plastik dimasukkan ke dalam botol sebanyak mungkin, sehingga botol benar-benar padat dan menjadi eco-brick.

Setelah siap eco-brick itu diboyong menujur Balai Desa Tembok. Kebetulan jarak antara bank sampah dengan balai desa tak sampai 50 meter.

Di balai desa, sudah ada 8 orang pemuda yang siap mengolah eco-brick itu menjadi kursi. Eco-brick disusun sedemikan rupa hingga berbentuk segitiga sama sisi.

Selanjutnya eco-brick direkatkan dengan menggunakan selotip. Selanjutnya botol-botol itu dibalik. Pada bagian bawah botol, direkatkan busa setebal 10 centimeter.

Sedangkan pada bagian tutup botol, ditempel sebuah plastik. Sehingga eco-brick itu tak mudah bergeser.

Begitu siap, eco-brick itu langsung dilapisi kain. Kain-kain itu didapat dari penjahit di desa setempat. Selanjutnya kursi yang sudah siap ditempatkan di sudut balai desa.

Perbekel Tembok Dewa Komang Yudi Astara mengaku dirinya sengaja menyiapkan program pemberdayaan pembuatan kursi berbahan dasar eco-brik.

Menurutnya, ada manfaat ganda yang didapat dari program ini. Proses daur ulang sampah plastik bisa berjalan dengan baik,

warga yang terlibat mendapatkan edukasi pemanfaatan sampah plastik, selain itu mereka juga mendapat upah karena dipekerjakan lewat program padat karya tunai.

Yudi menyebut para pemuda yang terlibat dalam program itu, seluruhnya pengangguran. Ada yang baru lulus sekolah.

Ada pula yang kembali ke desa setelah kehilangan pekerjaan di tempat merantau. Mereka dipekerjakan selama 4 jam sehari dengan upah Rp 30 ribu.

“Ada manfaat ganda yang kami rasakan. Jadi bukan semata-mata memberdayakan masyarakat saja. Tapi masalah sampah yang selama ini terbatas ruang proses daur ulangnya, bisa kami manfaatkan lebih optimal,” kata Yudi.

Lebih lanjut Yudi menuturkan, ide pembuatan kursi eco-brik itu sebenarnya bermula dari masalah sederhana.

Kursi plastik yang menjadi inventaris di balai desa, hampir seluruhnya rusak. Alhasil proses rapat pemerintah desa maupun rapat dengan warga, harus dilakukan dengan lesehan.

Tadinya desa hendak membeli kursi plastik. Agar lebih cepat dan praktis. Namun rencana itu diurungkan. Sebab tak ada dampak yang dirasakan oleh masyarakat desa.

“Sebenarnya bisa saja sih beli kursi plastik. Tinggal anggarkan di APBDes. Minggu depan pun bisa kami beli kursi yang harganya Rp 125 ribu per buah.

Tapi kan dampak untuk warga tidak ada. Karena harus beli ke kota. Akhirnya ada ide membuat kursi dari eco-brick ini.

Warga yang terlibat kami berdayakan. Sampah bisa daur ulang, warga yang diberdayakan juga mendapat manfaat,” katanya lagi.

Pria yang baru berusia 34 tahun itu mengaku lebih suka menyelenggarakan program padat karya tunai di desanya.

Sejak awal pandemi, puluhan pekerjaan telah disediakan pada warga desa. Seluruhnya disediakan lewat mekanisme padat karya tunai (PKT).

Yudi menyebut setidaknya ada 25 pekerjaan yang ditawarkan lewat program PKT. Dari puluhan program pekerjaan itu, ada dua program yang tak terlaksana karena minim peminat.

Yakni ternak lele dan pembuatan garam tradisional. Beberapa program lainnya masih berjalan. Terutama yang bergerak di sektor pertanian dan bahari.

“Roh dari PKT itu kan bukan semata-mata memberdayakan masyarakat atau mempekerjakan warga yang menganggur.

Tapi mengoptimalkan apa yang dibutuhkan desa, dibuat di desa, dengan memberdayakan masyarakat desa. Sehingga ada multiplier effect di tingkat desa yang dirasakan masyarakat,” ungkapnya.

Asal tahu saja, sejak awal masa pandemi, Pemerintah Desa Tembok telah menggagas program padat karya tunai.

Program ini diprioritaskan bagi warga yang kehilangan mata pencaharian akibat pandemi. Termasuk bagi para perantau yang bekerja di sektor pariwisata.

Hingga akhir Agustus 2020, dana yang disalurkan untuk PKT baru mencapai angka Rp 140 juta. Jumlah itu tak sampai 10 persen dari total APBDes Tembok yang mencapai angka Rp 2,2 miliar. (*)

 

Ada saja upaya yang dilakukan pemerintah desa Tembok dalam memberdayakan warga. Kali ini warga di desa setempat diberdayakan membuat kursi dengan bahan dasar eco-brick. Warga yang terlibat diberdayakan melalui program padat karya tunai.

 

 

EKA PRASETYA, Tejakula

PROSES pembuatan kursi berbahan dasar eco-brick itu baru dimulai sejak akhir Agustus lalu. Sampah plastik yang terkumpul di Bank Sampah Tembok Kedas Mesari, dimasukkan dalam wadah botol plastik.

Sampah plastik dimasukkan ke dalam botol sebanyak mungkin, sehingga botol benar-benar padat dan menjadi eco-brick.

Setelah siap eco-brick itu diboyong menujur Balai Desa Tembok. Kebetulan jarak antara bank sampah dengan balai desa tak sampai 50 meter.

Di balai desa, sudah ada 8 orang pemuda yang siap mengolah eco-brick itu menjadi kursi. Eco-brick disusun sedemikan rupa hingga berbentuk segitiga sama sisi.

Selanjutnya eco-brick direkatkan dengan menggunakan selotip. Selanjutnya botol-botol itu dibalik. Pada bagian bawah botol, direkatkan busa setebal 10 centimeter.

Sedangkan pada bagian tutup botol, ditempel sebuah plastik. Sehingga eco-brick itu tak mudah bergeser.

Begitu siap, eco-brick itu langsung dilapisi kain. Kain-kain itu didapat dari penjahit di desa setempat. Selanjutnya kursi yang sudah siap ditempatkan di sudut balai desa.

Perbekel Tembok Dewa Komang Yudi Astara mengaku dirinya sengaja menyiapkan program pemberdayaan pembuatan kursi berbahan dasar eco-brik.

Menurutnya, ada manfaat ganda yang didapat dari program ini. Proses daur ulang sampah plastik bisa berjalan dengan baik,

warga yang terlibat mendapatkan edukasi pemanfaatan sampah plastik, selain itu mereka juga mendapat upah karena dipekerjakan lewat program padat karya tunai.

Yudi menyebut para pemuda yang terlibat dalam program itu, seluruhnya pengangguran. Ada yang baru lulus sekolah.

Ada pula yang kembali ke desa setelah kehilangan pekerjaan di tempat merantau. Mereka dipekerjakan selama 4 jam sehari dengan upah Rp 30 ribu.

“Ada manfaat ganda yang kami rasakan. Jadi bukan semata-mata memberdayakan masyarakat saja. Tapi masalah sampah yang selama ini terbatas ruang proses daur ulangnya, bisa kami manfaatkan lebih optimal,” kata Yudi.

Lebih lanjut Yudi menuturkan, ide pembuatan kursi eco-brik itu sebenarnya bermula dari masalah sederhana.

Kursi plastik yang menjadi inventaris di balai desa, hampir seluruhnya rusak. Alhasil proses rapat pemerintah desa maupun rapat dengan warga, harus dilakukan dengan lesehan.

Tadinya desa hendak membeli kursi plastik. Agar lebih cepat dan praktis. Namun rencana itu diurungkan. Sebab tak ada dampak yang dirasakan oleh masyarakat desa.

“Sebenarnya bisa saja sih beli kursi plastik. Tinggal anggarkan di APBDes. Minggu depan pun bisa kami beli kursi yang harganya Rp 125 ribu per buah.

Tapi kan dampak untuk warga tidak ada. Karena harus beli ke kota. Akhirnya ada ide membuat kursi dari eco-brick ini.

Warga yang terlibat kami berdayakan. Sampah bisa daur ulang, warga yang diberdayakan juga mendapat manfaat,” katanya lagi.

Pria yang baru berusia 34 tahun itu mengaku lebih suka menyelenggarakan program padat karya tunai di desanya.

Sejak awal pandemi, puluhan pekerjaan telah disediakan pada warga desa. Seluruhnya disediakan lewat mekanisme padat karya tunai (PKT).

Yudi menyebut setidaknya ada 25 pekerjaan yang ditawarkan lewat program PKT. Dari puluhan program pekerjaan itu, ada dua program yang tak terlaksana karena minim peminat.

Yakni ternak lele dan pembuatan garam tradisional. Beberapa program lainnya masih berjalan. Terutama yang bergerak di sektor pertanian dan bahari.

“Roh dari PKT itu kan bukan semata-mata memberdayakan masyarakat atau mempekerjakan warga yang menganggur.

Tapi mengoptimalkan apa yang dibutuhkan desa, dibuat di desa, dengan memberdayakan masyarakat desa. Sehingga ada multiplier effect di tingkat desa yang dirasakan masyarakat,” ungkapnya.

Asal tahu saja, sejak awal masa pandemi, Pemerintah Desa Tembok telah menggagas program padat karya tunai.

Program ini diprioritaskan bagi warga yang kehilangan mata pencaharian akibat pandemi. Termasuk bagi para perantau yang bekerja di sektor pariwisata.

Hingga akhir Agustus 2020, dana yang disalurkan untuk PKT baru mencapai angka Rp 140 juta. Jumlah itu tak sampai 10 persen dari total APBDes Tembok yang mencapai angka Rp 2,2 miliar. (*)

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/