26.2 C
Jakarta
22 November 2024, 5:01 AM WIB

Gus Setelah Gus

Sudah lebih dua tahun Gus Sholah terus memikirkan ini: siapa yang akan menggantikannya. Sebagai Kyai Tebu Ireng. Juga sebagai ‘CEO’ pondok pesantren ‘bintang sembilan’ di Jombang, Jatim itu.

Kesehatan Gus Sholah –nama lengkapnya KH Salahuddin Wahid– memang terus menurun. Bahkan sejak sebelum dua tahun lalu.

Saya termasuk yang sesekali diajak bicara soal kesehatan. Beliau juga terus mengikuti perkembangan kesehatan saya. Sejak transplan hati sampai stemcell pun sampai aorta dissection.

Gus Sholah adalah orang yang sebenarnya tidak mau menjadi pimpinan puncak Tebu Ireng. Tapi setelah Gus Dur meninggal dunia siapa lagi kalau bukan adiknya itu.

Dari segi pendidikan pun Gus Sholah tidak pernah di pondok pesantren. Waktu beliau kecil ayahanda beliau menjabat menteri agama: KH Wahid Hasyim. Tinggalnya lebih banyak di Jakarta. Maka anaknya pun disekolahkan di Jakarta.

Dan ketika sudah waktunya kuliah Gus Sholah dimasukkan ke ITB Bandung. Jurusan teknik arsitektur pula. Jadilah Gus Sholah seorang arsitek.

Setelah lulus ITB beliau bekerja di dunia ilmunya. Termasuk bekerja di perusahaan konstruksi.

Waktu itu di Tebu Ireng belum memerlukan beliau. Masih banyak kyai besar di sana. Tapi Kyai-kyai sepuh itu satu persatu wafat.

Maka orang seperti Drs Yusuf Hasyim didaulat menjadi orang tertinggi di Tebu Ireng. Padahal paman Gus Dur itu lebih banyak tinggal di Jakarta –menjadi politisi NU tingkat nasional.

Mulailah Tebu Ireng dipimpin oleh yang bukan murni kyai –dalam pengertian hebat ilmu agamanya.

Yusuf Hasyim pun meninggal. Kyai-kyai sepuh yang masih berbau Bani Hasyim juga sudah tidak ada. Maka Gus Sholah-lah tokoh yang berbobot nasional. Yang dianggap paling layak memimpin Tebu Ireng. Meski juga bukan sosok kyai ulama. Nama Tebu Ireng sudah begitu menasional. Rasanya aneh kalau pimpinannya bukan tokoh nasional.

Ketokohan Gus Sholah dimulai sejak menjadi anggota MPR. Lalu menjadi Wakil Ketua Komnas Hak Asasi Manusia. Terakhir menjadi calon wakil presiden berpasangan dengan capres Jenderal Wiranto.

Dengan meninggalnya Gus Sholah kemarin maka habislah generasi cucu Hasyim Asy’ari –Al Hadratus Syaikh.

Gus Sholah meninggal setelah operasi jantung di usia 70 tahun. Jenazahnya dimakamkan di dekat makam Gus Dur, kakaknya.

Maka siapa yang akan tampil berikutnya? Bukankah tidak ada lagi tokoh keluarga Bani Hasyim yang namanya sudah menasional? Bagaimana dengan menteri agama periode lalu, yang masih berbau Bani Hasyim?

Gus Sholah tidak pernah menyebut nama itu sebagai calon penggantinya di Tebu Ireng. Tapi tidak juga segera mengerucut siapa calon penggantinya.

Sampai-sampai Gus Sholah minta bantuan banyak aktivis yang dekat dengannya. Gus Sholah mengadakan semacam polling. Teman-temannya itu diminta menuliskan nama calon penggantinya kelak.

Salah satu yang sering ditanya adalah Mas’ud Adnan. Yang pernah menjadi Ketua Persatuan Alumni Santri Tebu Ireng. Mas’ud pernah menjadi Pemimpin Redaksi Harian Bangsa.

Gus Sholah, kata Mas’ud, memang suka mendengar. Termasuk mendengar pendapat orang lain. Pun pendapat para santri.

Tipe kepemimpinan Gus Sholah adalah demokratis. Orangnya sangat ngemong. Tidak banyak mau bicara. Sekali bicara suaranya sangat rendah dan lirih.

Tapi teman-teman aktivis yang diminta pendapat itu tidak ada yang mau memberi nama calon pengganti.

Di pesantren tidak ada kebiasaan polling seperti itu. Gus Sholah saja yang mau melanggar adat pesantren. Teman-temannya tetap memilih tawadhuk: terserah Gus Sholah saja. Siapa pun yang ditunjuk Gus Sholah akan didukung.

Baru belakangan Gus Sholah mau menyebut nama calon pengganti yang ia inginkan: KH Abdul Hakim Mahfudz. Panggilannya Gus Kikin.

Penyebutan nama Gus Kikin sudah sejak dua tahun lalu. Praktis semua orang di Tebu Ireng tahu bahwa Gus Kikin adalah Kyai Tebu Ireng in waiting.

Tapi Gus Kikin tidak pernah mau mulai tampil. Tidak ada tradisi putra mahkota di Tebu Ireng. Apalagi Gus Kikin bukan putra Gus Sholah, Yusuf Hasyim atau pun Gus Dur.

Gus Kikin adalah cicit KH Hasyim Asy’ari dari jalur wanita. Ibunya, Bu Nyai Abidah, adalah cucu KH Hasyim Asy’ari.

Sama dengan Gus Sholah, Gus Kikin ini juga tidak pernah mengenyam pendidikan di pondok pesantren. Tidak bisa membaca kitab kuning.

Tapi dari segi ekonomi Gus Kikin sangat mapan. Gus Kikin adalah pengusaha yang mapan. Termasuk pengusaha bidang minyak dan gas bumi.

Belakangan Gus Kikin juga punya stasiun TV lokal: BBS. Di Surabaya. Dan memang Gus Kikin adalah sarjana komunikasi. Dari Universitas Terbuka.

Bagaimana pun Gus Kikin masih termasuk Bani Hasyim. Dan yang dikehendaki oleh Gus Sholah untuk mendapat giliran berhenti memikirkan diri sendiri –pindah ke jalur pengabdian.

Maka Tebu Ireng segera memiliki kyai baru. Yang benar-benar baru: orangnya, latar belakang pendidikannya, pun profesi hidupnya.
Banyak kyai jadi pengusaha. Kini pengusaha ini, Gus Kikin, giliran yang jadi kyai.(Dahlan Iskan)

Sudah lebih dua tahun Gus Sholah terus memikirkan ini: siapa yang akan menggantikannya. Sebagai Kyai Tebu Ireng. Juga sebagai ‘CEO’ pondok pesantren ‘bintang sembilan’ di Jombang, Jatim itu.

Kesehatan Gus Sholah –nama lengkapnya KH Salahuddin Wahid– memang terus menurun. Bahkan sejak sebelum dua tahun lalu.

Saya termasuk yang sesekali diajak bicara soal kesehatan. Beliau juga terus mengikuti perkembangan kesehatan saya. Sejak transplan hati sampai stemcell pun sampai aorta dissection.

Gus Sholah adalah orang yang sebenarnya tidak mau menjadi pimpinan puncak Tebu Ireng. Tapi setelah Gus Dur meninggal dunia siapa lagi kalau bukan adiknya itu.

Dari segi pendidikan pun Gus Sholah tidak pernah di pondok pesantren. Waktu beliau kecil ayahanda beliau menjabat menteri agama: KH Wahid Hasyim. Tinggalnya lebih banyak di Jakarta. Maka anaknya pun disekolahkan di Jakarta.

Dan ketika sudah waktunya kuliah Gus Sholah dimasukkan ke ITB Bandung. Jurusan teknik arsitektur pula. Jadilah Gus Sholah seorang arsitek.

Setelah lulus ITB beliau bekerja di dunia ilmunya. Termasuk bekerja di perusahaan konstruksi.

Waktu itu di Tebu Ireng belum memerlukan beliau. Masih banyak kyai besar di sana. Tapi Kyai-kyai sepuh itu satu persatu wafat.

Maka orang seperti Drs Yusuf Hasyim didaulat menjadi orang tertinggi di Tebu Ireng. Padahal paman Gus Dur itu lebih banyak tinggal di Jakarta –menjadi politisi NU tingkat nasional.

Mulailah Tebu Ireng dipimpin oleh yang bukan murni kyai –dalam pengertian hebat ilmu agamanya.

Yusuf Hasyim pun meninggal. Kyai-kyai sepuh yang masih berbau Bani Hasyim juga sudah tidak ada. Maka Gus Sholah-lah tokoh yang berbobot nasional. Yang dianggap paling layak memimpin Tebu Ireng. Meski juga bukan sosok kyai ulama. Nama Tebu Ireng sudah begitu menasional. Rasanya aneh kalau pimpinannya bukan tokoh nasional.

Ketokohan Gus Sholah dimulai sejak menjadi anggota MPR. Lalu menjadi Wakil Ketua Komnas Hak Asasi Manusia. Terakhir menjadi calon wakil presiden berpasangan dengan capres Jenderal Wiranto.

Dengan meninggalnya Gus Sholah kemarin maka habislah generasi cucu Hasyim Asy’ari –Al Hadratus Syaikh.

Gus Sholah meninggal setelah operasi jantung di usia 70 tahun. Jenazahnya dimakamkan di dekat makam Gus Dur, kakaknya.

Maka siapa yang akan tampil berikutnya? Bukankah tidak ada lagi tokoh keluarga Bani Hasyim yang namanya sudah menasional? Bagaimana dengan menteri agama periode lalu, yang masih berbau Bani Hasyim?

Gus Sholah tidak pernah menyebut nama itu sebagai calon penggantinya di Tebu Ireng. Tapi tidak juga segera mengerucut siapa calon penggantinya.

Sampai-sampai Gus Sholah minta bantuan banyak aktivis yang dekat dengannya. Gus Sholah mengadakan semacam polling. Teman-temannya itu diminta menuliskan nama calon penggantinya kelak.

Salah satu yang sering ditanya adalah Mas’ud Adnan. Yang pernah menjadi Ketua Persatuan Alumni Santri Tebu Ireng. Mas’ud pernah menjadi Pemimpin Redaksi Harian Bangsa.

Gus Sholah, kata Mas’ud, memang suka mendengar. Termasuk mendengar pendapat orang lain. Pun pendapat para santri.

Tipe kepemimpinan Gus Sholah adalah demokratis. Orangnya sangat ngemong. Tidak banyak mau bicara. Sekali bicara suaranya sangat rendah dan lirih.

Tapi teman-teman aktivis yang diminta pendapat itu tidak ada yang mau memberi nama calon pengganti.

Di pesantren tidak ada kebiasaan polling seperti itu. Gus Sholah saja yang mau melanggar adat pesantren. Teman-temannya tetap memilih tawadhuk: terserah Gus Sholah saja. Siapa pun yang ditunjuk Gus Sholah akan didukung.

Baru belakangan Gus Sholah mau menyebut nama calon pengganti yang ia inginkan: KH Abdul Hakim Mahfudz. Panggilannya Gus Kikin.

Penyebutan nama Gus Kikin sudah sejak dua tahun lalu. Praktis semua orang di Tebu Ireng tahu bahwa Gus Kikin adalah Kyai Tebu Ireng in waiting.

Tapi Gus Kikin tidak pernah mau mulai tampil. Tidak ada tradisi putra mahkota di Tebu Ireng. Apalagi Gus Kikin bukan putra Gus Sholah, Yusuf Hasyim atau pun Gus Dur.

Gus Kikin adalah cicit KH Hasyim Asy’ari dari jalur wanita. Ibunya, Bu Nyai Abidah, adalah cucu KH Hasyim Asy’ari.

Sama dengan Gus Sholah, Gus Kikin ini juga tidak pernah mengenyam pendidikan di pondok pesantren. Tidak bisa membaca kitab kuning.

Tapi dari segi ekonomi Gus Kikin sangat mapan. Gus Kikin adalah pengusaha yang mapan. Termasuk pengusaha bidang minyak dan gas bumi.

Belakangan Gus Kikin juga punya stasiun TV lokal: BBS. Di Surabaya. Dan memang Gus Kikin adalah sarjana komunikasi. Dari Universitas Terbuka.

Bagaimana pun Gus Kikin masih termasuk Bani Hasyim. Dan yang dikehendaki oleh Gus Sholah untuk mendapat giliran berhenti memikirkan diri sendiri –pindah ke jalur pengabdian.

Maka Tebu Ireng segera memiliki kyai baru. Yang benar-benar baru: orangnya, latar belakang pendidikannya, pun profesi hidupnya.
Banyak kyai jadi pengusaha. Kini pengusaha ini, Gus Kikin, giliran yang jadi kyai.(Dahlan Iskan)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/