Warning: Undefined variable $reporternya in /var/www/devwpradar/wp-content/themes/Newspaper/functions.php on line 229
25.4 C
Jakarta
25 Juli 2024, 5:31 AM WIB

17 Tahun Ramaikan Blantika Musik Bali, Kepekaan Jadi Kunci Bikin Lirik

Lolot Band baru saja meluncurkan album kesembilan mereka bertajuk “Semeton Bali”, selama 17 tahun berkarya di belantika musik Bali, Lolot termasuk band yang cukup produktif menghasilkan karya. 

 

ZULFIKA RAHMAN, Denpasar

SEJAK album pertama hingga saat ini, lirik-lirik yang ada di album-album Lolot band enak di dengar, tajam dengan kemasan bahasa Bali halus.

Dalam satu album, jarang narasi lirik yang dihasilkan tidak menarik atau kurang bagus. Lirik-lirik tersebut seolah menyatu dengan harmoni musik mereka.

Di Bali lirik-lirik tersebut, sebagian besar ditulis oleh Made Bawa sang vokalis. Pria yang akrab disapa De Bawa ini menuturkan,

secara pribadi ia suka mendengarkan semua jenis musik seperti pop, rock, punk, metal, jazz dan lainnya, dan tidak fanatik terhadap satu jenis saja.

Hal tersebut juga menjadi salah satu masukan dalam proses penciptaan lirik. “Itu yang mendasari, akhirnya banyak masukan dari mendengarkan banyak lagu,” tuturnya.

Selain itu, sejak dulu, De Bawa mengaku menjadi penggemar musik Bali. Dari lagu-lagu bali tersebut ia banyak belajar tentang penataan bahasa, penataan lirik. Hal itu juga ia imbangi dengan banyak bergaul dari berbagai kalangan.

Mulai di tingkat banjar hingga tongkrongan di kalangan perkotaan. “Kalau saya sendiri saya jarang di rumah, lebih suka di luar bergaul, nah itu banyak karakter yang saya lihat di sana.

Masing-masing daerah di Bali kan memiliki bahasa yang berbeda. Kalau musisi hanya mengandalkan lirik dalam satu daerah saja, ya lirik yang dihasilkan juga akan mentok segitu saja,” kata De Bawa.

Dalam setiap pergaulannya di beberapa daerah di Bali ia menemukan beragam intonasi bahasa yang berbeda.

Misalnya, Tabanan, dengan Singaraja yang memiliki intonasi perbedaan yang cukup jauh, atau Badung dengan Karangasem.

“Dari luasnya pergaulan itu, saat pembuatan lirik ada sesuatu lirik yang tidak masuk dalam bahasa Badung misalnya saya pakai lirik

berbahasa Buleleng, atau Karangasem atau lainnya. Jadi banyak pilihan,” terang suami dari penyanyi Tiari Bintang ini.

De Bawa sendiri mengaku penguasaan bahasa Bali di tingkat akademik kurang begitu bagus. Saat SD ia hanya bisa menulis aksara Bali saja, namun tidak bisa membaca.

Dari kesenangan bergaul dengan orang yang lebih tua darinya, ia menyerap pembendaharaan kata-kata bahasa Bali mulai dari kasar hingga halus sekali.

“Di sangkepan banjar segala macam, atau ada selebaran dari desa kan pakai bahasa Bali itu, di sana saya serap cari pengertian jadi bekal untuk menulis lirik.

Tapi dasar bahasa Bali kan sudah ada, karena saya besar di lingkungan yang memakai bahasa Bali,” kata musisi yang pernah merumput bersama band Superman Is Silver Gun atau cikal bakal Superman Is Dead.

Lirik-lirik yang ia tulis pun berdasar pada kejujuran dan juga keberanian. Selain itu, ketika menulis lirik ia juga memperhatikan rima dari kata per kata.

“Jadi ada harmoni yang benar-benar pas dengan musiknya. Biar pas dengan jatuhnya lirik ke mana, jadi awal dan ending benar-benar harus dipikirkan dulu,” kata pria asal Denpasar ini.

Namun, banyak hal yang mempengaruhi proses terciptanya sebuah lirik, misalnya dari pengalaman yang di alami, berdasar cerita nyata dari teman dan kehidupan sekitar dalam bersosialisasi.

“Tapi, itu tergantung dari kepekaan terhadap situasi dan kondisi sekitar. Nah, sekarang kita mau mengulas apa. Kepekaan itu harus dilatih.

Tapi, kebanyakan lagu-lagu yang saya buat juga berdasar spontanitas, pas main gitar tanpa sadar sudah jadi lagu. Mengalir begitu saja,” tambahnya.

Hal itu, menurutnya, suatu anugerah yang diberikan Tuhan kepada dirinya. “Tanpa kita sadari kita sudah membuat sesuatu yang sangat luar biasa dan bisa diterima untuk masyarakat.

Tapi, lirik-lirik yang saya buat semakin bertambahnya usia semakin menekankan pesan moral, karena bagaimanapun musisi itu punya tanggungjawab untuk mengedukasi masyarakat,” tandasnya. (*)

 

 

Lolot Band baru saja meluncurkan album kesembilan mereka bertajuk “Semeton Bali”, selama 17 tahun berkarya di belantika musik Bali, Lolot termasuk band yang cukup produktif menghasilkan karya. 

 

ZULFIKA RAHMAN, Denpasar

SEJAK album pertama hingga saat ini, lirik-lirik yang ada di album-album Lolot band enak di dengar, tajam dengan kemasan bahasa Bali halus.

Dalam satu album, jarang narasi lirik yang dihasilkan tidak menarik atau kurang bagus. Lirik-lirik tersebut seolah menyatu dengan harmoni musik mereka.

Di Bali lirik-lirik tersebut, sebagian besar ditulis oleh Made Bawa sang vokalis. Pria yang akrab disapa De Bawa ini menuturkan,

secara pribadi ia suka mendengarkan semua jenis musik seperti pop, rock, punk, metal, jazz dan lainnya, dan tidak fanatik terhadap satu jenis saja.

Hal tersebut juga menjadi salah satu masukan dalam proses penciptaan lirik. “Itu yang mendasari, akhirnya banyak masukan dari mendengarkan banyak lagu,” tuturnya.

Selain itu, sejak dulu, De Bawa mengaku menjadi penggemar musik Bali. Dari lagu-lagu bali tersebut ia banyak belajar tentang penataan bahasa, penataan lirik. Hal itu juga ia imbangi dengan banyak bergaul dari berbagai kalangan.

Mulai di tingkat banjar hingga tongkrongan di kalangan perkotaan. “Kalau saya sendiri saya jarang di rumah, lebih suka di luar bergaul, nah itu banyak karakter yang saya lihat di sana.

Masing-masing daerah di Bali kan memiliki bahasa yang berbeda. Kalau musisi hanya mengandalkan lirik dalam satu daerah saja, ya lirik yang dihasilkan juga akan mentok segitu saja,” kata De Bawa.

Dalam setiap pergaulannya di beberapa daerah di Bali ia menemukan beragam intonasi bahasa yang berbeda.

Misalnya, Tabanan, dengan Singaraja yang memiliki intonasi perbedaan yang cukup jauh, atau Badung dengan Karangasem.

“Dari luasnya pergaulan itu, saat pembuatan lirik ada sesuatu lirik yang tidak masuk dalam bahasa Badung misalnya saya pakai lirik

berbahasa Buleleng, atau Karangasem atau lainnya. Jadi banyak pilihan,” terang suami dari penyanyi Tiari Bintang ini.

De Bawa sendiri mengaku penguasaan bahasa Bali di tingkat akademik kurang begitu bagus. Saat SD ia hanya bisa menulis aksara Bali saja, namun tidak bisa membaca.

Dari kesenangan bergaul dengan orang yang lebih tua darinya, ia menyerap pembendaharaan kata-kata bahasa Bali mulai dari kasar hingga halus sekali.

“Di sangkepan banjar segala macam, atau ada selebaran dari desa kan pakai bahasa Bali itu, di sana saya serap cari pengertian jadi bekal untuk menulis lirik.

Tapi dasar bahasa Bali kan sudah ada, karena saya besar di lingkungan yang memakai bahasa Bali,” kata musisi yang pernah merumput bersama band Superman Is Silver Gun atau cikal bakal Superman Is Dead.

Lirik-lirik yang ia tulis pun berdasar pada kejujuran dan juga keberanian. Selain itu, ketika menulis lirik ia juga memperhatikan rima dari kata per kata.

“Jadi ada harmoni yang benar-benar pas dengan musiknya. Biar pas dengan jatuhnya lirik ke mana, jadi awal dan ending benar-benar harus dipikirkan dulu,” kata pria asal Denpasar ini.

Namun, banyak hal yang mempengaruhi proses terciptanya sebuah lirik, misalnya dari pengalaman yang di alami, berdasar cerita nyata dari teman dan kehidupan sekitar dalam bersosialisasi.

“Tapi, itu tergantung dari kepekaan terhadap situasi dan kondisi sekitar. Nah, sekarang kita mau mengulas apa. Kepekaan itu harus dilatih.

Tapi, kebanyakan lagu-lagu yang saya buat juga berdasar spontanitas, pas main gitar tanpa sadar sudah jadi lagu. Mengalir begitu saja,” tambahnya.

Hal itu, menurutnya, suatu anugerah yang diberikan Tuhan kepada dirinya. “Tanpa kita sadari kita sudah membuat sesuatu yang sangat luar biasa dan bisa diterima untuk masyarakat.

Tapi, lirik-lirik yang saya buat semakin bertambahnya usia semakin menekankan pesan moral, karena bagaimanapun musisi itu punya tanggungjawab untuk mengedukasi masyarakat,” tandasnya. (*)

 

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/