Oleh: Dahlan Iskan
Saya kepikiran teman-teman saya di Radar Sulteng. Harian yang saya dirikan di Palu.
Meski saya tidak lagi di Jawa Pos mereka adalah abadi. Di hati.
Saya mencari mereka sampai hari ketiga gempa. Nomor tilpon Bung Kamil tidak bisa dihubungi. Dialah Dirutnya. Saya akhirnya dapat nama Jemy. Wartawannya. Yang lagi di pengungsian.
Dari Jemy saya tahu: gedung Graha Pena Palu baik-baik saja. Hanya berantakan interiornya. Fondasi mesin cetaknya juga istimewa.
Tapi koran tidak bisa terbit. Tidak ada listrik. Komputernya juga berserakan di lantai. Plafonnya ada yang runtuh.
Saya bangga dengan gedung ini. Sempat menjadi gedung terbaik di Palu. Sebelum bermunculan gedung-gedung baru.
Akhirnya saya menemukan Kamil. Kemarin. Via HP-nya. Kamil lagi dalam perjalanan mengungsi. Ke Luwuk. Pantai timur Sulawesi. Mengungsikan istri dan anaknya. Yang trauma oleh gempa dan tsunami. Oleh gempa-gempa susulan. Oleh kelangkaan pangan. Oleh berita-berita yang serba mengerikan.
Kemarin Kamil tiba di Poso. Palu-Poso harus ia tempuh 18 jam. Padahal, normalnya, 4 jam. Dari Poso Kamil akan terus ke timur. Ke Luwuk. Daerah baru yang masa depannya lebih maju. Sejak ada proyek LNG di sana.
Kamil menyaksikan jalan menuju Poso padat. Kendaraan berurut di jalan raya. Banyak orang berpikiran sama: meninggalkan Palu.
Begitu juga yang jurusan ke utara: menuju Gorontalo dan Manado. Idem dito jurusan ke selatan: Mamuju – Pare Pare – Makassar.
Palu ditinggalkan penduduknya. Yang kelas menengah. Yang punya mobil. Yang umumnya pendatang.
Kamil pilih ke Luwuk karena ada adiknya di sana. Rumahnya di Palu ditinggalkan begitu saja. Demikian juga para tetangganya.
Tidak aman di Palu. Tidak tenang di Palu. Begitu perasaan mereka.
Gempa Jumat senja itu memang luar biasa. Gempalah penyebab utama. Tsunami menambahinya.
Kampung Jono Oge yang amblas itu misalnya. Letaknya jauh dari pantai. Lebih dari 25 km di selatan teluk Palu.
Radar Sulteng adalah karya teman-teman Palu. Awalnya saya diminta mengambil alih kredit macet di Bank BNI. Dengan personal garansi saya. Tidak punya aset apa-apa yang bisa disita. Sebagai gantinya kami mendapat saham mayoritas di koran di sana.
Di bawah manajemen kami koran maju. Bisa bayar cicilan bank. Lunas.
Lalu kami berbeda pendapat dengan partner lokal itu. Kami tidak mau bertengkar. Juga tidak mau rebutan aset baru.
Kami pamit baik-baik. Tidak minta apa pun. Teman-teman wartawan di koran itu terbelah. Ada yang tetap kerja di koran itu. Ada yang mendirikan koran baru: Radar Sulteng. Dengan modal semangat.
Berhasil. Kokoh. Bisa bangun gedung itu. Bisa beli percetakan itu.
Letak gedung itu di ketinggian. Kami sering melihat pantai dari lantai atas gedung kami. Indah sekali.
Kemarin teman-teman cari solar. Untuk menghidupkan genset. Mencoba mesin cetak. Terganggu atau tidak. Saya doakan dengan sepenuh hati saya.
Saya juga terus memonitor keberadaan Mohammad Rizal. Wartawan baru Radar. Masih bujangan. Yang sore itu bertugas meliput Festival Nomoni. HUT kota Palu. Di pantai. Yang terkena tsunami.
”Sore itu ia pamit mau liputan di Nomoni. Sampai sekarang belum ada kabarnya,” ujar Etha, pimpinan percetakan Radar Sulteng.
Tanpa koran gempa Palu tidak kekurangan berita. Tapi tetap saja saya terus berdoa. Untuk teman-teman di sana. Sepenuh hati. Sebagai mantan.(dahlan iskan)