31.4 C
Jakarta
26 April 2024, 11:45 AM WIB

Putu Resik Masih Hafal Tabuh Ciptaan Ayahnya

Putu Resik kini hidup terlantar dan menumpang bersama sepupunya di Desa Jagaraga. Hidupnya menjadi ironi nama besar orang tuanya.

Apalagi dia putri tunggal dari mendiang Gde Manik, maestro seni Buleleng yang berasal dari Desa Jagaraga.

 

EKA PRASETYA, Buleleng

PUTU Resik, 85, siang itu tengah duduk bersimpuh di teras sebuah warung dekat rumahnya. Ia duduk bersimpuh di atas lantai semen.

Kakinya sudah tak mampu menumpu berat tubuhnya. Sehari-hari Resik hanya bisa merangkak dan ngesot saja.

Tatapan mata Resik sudah tidak awas. Tapi pendengarannya masih kuat dan ingatannya masih melekat kuat.

Tak banyak yang dia lakukan siang itu. Hanya duduk termanggu di teras warung. Berharap ada teman seusia yang bisa diajak mengobrol.

Kehidupan Resik sungguh memprihatinkan. Dia adalah salah satu lansia terlantar yang tinggal di Banjar Dinas Kauh Luan, Desa Jagaraga, Kecamatan Sawan.

Padahal, Resik adalah anak satu-satunya dari maestro seni Gde Manik. Putu Resik adalah putri buah perkawinan Gde Manik dengan Luh Karya.

Sehari-hari Putu Resik tinggal menumpang bersama sepupunya, Ketut Partia, 65. Ketut Partia pula yang merawat Resik sehari-hari.

Mulai dari menyediakan tempat tidur, menyediakan air untuk mandi, hingga menyiapkan makan sehari-hari.

Resik kini hidup sebatang kara. Tanpa anak, tanpa suami. Dulunya ia pernah menikah tiga kali, dan tiga kali bercerai.

Ia sempat dikarunia seorang putra hasil pernikahannya dengan Putu Wira. Namun anak itu meninggal saat usia empat tahun. Sejak itu Resik tak lagi dikaruniai momongan.

Setelah biduk rumah tangganya kandas, ia merantau ke Jakarta menjadi pembantu rumah tangga.

Saat itu ia bekerja di rumah salah satu warga asal Desa Bondalem, Tejakula, yang menetap di Jakarta. Saat usianya menginjak 80 tahun, ia pun memilih pulang kampung ke Jagaraga.

Lansia kelahiran 1932 silam itu kemudian menumpang di rumah sepupunya. Petaka datang sekitar empat tahun silam.

Ketika itu, Resik hendak maturan di pelinggih yang ada di rumah sepupunya. Naas dia tergelincir hingga menyebabkan kedua kakinya lumpuh.

Kakinya memang tak sampai mengalami patah tulang, namun kini kedua kakinya tak mampu menopang berat tubuh Resik.

“Sehari-hari ya saya yang merawat. Saya hanya bisa merawat seadanya saja. karena saya juga harus kerja jadi buruh selip. Pagi saya siapkan kopi, makan, dan air untuk mandi. Setelah itu saya tinggal kerja,” kata Ketut Partia saat ditemui di rumahnya, siang kemarin.

Putu Resik sendiri menyatakan dirinya adalah anak tunggal dari Gde Manik. Ayahnya sempat menikah sebanyak tiga kali.

Yakni dengan Luh Karya, Mangku Nadi, dan Nyoman Suwita. Nah, Putu Resik adalah putri tunggal buah perkawinan Gde Manik dengan Luh Karya. Sementara dua perkawinan lainnya tak dikaruniai anak.

Resik juga ingat betul karya-karya yang dibuat oleh ayahnya. Seperti Tari Trunajaya yang diciptakan Pan Wadres dan disempurnakan oleh Gde Manik.

Berkat Tari Trunajaya ini, nama Gde Manik menjadi tersohor. Selain itu ada beberapa tari lain yang sangat ia ingat, seperti oleg, baris, dan kebyar duduk.

Saat diminta menirukan suara tabuhnya, Resik dengan fasih menirukan suara gamelan. “Tyang nu inget mekejang tabuh bapak tyange. Tarine masi nu keingetang mekejang. Men nu tyang bise mejujuk, nu bise tyang ngigel,” ujar Resik seraya melakukan gerakan agem.

Semua itu ia pelajari secara otodidak. Resik mengaku ayahnya tak pernah mengajari dirinya menari. Akhirnya ia berinisiatif belajar sendiri.

Tari pertama yang ia kuasai adalah Joged Bumbung. “Waktu itu bapak marah. Saya tidak diizinkan menari joged,” kenangnya.

Setelah kejadian itu ia berusaha belajar menari sembunyi-sembunyi. Ia mengintip ayahnya saat mengajar menari dari balik jendela.

Diam-diam dia menari di dalam kamar mengikuti alunan gamelan. Beberapa kali ia menari di desa dalam rangkaian upacara agama maupun adat.

Pernah pula ia menarikan Tari Baris di Catus Pata Desa Jagaraga puluhan tahun silam. Kala itu Gde Manik hanya menyaksikan dirinya menari dari kejauhan tanpa berkomentar apapun.

Seiring berjalannya waktu, Resik juga menggeluti seni janger serta bermain Drama Klasik dengan lakon Rajapala.

“Semua saya pelajari dari melihat. Bapak tidak pernah mengajari saya menari, tapi tidak pernah melarang. Bapak hanya pernah melarang saya sekali, waktu saya menari joged. Setelah itu tidak pernah lagi,” imbuhnya.

Kini di masa tuanya, Resik berharap bisa tinggal di Panti Jompo. Ia ingin memiliki teman seusia yang bisa diajak mengobrol. Sejak lumpuh, mobilitas Resik terbatas.

Tetapi ia ngotot datang ke rumah tetangga dengan cara merangkak bahkan ngesot. Berharap ada teman diajak mengobrol.

“Saya inguh di rumah sendiri. Kalau di panti asuhan saya ada teman. Biar saya di sana bisa megambel,” harapnya.

Kondisi Putu Resik juga mendapat perhatian dari pemerintah. Dinas Sosial Buleleng, kemarin juga langsung menjenguk Putu Resik dan membawa sejumlah bantuan.

Mulai dari sembako, karpet, selimut, kamben, hingga kursi roda. Kepala Dinas Sosial Buleleng Gede Komang mengatakan, pemerintah akan memperhatikan kondisi Putu Resik.

Apalagi ia putri dari maestro Gde Manik yang mengharumkan nama Buleleng. “Kami wajib memperhatikan. Kami akui informasi yang kami terima terlambat. Seandainya dulu diinformasikan, kami bisa mengambil langkah cepat untuk mencegah kelumpuhan ini,” kata Gede Komang.

Khusus soal permintaan Putu Resik, Gede Komang menyatakan segera berkoordinasi dengan pengelola Panti Jompo Janamarapati.

“Kami upayakan supaya beliau bisa masuk ke panti. Meski lumpuh, tapi masih punya semangat juang yang tinggi. Kami upayakan sebisa mungkin,” tandas Komang.

Mendengar janji dari Gede Komang, Putu Resik tak bisa menyembunyikan rasa bahagia dan rasa harunya. Seketika itu ia berteriak, “Hidup Gde Manik” sambil bertepuk tangan. 

Putu Resik kini hidup terlantar dan menumpang bersama sepupunya di Desa Jagaraga. Hidupnya menjadi ironi nama besar orang tuanya.

Apalagi dia putri tunggal dari mendiang Gde Manik, maestro seni Buleleng yang berasal dari Desa Jagaraga.

 

EKA PRASETYA, Buleleng

PUTU Resik, 85, siang itu tengah duduk bersimpuh di teras sebuah warung dekat rumahnya. Ia duduk bersimpuh di atas lantai semen.

Kakinya sudah tak mampu menumpu berat tubuhnya. Sehari-hari Resik hanya bisa merangkak dan ngesot saja.

Tatapan mata Resik sudah tidak awas. Tapi pendengarannya masih kuat dan ingatannya masih melekat kuat.

Tak banyak yang dia lakukan siang itu. Hanya duduk termanggu di teras warung. Berharap ada teman seusia yang bisa diajak mengobrol.

Kehidupan Resik sungguh memprihatinkan. Dia adalah salah satu lansia terlantar yang tinggal di Banjar Dinas Kauh Luan, Desa Jagaraga, Kecamatan Sawan.

Padahal, Resik adalah anak satu-satunya dari maestro seni Gde Manik. Putu Resik adalah putri buah perkawinan Gde Manik dengan Luh Karya.

Sehari-hari Putu Resik tinggal menumpang bersama sepupunya, Ketut Partia, 65. Ketut Partia pula yang merawat Resik sehari-hari.

Mulai dari menyediakan tempat tidur, menyediakan air untuk mandi, hingga menyiapkan makan sehari-hari.

Resik kini hidup sebatang kara. Tanpa anak, tanpa suami. Dulunya ia pernah menikah tiga kali, dan tiga kali bercerai.

Ia sempat dikarunia seorang putra hasil pernikahannya dengan Putu Wira. Namun anak itu meninggal saat usia empat tahun. Sejak itu Resik tak lagi dikaruniai momongan.

Setelah biduk rumah tangganya kandas, ia merantau ke Jakarta menjadi pembantu rumah tangga.

Saat itu ia bekerja di rumah salah satu warga asal Desa Bondalem, Tejakula, yang menetap di Jakarta. Saat usianya menginjak 80 tahun, ia pun memilih pulang kampung ke Jagaraga.

Lansia kelahiran 1932 silam itu kemudian menumpang di rumah sepupunya. Petaka datang sekitar empat tahun silam.

Ketika itu, Resik hendak maturan di pelinggih yang ada di rumah sepupunya. Naas dia tergelincir hingga menyebabkan kedua kakinya lumpuh.

Kakinya memang tak sampai mengalami patah tulang, namun kini kedua kakinya tak mampu menopang berat tubuh Resik.

“Sehari-hari ya saya yang merawat. Saya hanya bisa merawat seadanya saja. karena saya juga harus kerja jadi buruh selip. Pagi saya siapkan kopi, makan, dan air untuk mandi. Setelah itu saya tinggal kerja,” kata Ketut Partia saat ditemui di rumahnya, siang kemarin.

Putu Resik sendiri menyatakan dirinya adalah anak tunggal dari Gde Manik. Ayahnya sempat menikah sebanyak tiga kali.

Yakni dengan Luh Karya, Mangku Nadi, dan Nyoman Suwita. Nah, Putu Resik adalah putri tunggal buah perkawinan Gde Manik dengan Luh Karya. Sementara dua perkawinan lainnya tak dikaruniai anak.

Resik juga ingat betul karya-karya yang dibuat oleh ayahnya. Seperti Tari Trunajaya yang diciptakan Pan Wadres dan disempurnakan oleh Gde Manik.

Berkat Tari Trunajaya ini, nama Gde Manik menjadi tersohor. Selain itu ada beberapa tari lain yang sangat ia ingat, seperti oleg, baris, dan kebyar duduk.

Saat diminta menirukan suara tabuhnya, Resik dengan fasih menirukan suara gamelan. “Tyang nu inget mekejang tabuh bapak tyange. Tarine masi nu keingetang mekejang. Men nu tyang bise mejujuk, nu bise tyang ngigel,” ujar Resik seraya melakukan gerakan agem.

Semua itu ia pelajari secara otodidak. Resik mengaku ayahnya tak pernah mengajari dirinya menari. Akhirnya ia berinisiatif belajar sendiri.

Tari pertama yang ia kuasai adalah Joged Bumbung. “Waktu itu bapak marah. Saya tidak diizinkan menari joged,” kenangnya.

Setelah kejadian itu ia berusaha belajar menari sembunyi-sembunyi. Ia mengintip ayahnya saat mengajar menari dari balik jendela.

Diam-diam dia menari di dalam kamar mengikuti alunan gamelan. Beberapa kali ia menari di desa dalam rangkaian upacara agama maupun adat.

Pernah pula ia menarikan Tari Baris di Catus Pata Desa Jagaraga puluhan tahun silam. Kala itu Gde Manik hanya menyaksikan dirinya menari dari kejauhan tanpa berkomentar apapun.

Seiring berjalannya waktu, Resik juga menggeluti seni janger serta bermain Drama Klasik dengan lakon Rajapala.

“Semua saya pelajari dari melihat. Bapak tidak pernah mengajari saya menari, tapi tidak pernah melarang. Bapak hanya pernah melarang saya sekali, waktu saya menari joged. Setelah itu tidak pernah lagi,” imbuhnya.

Kini di masa tuanya, Resik berharap bisa tinggal di Panti Jompo. Ia ingin memiliki teman seusia yang bisa diajak mengobrol. Sejak lumpuh, mobilitas Resik terbatas.

Tetapi ia ngotot datang ke rumah tetangga dengan cara merangkak bahkan ngesot. Berharap ada teman diajak mengobrol.

“Saya inguh di rumah sendiri. Kalau di panti asuhan saya ada teman. Biar saya di sana bisa megambel,” harapnya.

Kondisi Putu Resik juga mendapat perhatian dari pemerintah. Dinas Sosial Buleleng, kemarin juga langsung menjenguk Putu Resik dan membawa sejumlah bantuan.

Mulai dari sembako, karpet, selimut, kamben, hingga kursi roda. Kepala Dinas Sosial Buleleng Gede Komang mengatakan, pemerintah akan memperhatikan kondisi Putu Resik.

Apalagi ia putri dari maestro Gde Manik yang mengharumkan nama Buleleng. “Kami wajib memperhatikan. Kami akui informasi yang kami terima terlambat. Seandainya dulu diinformasikan, kami bisa mengambil langkah cepat untuk mencegah kelumpuhan ini,” kata Gede Komang.

Khusus soal permintaan Putu Resik, Gede Komang menyatakan segera berkoordinasi dengan pengelola Panti Jompo Janamarapati.

“Kami upayakan supaya beliau bisa masuk ke panti. Meski lumpuh, tapi masih punya semangat juang yang tinggi. Kami upayakan sebisa mungkin,” tandas Komang.

Mendengar janji dari Gede Komang, Putu Resik tak bisa menyembunyikan rasa bahagia dan rasa harunya. Seketika itu ia berteriak, “Hidup Gde Manik” sambil bertepuk tangan. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/