Ni Wayan Gintari, 36, menilai I Ketut Suwantara, 44, suaminya, dua kali tewas dibunuh. Pertama, Senin (3/7/2017) saat memenuhi undangan bazar di Banjar Telugtug, Desa Carangsari, Kecamatan Petang, Badung.
Yang kedua, di meja Pengadilan Negeri Denpasar. Pasalnya, 8 orang pembunuh sang suami divonis super ringan, 1 tahun 10 bulan penjara.
I KADEK SURYA KENCANA, Mangupura
HANYA satu hal yang dipikirkan Ni Wayan Gintari saat ini. Ia ingin secepatnya mendapatkan salinan putusan Pengadilan Negeri Denpasar terkait kasus pembunuhan suaminya, I Ketut Suwantara, 44.
Pasalnya, tepat di hari ulang tahunnya yang ke-36, Rabu (24/1) lalu, wanita asal Batur, Kintamani, Bangli ini mendapat kabar yang membuatnya kehabisan kata-kata.
Para pembunuh suaminya, yakni I Gusti Ngurah Widiana Putra alias Tisan, AA Ngurah Karyawan Saputra alias Gung Wes, Gusti Ngurah Gede Yudistira alias Gung Yudis,
AA Ngurah Agung Bayu Krisna Putra alias Gung Bayu, I Gusti Ngurah Widnyana alias Adis, I Gusti Ngurah Widiasa Putra alias Ngurah Molog,
I Dewa Gede Bintara alias Dewa Edo, dan I Gusti Ngurah Agung Panji Sukhma alias Gung Panji hanya divonis masing-masing 1 tahun 10 bulan penjara.
Tercatat vonis kasus dengan nomor perkara 989/Pid.B/2017/PN Dps dengan jaksa penuntut umum AA Ngurah Jayalantara itu disampaikan majelis hakim PN Denpasar yang diketuai I Wayan Sukanila pada Senin (22/1) lalu.
Mirisnya, Gintari dan keluarganya tidak hadir di hari penting itu. “Kami tidak diberi tahu akan ada sidang putusan. Biasanya sidangnya hari Kamis, tapi sidang putusan hari Senin.
Waktu kakak saya (Komang Yustiana) menelepon jaksa (JPU), jaksa bilang kan ibu sudah tahu jadwal. Dia jawab gitu,” ujarnya sembari menyebut jaksa kasus suaminya adalah Ni Luh Putu Ari Suparmi.
“Waktu saya bersaksi 9 November 2017 yang dampingi Ibu Ari Suparmi. Saya baru ngerti kalau ibu ini adalah jaksa pengganti Bapak Ngurah Jayalantara,” ungkapnya.
Istri korban mengatakan Ari Suparmi selaku JPU tak pernah mau berkomunikasi dengan dirinya. Bahkan saat dirinya menyampaikan pemikiran, sang JPU dinilainya justru membela para pelaku.
“Saya hanya ingin kejelasan prosedur sidang, apa memang begitu? Saat saya bertanya apa keluarga korban tidak masalah tidak hadir dalam sidang, ibu Suparmi bilang kehadiran saya tidak penting.
Setahu saya, saat sidang putusan merupakan hak kami untuk mengajukan keberatan atau banding jika kami merasa tak puas,” keluhnya ditemui Jumat malam di Denpasar.
Kepada Jawa Pos Radar Bali, Gintari menunjukkan rekaman percakapannya dengan JPU Suparmi pada Sabtu (20/1).
Dengan bahasa yang santun Gintari menanyakan kelanjutan kasus pembunuhan suaminya sekaligus soal putusan.
JPU Suparmi hanya menjawab belum pada pukul 15.41. Di hari berbeda saat Gintari bertanya kenapa dirinya tak diberitahu jadwal putusan padahal Sabtu (20/1) mereka sempat berkomunikasi, JPU Suparmi menjawab enteng.
“Kan ibu nggak tanya,” tulis sang JPU Sabtu (27/1) pukul 09.50. Merespons jawaban acuh itu, Gintari menyebut dirinya awam hukum dan merasa akan mendapatkan informasi selaku klien JPU Suparmi.
Sembari menyampaikan kekecewaan, Gintari bertanya ada apa dengan sidang yang berjalan sepihak. Istri korban juga menilai ada yang aneh dengan persidangan dan menyebut pihak keluarganya seolah diajak bermain petak umpet.
Termasuk menulis pernyataan berbunyi ‘baru kami lemah dan tidak paham hukum jadi kami diabaikan.’ Seluruh pernyataan tersebut sama sekali tidak direspons Ni Luh Putu Ari Suparmi.
Komang Yustiana, kakak kandung almarhum I Ketut Suwantara juga menilai JPU Ni Luh Putu Ari Suparmi tidak berjuang untuk musibah yang dialami keluarganya.
“Saya datang ke kejaksaan setelah konsultasi dengan LBH terus menanyakan soal banding. Kenapa vonis seringan itu? Kenapa saya tidak diundang dalam sidang putusan.
Ibu itu menjawab pokoknya korban sudah diwakilkan oleh JPU. Tidak harus mengikuti dan tak masalah. Saya kecewa putusan itu. Atas dasar apa seringan itu? Pertimbangan apa?,” ungkapnya.
Ditanyai lebih jauh, Yustiana mengaku mendapat jawaban yang tidak memuaskan karena tidak menjawab pertanyaan dasar yang dia tanyakan.
“JPU Suparmi bilang ke saya itu (vonis red) hanya hakim yang tahu dan yang berhak memutuskan. Katanya sebagai jaksa dia tak bisa mengintervensi hakim.
Hukum yang bilang begitu. Orang hukum sudah bilang begitu. Kalau korban nggak berhak mengajukan banding,” bebernya.
Imbuhnya, JPU Suparmi menyarankan Yustiana untuk ikhlas. “Ikhlaskan saja. Terima. Kami sudah bekerja dengan maksimal,” ucapnya meniru pernyataan JPU Suparmi.
Yustiana mengaku gregetan dan hilang kesabaran karena pada hari yang sama, Senin (29/1) dirinya melihat JPU Suparmi asyik ngobrol dengan pengacara terdakwa.
“Saya melihat JPU asyik ngobrol sama pengacara para terdakwa. Setelah itu saya tidak berani ngomong sama JPU. Saya diam di parkiran.
Saat itu pelaku yang di bawah umur (GR, 17 tahun red) wajib lapor. Saya makin gregetan dan menangis. Kami merasa dimainkan. Nggak bisa ngomong apa-apa lagi,” bebernya.
Kepada Jawa Pos Radar Bali Gintari dan Yustiana mengatakan salinan surat putusan harus segera mereka dapat agar bisa mengajukan banding atas vonis sangat ringan (1 tahun 10 bulan) yang dijatuhkan majelis hakim.
“Persidangan janggal. Kami menyerahkan ke hukum. Pengertian saya hukum akan maksimal menangani, ternyata seperti ini,” keluh Gintari.
Gintari membeberkan pihak keluarganya tidak pernah mendapatkan surat panggilan dari pihak pengadilan.
“Saya tidak tahu sidang berjalan seperti apa. Saya datang selaku istri korban di persidangan ketiga. Itu pun dikabari oleh penyidik Polres Badung untuk datang ke pengadilan, 9 November 2017.
Tanpa surat. Hanya lisan. Sidang selanjutnya tidak pernah ada informasi lagi. Yang saya tunggu di momentum putusan. Kok jaksa nggak ngasih tahu,” ungkapnya dengan mata berair.
Mendengar vonis telah dibacakan, Gintari mengaku pada Rabu (24/1) datang ke PN Denpasar untuk mencari kepastian apakah benar sudah putusan.
“Saya disuruh ke kepala pengadilan buat surat resmi untuk minta hasil putusan ke panitera pengadilan,” kenangnya.
Selanjutnya, atas saran LBH, Senin (29/1) Gintari mengaku dirinya dan sang kakak ipar berusaha menemui panitera pengadilan bernama Evie Librata Sinta.
“Dua setengah jam kami tunggu. Siangnya ibu panitera itu keluar makan siang. Ditinggal makan nggak kembali. Ditelepon 15 kali diangkat sekali.
Ibu ini nyuruh buat surat resmi ke Kepala Pengadilan Negeri Denpasar agar bisa dapat salinan putusan,” ungkapnya.
Tak menyerah, Gintari lantas ke bidang pidana PN Denpasar. “Saya nanya surat boleh diketik atau tulis tangan.
Dijawab boleh apa saja yang penting bisa dibaca. Setelah nulis surat kami taruh di bagian umum. Bagian umum bilang paling lambat 3 hari,” ucapnya.
Selang tiga hari kemudian, mereka kembali ke PN Denpasar dengan harapan salinan putusan segera didapat. Namun kembali gagal total.
“Petugas bilang surat yang kami buat tidak ada di jurnal. Jumat (2/2) harusnya sudah keluar tapi dibilang tidak ada mengajukan surat,” ujar Gintari.
Yustiana menyebut menurut informasi yang mereka dapat Evie Librata Sinta kini sedang cuti. “Kami ajukan surat permohonan salinan putusan. Ke umum. Kok bisa nggak dikirim.
Surat salinan putusan penting bagi kami karena di situ kami bisa pelajari dakwaan dan lain-lain. Tuntutan (maksudnya ancaman hukuman, Red) 12 tahun kenapa vonis hanya 1 tahun 10 bulan?” ungkap Gintari.
Dalam sidang 28 Desember 2017 lalu, jaksa menuntut majelis hakim menghukum kedelapan terdakwa berupa penjara selama delapan tahun. Dengan demikian, putusan hakim jauh dari 2/3 dari tuntutan jaksa.
Dia menjelaskan, argumen yang disampaikannya selalu dipatahkan JPU dengan kalimat tenang saja dan serahkan atas nama hukum.
“Hukuman seorang pembunuh cuma setahun. Apakah karena miskin jadi kami tidak mendapat keadilan. Kami seolah-olah seperti semut lawan gajah. Mereka bisa beli semuanya,” ungkapnya.
Gintari berharap keluarganya mendapatkan sesuatu yang fair atas penanganan kasus pembunuhan suaminya.
“Hukum harus benar-benar ditegakkan. Apapun alibi kalian, toh suami saya terbunuh. Saya minta keadilan,” tegasnya.
Yustiana menambahkan pihak keluarga para terdakwa kerap datang ke rumah mereka di Banjar Ubud, Getasan, Petang.
“Pihak keluarga pelaku pernah menawarkan sesuatu ke rumah. Kita menutup akses. Kita benar-benar terpukul. Sudah hancur,” tegasnya.
Ditanyai tentang kejanggalan lain, Gintari menjawab bukan hanya tulang rusuk suaminya yang hancur.
Melainkan juga terdapat luka di wajah, tengkorak belakang pecah, keluar darah dari kedua bola mata, bibir atas jadi dua, pipi terbuka, dan dahi menganga.
“Dari perut ke atas hancur. Saya sudah sampaikan saat bersaksi di persidangan. Majelis hakim cuma menjawab cukup,” ungkapnya.
Gintari juga menyesalkan pihak penyelenggara bazar yang lamban. “JPU bilang kejadian itu begitu cepat. Padahal selama dua jam lebih suami saya disembunyikan di dapur.
Saya tahu dari cerita banyak orang. Saat itu lampu dimatikan. Keluarga saya sendiri yang datang menjemput korban.
Penyelenggara bazar ke mana? Ini yang harus dipertanggungjawabkan? Ini nggak ada di BAP. Pihak penyelenggara bisa dituntut menurut saya,” tegasnya.
Ditanyai perihal vonis ringan (1 tahun 10 bulan red) terhadap para pembunuh I Ketut Suwantara dan upaya banding atas vonis tersebut, JPU Ni Luh Putu Ari Suparmi mengatakan akan bertanya kepada pimpinan Kejari Denpasar.
“Saya tanyakan dulu ke pimpinan, Pak,” jawabnya pukul 18.26, Minggu (4/2) kemarin. Sebelumnya, Kapolres Badung AKBP Yudith Satriya Hananta mengatakan
para pelaku terancam Pasal 170 ayat 2 KUHP tentang pengeroyokan yang menyebabkan kematian dengan ancaman hukuman 12 tahun penjara.