BADUNG– Sengketa informasi antara Gubernur Bali Wayan Koster dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Daerah Bali mulai “reda”.
Hal itu terjadi setelah Wayan Koster mengaku akan membuka surat usulan revisi Perpres 51 tahun 2014 yang dikirimkan kepada Presiden Joko Widodo usai Pemilu serentak 17 April mendatang.
Tim Kuasa Hukum Walhi Wayan “Gendo” Suardana, Rabu (3/4) lalu menyebut pernyataan Koster secara otomatis membuktikan dalil Walhi.
Dengan kata lain membuktikan bahwa informasi yang diminta Walhi Bali adalah informasi yang bersifat terbuka. Gendo bahkan mengucapkan terima kasih dan mengapresiasi kejujuran Wayan Koster.
Saat Walhi dan Wayan Koster mulai “rujuk” soal surat usulan revisi Perpres 51 tahun 2014 yang ditujukan kepada Presiden Joko Widodo, pertanyaan seputar komitmen
Sang Gubernur Bali menuntaskan rencana reklamasi Teluk Benoa seorang diri sesuai janji kampanye jelang 27 Juni 2018 lalu kembali menyeruak ke permukaan.
“Publik Bali masih ingat janji politik yang disampaikan Gubernur Bali Wayan Koster. Dalam masa kampanye, Pak Gubernur menyatakan dia seorang sendiri
bisa membatalkan rencana reklamasi Teluk Benoa. Tentu janji itu bagi masyarakat Bali, khususnya masyarakat adat merupakan suatu hal yang harus dipenuhi.
Yang namanya samaya atau janji itu harus dipenuhi. Bila tidak terpenuhi disebut nitya samaya, ingkar janji, berbohong,” ucap mantan Koordinator Pasubayan Desa Adat/Pakraman Bali Tolak Reklamasi, I Wayan Swarsa, Jumat (5/4).
Swarsa menyebut ingkar janji bagi seorang pemimpin di tanah Bali merupakan tindakan yang tidak sesuai dengan karakter masyarakat.
Dikeluarkannya izin lokasi baru rencana reklamasi Teluk Benoa oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti
pada 29 November 2018 kepada PT Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI) merupakan kesempatan bagi Wayan Koster untuk membuktikan komitmen politiknya.
“Izin lokasilah yang akan menjadi dasar kembali dibahasnya atau pengajuan AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, red) oleh pihak investor.
Menyikapi kondisi ini seharusnya Gubernur Bali mengacu kepada janji yang diucapkan ya setidak-tidaknya memberikan pernyataan klarifikasi memihak rakyat Bali.
Karena janjinya adalah membatalkan reklamasi. Kini dikeluarkan izin lokasi baru yang menjadi jalan bagi izin-izin selanjutnya terhadap pelaksanaan reklamasi kenapa Wayan Koster diam?
Tentu wajib bersikap. Bagaimana komitmen seorang Gubernur Bali? Kalau diam tidak berkata apa-apa, itu menunjukkan tidak ada komitmen,” tandas Caleg DPRD Bali nomor urut 1 Dapil Badung dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI).
Mantan Bendesa Adat Kuta itu menambahkan sebagai publik figur keseriusan Wayan Koster tentu ditunggu masyarakat Bali.
“Apakah Beliau serius dengan janjinya atau justru ingkar janji? Masyarakat Bali butuh bukti untuk itu,” tegasnya.
Memegang amanat sebagai Gubernur Bali sejak 5 September 2018, Swarsa menilai sejauh ini komitmen Wayan Koster belum tampak.
“Melihat perkembangan yang ada sejauh ini saya katakan Gubernur Bali Wayan Koster tidak berkomitmen karena memang belum ada bukti.
Seharusnya sehari atau dua hari setelah diketahui dikeluarkannya izin lokasi baru tentu Beliau harus berstatement kan? Faktanya kita pertama kali tahu dari Walhi Bali.
Gubernur Bali Wayan Koster masa tahu belakangan dari Walhi? Kan tidak mungkin itu. Lalu kenapa harus diam? Katanya bisa sendiri. Tidak perlu orang lain?” tanyanya.
Bila Koster satya samaya, masyarakat Bali tentu tak perlu kembali turun ke jalan. Sayangnya, jelas Swarsa situasi ideal antara apa yang diucapkan Koster dengan fakta yang terjadi belum “satu jalur” sehingga perlawanan masih harus digelorakan.
Bila dicermati dengan seksama, aksi parade budaya For Bali dan Pasubayan Desa Adat/Pakraman Bali Tolak Reklamasi, 24 Maret 2019 yang finis di Kantor DPRD Bali jelas
Swarsa merupakan dukungan riil agar Gubernur Bali Wayan Koster tidak ingkar janji atau setidaknya hadir dan menyerukan Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa.
“Sayangnya itu tidak dilakukan. Artinya apa? Saya tidak menuduh apa-apa, namun sikap Beliau yang membenarkan pernyataan atau tudingan-tudingan itu (ingkar janji, red),” pungkas sosok di balik pelestarian tarian sakral Sang Hyang Jaran di Desa Adat Kuta, Badung.
Disinggung soal fakta bahwa rombongan peserta demo “pocol” ke rumah rakyat DPRD Bali karena tidak ada anggota dewan yang nongol, Swarsa menjawab itu hal yang sama sekali tidak mengejutkan.
“Sekian lama kami berjuang ya kan memang begitu-begitu saja. Dicari ke kantor gubernur, gubernur tidak pernah keluar.
Dicari ke kantor dewan (DPRD Bali, red) juga anggota dewan tidak ada yang berani keluar. Itu menunjukkan bahwa masyarakat Bali yang menolak reklamasi belum mendapatkan dukungan nyata dari pemimpinnya untuk berjuang bersama,” tegasnya.
Bila terpilih jadi wakil masyarakat Badung di DPRD Provinsi Bali apakah seorang Jero I Wayan Swarsa juga akan melakukan hal yang sama alias tidak peduli dengan perjuangan rakyat Bali tolak reklamasi?
“Seorang Wayan Swarsa sing kal ngidang makelid (tidak akan bisa berpaling, red). Darah perjuangan ini sudah melekat.
Sekalipun ternyata parpol saya menghalangi, saya tidak akan bisa berhenti. Jujur saya berjuang merebut kursi legislatif DPRD Bali untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat Bali,” terangnya.
Menariknya, disinggung soal sosok Nyoman Dhamantra (anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan Bali, red) yang “didepak” dari Pemilu 2019, Swarsa menyebut politisi tersebut serius menolak rencana reklamasi Teluk Benoa.
“Dengan didepaknya Dhamantra oleh PDIP Bali sekarang saya tidak tahu siapa yang sungguh-sungguh dan tulus berjuang,” tegasnya sembari
menyebut kemunculan Wayan Swarsa “tidak diinginkan” banyak pihak, khususnya yang pro terhadap rencana reklamasi Teluk Benoa. (rba)