27.2 C
Jakarta
1 Mei 2024, 4:36 AM WIB

Cara Kades Kukuh Kampanye Prokes via Masatua

Kampanye pencegahan Covid-19 sebetulnya bisa dihubungkan dengan seni dan budaya. Apalagi Bali yang masyarakatnya sangat cinta seni dan budaya.

SEBUAH mobil pikap meluncur dari Kantor Desa Kukuh, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan, Bali sekitar Maret 2020 lalu. Di atas bak pikap, sejumlah tim Satgas Covid-19 Desa Kukuh secara bergantian menyosialisasikan pencegahan Covid-19.

Made Sugianto, kepala desa tersebut menjadi salah satu peserta sosialisasi. Isi sosialiasi adalah protokol kesehatan untuk mencegah wabah Covid-19.

Berhari-hari, sosialisasi dilakukan setiap Subuh dan sore hari. Mereka berkeliling di jalanan desa. Menemui warga.

“Selain sosialisasi, kami juga membagikan masker untuk warga,” kata Sugianto, Kamis (31/12).

Namun, cara sosialiasi yang itu-itu saja membuat Sugianto bosan. Tema yang monoton begitu juga membuat warga tak terlalu tertarik. Melirik pun tidak.

Sugianto yang juga sastrawan ini membuat terobosan. Dalam sosialisasi itu ia memasukkan satua (dongeng/ cerita) Bali. Ia sendiri yang masatua (mendongeng).

“Judulnya Tuma Titih,” ungkapnya.

Tuma dan Titih adalah nama kutu. Tuma berbadan gemuk, sedangkan Titih kurus. Tuma hidup di tempat tidur:  kasur atau bantal. Sedangkan Titih di dinding anyaman bambu.

Namanya juga satua Bali, maka disampaikan dalam bahasa Bali. Singkatnya, Satua Tuma dan Titih menceritakan Tuma yang hidup dengan cara menyelinap di tempat tidur raja. Tuma hidup disiplin, salah satunya akan menyedot darah ketika sang raja tidur. Ia tahu waktu dan menyedot darah raja sesuai kebutuhan.

Suatu ketika Titih yang kurus ingin gemuk seperti Tuma. Ia pun ikut tuma. Tuma membolehkan, namun berpesan kepada Titih agar menyedot darah raja secukupnya dan pada waktu yang tepat. Yakni saat raja tidur.

Namun, Titih ternyata tak mengindahkan pesan itu. Akhirnya Titih menyedot darah sang raja saat masih terjaga.

“Raja yang kaget akhirnya membunuh Titih,” tuturnya.

Peristiwa itu kemudian menjadi petaka bagi Tuma. Sebab, raja yang sudah jengkel akhirnya memerintahkan bawahannya untuk membersihkan tempat tidurnya.

“Akibatnya, Tuma mati juga. Pelanggaran yang dilakukan satu pihak membuat yang lain ikut kena getahnya. Nah, cerita ini cocok dengan pentingnya kita saling menjaga secara disiplin dalam pencegahan Covid-19,” papar mantan jurnalis sebuah koran lokal di Bali, ini.

Satua ini sering ia ceritakan saat di atas pikap keliling desa. Pikap ini berjalan amat pelan, sehingga satua yang keluar dari pelantang suara mudah tertangkap warga.

“Dari situ ternyata warga mau melirik sosialisasi,” ungkap Sugianto.

Sugianto mengatakan, satua Tuma Titih ini dia dapatkan dari cerita-cerita rakyat. “Biasanya diceritakan sebagai pengantar tidur anak,” terangnya.

Terkait sosialisasi pencegahan Covid-19, satua Tuma Titih ini menurut dia ada kesesuaian. Salah satunya butuh kedisiplinan dan keluar jika ada kebutuhan dan dalam waktu yang tepat. Jika tidak disiplin, dan sembarangan, perbuatan satu orang bisa mencelakai orang lain atau semua orang seperti yang dilakukan si kutu Titih.

Penulis beberapa cerita berbahasa Bali ini menjelaskan, masatua saat sosialisasi dilakukan dalam beberapa bulan. Selain masatua, dia bersama Sekretaris Desa Adat Kukuh, I Dewa Nyoman Suarta juga geguritan. Menembang Bali. Suarta bertugas menyanyi Bali.

“Saya sebagai penasar. Penerjemahnya,”  terang alumni D3 Keuangan dan Perbankan Universitas Udayana ini.

Cara-cara inovatif seperti ini, kata Sugianto, memang sangat diperlukan. Kadang, aku dia, sosialisasi untuk memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak/ menjauhi kerumunan tidak cukup dengan cara-cara yang monoton dan membosankan.

Dari satua di kala pandemi, Sugianto akhirnya membuat channel di YouTube Satua Bali Channel. Channel ini berisi satua-satua Bali. Termasuk adalah Tuma Titih.

Kampanye pencegahan Covid-19 sebetulnya bisa dihubungkan dengan seni dan budaya. Apalagi Bali yang masyarakatnya sangat cinta seni dan budaya.

SEBUAH mobil pikap meluncur dari Kantor Desa Kukuh, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan, Bali sekitar Maret 2020 lalu. Di atas bak pikap, sejumlah tim Satgas Covid-19 Desa Kukuh secara bergantian menyosialisasikan pencegahan Covid-19.

Made Sugianto, kepala desa tersebut menjadi salah satu peserta sosialisasi. Isi sosialiasi adalah protokol kesehatan untuk mencegah wabah Covid-19.

Berhari-hari, sosialisasi dilakukan setiap Subuh dan sore hari. Mereka berkeliling di jalanan desa. Menemui warga.

“Selain sosialisasi, kami juga membagikan masker untuk warga,” kata Sugianto, Kamis (31/12).

Namun, cara sosialiasi yang itu-itu saja membuat Sugianto bosan. Tema yang monoton begitu juga membuat warga tak terlalu tertarik. Melirik pun tidak.

Sugianto yang juga sastrawan ini membuat terobosan. Dalam sosialisasi itu ia memasukkan satua (dongeng/ cerita) Bali. Ia sendiri yang masatua (mendongeng).

“Judulnya Tuma Titih,” ungkapnya.

Tuma dan Titih adalah nama kutu. Tuma berbadan gemuk, sedangkan Titih kurus. Tuma hidup di tempat tidur:  kasur atau bantal. Sedangkan Titih di dinding anyaman bambu.

Namanya juga satua Bali, maka disampaikan dalam bahasa Bali. Singkatnya, Satua Tuma dan Titih menceritakan Tuma yang hidup dengan cara menyelinap di tempat tidur raja. Tuma hidup disiplin, salah satunya akan menyedot darah ketika sang raja tidur. Ia tahu waktu dan menyedot darah raja sesuai kebutuhan.

Suatu ketika Titih yang kurus ingin gemuk seperti Tuma. Ia pun ikut tuma. Tuma membolehkan, namun berpesan kepada Titih agar menyedot darah raja secukupnya dan pada waktu yang tepat. Yakni saat raja tidur.

Namun, Titih ternyata tak mengindahkan pesan itu. Akhirnya Titih menyedot darah sang raja saat masih terjaga.

“Raja yang kaget akhirnya membunuh Titih,” tuturnya.

Peristiwa itu kemudian menjadi petaka bagi Tuma. Sebab, raja yang sudah jengkel akhirnya memerintahkan bawahannya untuk membersihkan tempat tidurnya.

“Akibatnya, Tuma mati juga. Pelanggaran yang dilakukan satu pihak membuat yang lain ikut kena getahnya. Nah, cerita ini cocok dengan pentingnya kita saling menjaga secara disiplin dalam pencegahan Covid-19,” papar mantan jurnalis sebuah koran lokal di Bali, ini.

Satua ini sering ia ceritakan saat di atas pikap keliling desa. Pikap ini berjalan amat pelan, sehingga satua yang keluar dari pelantang suara mudah tertangkap warga.

“Dari situ ternyata warga mau melirik sosialisasi,” ungkap Sugianto.

Sugianto mengatakan, satua Tuma Titih ini dia dapatkan dari cerita-cerita rakyat. “Biasanya diceritakan sebagai pengantar tidur anak,” terangnya.

Terkait sosialisasi pencegahan Covid-19, satua Tuma Titih ini menurut dia ada kesesuaian. Salah satunya butuh kedisiplinan dan keluar jika ada kebutuhan dan dalam waktu yang tepat. Jika tidak disiplin, dan sembarangan, perbuatan satu orang bisa mencelakai orang lain atau semua orang seperti yang dilakukan si kutu Titih.

Penulis beberapa cerita berbahasa Bali ini menjelaskan, masatua saat sosialisasi dilakukan dalam beberapa bulan. Selain masatua, dia bersama Sekretaris Desa Adat Kukuh, I Dewa Nyoman Suarta juga geguritan. Menembang Bali. Suarta bertugas menyanyi Bali.

“Saya sebagai penasar. Penerjemahnya,”  terang alumni D3 Keuangan dan Perbankan Universitas Udayana ini.

Cara-cara inovatif seperti ini, kata Sugianto, memang sangat diperlukan. Kadang, aku dia, sosialisasi untuk memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak/ menjauhi kerumunan tidak cukup dengan cara-cara yang monoton dan membosankan.

Dari satua di kala pandemi, Sugianto akhirnya membuat channel di YouTube Satua Bali Channel. Channel ini berisi satua-satua Bali. Termasuk adalah Tuma Titih.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/