28.4 C
Jakarta
30 April 2024, 3:53 AM WIB

Sempat Pensiun Menambang, Keluarga Bersyukur Jenazah Bisa Dievakuasi

Tewasnya Ketut Sutarsana, 52, di pertambangan batu pilah, menyisakan duka mendalam bagi keluarga. Meski berduka, keluarga bersyukur jenazah Sutarsana akhirnya bisa dievakuasi.

 

EKA PRASETYA, Tejakula

SEJUMLAH pria terlihat berbicara serius di pelataran rumah. Mereka tengah melakukan rapat keluarga, membahas rencana upacara terhadap Ketut Sutarsana, 52, korban tewas akibat musibah longsor di tambang batu pilah yang ada di Banjar Dinas Alas Sari, Desa Pacung, Kecamatan Tejakula.

Dari hasil rembug keluarga itu, jenazah korban rencananya akan dikebumikan di Setra Desa Pakraman Bangkah, Rabu (6/9) besok.

Jenazah korban, sementara dititipkan di Ruang Jenazah RSUD Buleleng. Keluarga baru menjemput jenazah korban besok, dan langsung melakukan upacara sesuai adat yang berlaku di desa pakraman setempat.

Pihak keluarga terlihat tabah menghadapi peristiwa tersebut. Istri korban, Made Nuariani, 50, terlihat tenang. Namun dia tidak banyak berkata-kata.

Dia menyerahkan sepenuhnya prosesi upacara kepada kerabatnya, Made Dharmayasa, 39, yang masih memiliki hubungan sepupu dengan korban.

Kadek Suarjana, putra mendiang menuturkan, korban sosok kepala keluarga yang sangat bertanggungjawab.

Korban juga dikenal ulet dalam bekerja. Dulunya korban sempat bekerja di salah satu pertambangan batu pilah dan memilih berhenti. Mendiang lantas beralih profesi menjadi peternak sapi.

“Dulu bapak memang pernah kerja batu pilah. Sempat selesai, kerja pelihara sapi saja. Baru-baru ini lagi kerja di batu pilah karena ada lokasi baru. Kebetulan lokasinya juga masih punya keluarga,” tutur Suarjana saat ditemui di rumah duka, kemarin.

Suarjana menuturkan, mendiang biasa berangkat bekerja pukul 06.30 pagi. Mendiang juga selalu membawa bekal makan siang ke lokasi tambang.

Kebetulan Senin (3/9) lalu, ia tak sempat bertemu dengan ayahnya, karena tengah bekerja di Bebetin.

Terakhir ia sempat berbicara dengan ayahnya pada Sabtu (2/9) lalu.

“Terakhir saya bicara sama bapak waktu hari Sabtu, pas tumpek landep. Waktu itu saya pingin saja bercanda dengan bapak. Kemarin (Minggu, Red) saya tidak ketemu bapak, karena saya ada kerja di Bebetin. Tidak pernah mimpi buruk, firasat juga tidak ada, tahu-tahu saya terima kabar bapak kena musibah,” tuturnya.

Selama proses evakuasi, pihak keluarga hanya melakukan pemantauan dari rumah duka. Hanya kerabat saja yang memantau proses pencarian di lokasi kejadian.

Keluarga sempat gelisah ketika terjadi longsor susulan. Khawatir posisi jenazah akan terkubur.

“Evakuasi memang sulit sekali. Sempat longsor susulan juga. Sekitar jam 22.00 malam itu, kami sudah minta biar tim SAR berhenti mencari, dilanjutkan besoknya saja karena ada longsor susulan. Tapi tim minta biar tuntas, ya kami berterima kasih karena sudah bersedia kerja keras untuk keluarga kami,” ungkap Made Dharmayasa.

Sekitar pukul 02.00 dini hari, tim sempat putus asa dan berunding mencari solusi terbaik. Tim bersama warga akhirnya mencoba proses evakuasi sekali lagi.

“Astungkara jenazah keluarga kami bisa diangkat tepat jam 03.00 pagi. Langsung dibawa ambulans ke RSUD,” imbuh Dharmayasa.

Dharmayasa menyebutkan bagian kaki kerabatnya, mulai dari betis hingga telapak kaki tidak ditemukan. Ia menduga kakinya terputus kena batu pilah.

Dharmayasa mengaku tidak menemukan luka satu pun di tubuh kerabatnya. Semuanya bersih. Kecuali kedua kaki yang terpotong.

Senin pagi tim evakuasi kembali melanjutkan pencarian. Tetapi pencarian sangat riskan dilakukan. Akhirnya setelah melalui rembug adat, disepakati proses pencarian dihentikan.

“Kami menyadari resikonya sangat tinggi. Biar tidak ada korban lagi. Cukup keluarga kami saja yang jadi korban. Nanti akan ditebus lewat upacara,” katanya lagi.

Meski masih ada potongan tubuh yang belum ditemukan, pihak keluarga menyatakan ikhlas. “Kami keluarga ikhlas sekali dengan kepergian beliau. Kami mohon bantu doa agar keluarga kami bisa menyatu dengan Tuhan, sesuai dengan karmanya,” harap Dharmayasa.

Rencananya pihak keluarga juga akan melakukan upacara pecaruan balik sumpah pada bulan Oktober mendatang. Upacara akan dilangsungkan abulan pitung dina atau 45 hari kalender Bali, sejak jenazah dikebumikan.

“Rencananya di catus pata desa. Di tempat kejadian mungkin saja ada prosesi. Apakah akan ada prosesi lagi, atau sekalian ngayat saat upacara di catus pata. Kami masih menunggu dari desa adat bagaimana baiknya,” tandasnya.

Mendiang Sutarsana sendiri meninggalkan tiga orang anak. Masing-masing Ni Luh Suci Artini, 32; Kadek Suarjana, 31; dan Komang Riskayani, 27. Selain itu mendiang juga meninggalkan lima orang cucu.

Sementara itu, korban selamat dalam peristiwa tersebut Komang Kardiasa, menjalani perawatan intensif di RSUD Buleleng.

Kemarin, Kardiasa menjalani operasi karena kaki kanannya patah di sejumlah bagian. Selain itu korban juga mengalami luka robek pada tangan kanan, serta luka gores pada dahi dan pipi kiri.

Dirut RSUD Buleleng dr. Gede Wiartana mengungkapkan, setelah menjalani operasi korban langsung dirawat di Ruang Jempiring RSUD Buleleng.

Diperkirakan dalam waktu tiga hingga lima hari ke depan, korban sudah bisa pulang dan melakukan rawat jalan. Dari hasil pemeriksaan tim dokter, tidak ada organ vital yang mengalami cedera.

Korban Komang Kardiasa sendiri tidak dipungut biaya dalam proses pengobatan, karena telah mengantongi Kartu Indonesia Sehat.

“Kami berikan pelayanan maksimal. Pasien tidak dipungut biaya, karena sudah memiliki KIS,” kata Wiartana.

Salah satu kerabat Kardiasa, Gede Sukadana, 30, mengaku mendapat firasat buruk sehari menjelang musibah itu terjadi.

Sukadana yang juga kakak kandung Kardiasa, bercerita bahwa dirinya sempat dijemput mendiang kakeknya.

Dalam mimpi, dia diajak menuju sebuah lahan tandus. Dalam mimpi, Sukadana menangis dan bertanya kepada kakeknya.

Namun kakeknya hanya diam. Saat tangisnya semakin keras, tiba-tiba mendiang kakeknya itu menghilang. “Saya dibiarkan berdiri sendiri lahan tandus itu,” ceritanya.

Dia sempat mengalami rasa ketakutan begitu hebat dan berusaha berteriak mencari bantuan. Sesaat kemudian dia terbangun dan merasa cemas luar biasa.

“Saya langsung punya firasat sama keluarga di Pacung. Saya berusaha mengabaikan saja,” katanya. Ternyata mimpi itu menjadi kenyataan.

Adik kandungnya tertimpa material longsor di tambang batu pilah yang ada di perbukitan nan tandus. “Adik saya bisa selamat, itu saja sudah syukur luar biasa,” tandasnya. 

Tewasnya Ketut Sutarsana, 52, di pertambangan batu pilah, menyisakan duka mendalam bagi keluarga. Meski berduka, keluarga bersyukur jenazah Sutarsana akhirnya bisa dievakuasi.

 

EKA PRASETYA, Tejakula

SEJUMLAH pria terlihat berbicara serius di pelataran rumah. Mereka tengah melakukan rapat keluarga, membahas rencana upacara terhadap Ketut Sutarsana, 52, korban tewas akibat musibah longsor di tambang batu pilah yang ada di Banjar Dinas Alas Sari, Desa Pacung, Kecamatan Tejakula.

Dari hasil rembug keluarga itu, jenazah korban rencananya akan dikebumikan di Setra Desa Pakraman Bangkah, Rabu (6/9) besok.

Jenazah korban, sementara dititipkan di Ruang Jenazah RSUD Buleleng. Keluarga baru menjemput jenazah korban besok, dan langsung melakukan upacara sesuai adat yang berlaku di desa pakraman setempat.

Pihak keluarga terlihat tabah menghadapi peristiwa tersebut. Istri korban, Made Nuariani, 50, terlihat tenang. Namun dia tidak banyak berkata-kata.

Dia menyerahkan sepenuhnya prosesi upacara kepada kerabatnya, Made Dharmayasa, 39, yang masih memiliki hubungan sepupu dengan korban.

Kadek Suarjana, putra mendiang menuturkan, korban sosok kepala keluarga yang sangat bertanggungjawab.

Korban juga dikenal ulet dalam bekerja. Dulunya korban sempat bekerja di salah satu pertambangan batu pilah dan memilih berhenti. Mendiang lantas beralih profesi menjadi peternak sapi.

“Dulu bapak memang pernah kerja batu pilah. Sempat selesai, kerja pelihara sapi saja. Baru-baru ini lagi kerja di batu pilah karena ada lokasi baru. Kebetulan lokasinya juga masih punya keluarga,” tutur Suarjana saat ditemui di rumah duka, kemarin.

Suarjana menuturkan, mendiang biasa berangkat bekerja pukul 06.30 pagi. Mendiang juga selalu membawa bekal makan siang ke lokasi tambang.

Kebetulan Senin (3/9) lalu, ia tak sempat bertemu dengan ayahnya, karena tengah bekerja di Bebetin.

Terakhir ia sempat berbicara dengan ayahnya pada Sabtu (2/9) lalu.

“Terakhir saya bicara sama bapak waktu hari Sabtu, pas tumpek landep. Waktu itu saya pingin saja bercanda dengan bapak. Kemarin (Minggu, Red) saya tidak ketemu bapak, karena saya ada kerja di Bebetin. Tidak pernah mimpi buruk, firasat juga tidak ada, tahu-tahu saya terima kabar bapak kena musibah,” tuturnya.

Selama proses evakuasi, pihak keluarga hanya melakukan pemantauan dari rumah duka. Hanya kerabat saja yang memantau proses pencarian di lokasi kejadian.

Keluarga sempat gelisah ketika terjadi longsor susulan. Khawatir posisi jenazah akan terkubur.

“Evakuasi memang sulit sekali. Sempat longsor susulan juga. Sekitar jam 22.00 malam itu, kami sudah minta biar tim SAR berhenti mencari, dilanjutkan besoknya saja karena ada longsor susulan. Tapi tim minta biar tuntas, ya kami berterima kasih karena sudah bersedia kerja keras untuk keluarga kami,” ungkap Made Dharmayasa.

Sekitar pukul 02.00 dini hari, tim sempat putus asa dan berunding mencari solusi terbaik. Tim bersama warga akhirnya mencoba proses evakuasi sekali lagi.

“Astungkara jenazah keluarga kami bisa diangkat tepat jam 03.00 pagi. Langsung dibawa ambulans ke RSUD,” imbuh Dharmayasa.

Dharmayasa menyebutkan bagian kaki kerabatnya, mulai dari betis hingga telapak kaki tidak ditemukan. Ia menduga kakinya terputus kena batu pilah.

Dharmayasa mengaku tidak menemukan luka satu pun di tubuh kerabatnya. Semuanya bersih. Kecuali kedua kaki yang terpotong.

Senin pagi tim evakuasi kembali melanjutkan pencarian. Tetapi pencarian sangat riskan dilakukan. Akhirnya setelah melalui rembug adat, disepakati proses pencarian dihentikan.

“Kami menyadari resikonya sangat tinggi. Biar tidak ada korban lagi. Cukup keluarga kami saja yang jadi korban. Nanti akan ditebus lewat upacara,” katanya lagi.

Meski masih ada potongan tubuh yang belum ditemukan, pihak keluarga menyatakan ikhlas. “Kami keluarga ikhlas sekali dengan kepergian beliau. Kami mohon bantu doa agar keluarga kami bisa menyatu dengan Tuhan, sesuai dengan karmanya,” harap Dharmayasa.

Rencananya pihak keluarga juga akan melakukan upacara pecaruan balik sumpah pada bulan Oktober mendatang. Upacara akan dilangsungkan abulan pitung dina atau 45 hari kalender Bali, sejak jenazah dikebumikan.

“Rencananya di catus pata desa. Di tempat kejadian mungkin saja ada prosesi. Apakah akan ada prosesi lagi, atau sekalian ngayat saat upacara di catus pata. Kami masih menunggu dari desa adat bagaimana baiknya,” tandasnya.

Mendiang Sutarsana sendiri meninggalkan tiga orang anak. Masing-masing Ni Luh Suci Artini, 32; Kadek Suarjana, 31; dan Komang Riskayani, 27. Selain itu mendiang juga meninggalkan lima orang cucu.

Sementara itu, korban selamat dalam peristiwa tersebut Komang Kardiasa, menjalani perawatan intensif di RSUD Buleleng.

Kemarin, Kardiasa menjalani operasi karena kaki kanannya patah di sejumlah bagian. Selain itu korban juga mengalami luka robek pada tangan kanan, serta luka gores pada dahi dan pipi kiri.

Dirut RSUD Buleleng dr. Gede Wiartana mengungkapkan, setelah menjalani operasi korban langsung dirawat di Ruang Jempiring RSUD Buleleng.

Diperkirakan dalam waktu tiga hingga lima hari ke depan, korban sudah bisa pulang dan melakukan rawat jalan. Dari hasil pemeriksaan tim dokter, tidak ada organ vital yang mengalami cedera.

Korban Komang Kardiasa sendiri tidak dipungut biaya dalam proses pengobatan, karena telah mengantongi Kartu Indonesia Sehat.

“Kami berikan pelayanan maksimal. Pasien tidak dipungut biaya, karena sudah memiliki KIS,” kata Wiartana.

Salah satu kerabat Kardiasa, Gede Sukadana, 30, mengaku mendapat firasat buruk sehari menjelang musibah itu terjadi.

Sukadana yang juga kakak kandung Kardiasa, bercerita bahwa dirinya sempat dijemput mendiang kakeknya.

Dalam mimpi, dia diajak menuju sebuah lahan tandus. Dalam mimpi, Sukadana menangis dan bertanya kepada kakeknya.

Namun kakeknya hanya diam. Saat tangisnya semakin keras, tiba-tiba mendiang kakeknya itu menghilang. “Saya dibiarkan berdiri sendiri lahan tandus itu,” ceritanya.

Dia sempat mengalami rasa ketakutan begitu hebat dan berusaha berteriak mencari bantuan. Sesaat kemudian dia terbangun dan merasa cemas luar biasa.

“Saya langsung punya firasat sama keluarga di Pacung. Saya berusaha mengabaikan saja,” katanya. Ternyata mimpi itu menjadi kenyataan.

Adik kandungnya tertimpa material longsor di tambang batu pilah yang ada di perbukitan nan tandus. “Adik saya bisa selamat, itu saja sudah syukur luar biasa,” tandasnya. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/