Dunia pengacara penuh warna. Terutama pengacara yang kerap mendampingi terdakwa warga negara asing.
Beda negara beda tabiatnya. Ada yang royal, ada yang mudah diatur, ada pula yang pelit hingga pura-pura miskin.
MAULANA SANDIJAYA, Denpasar
SEJAK memutuskan menjadi pengacara beberapa tahun lalu, Edward Firdaus Pangkahila tidak pernah berpikir memiliki klien orang asing.
Ia hanya bekerja mengalir bagaikan air. Namun, perjalanan mengantarkannya dikenal sebagai lawyer yang sering mendampingi orang asing.
Menurut Edward, kunci menangani terdakwa orang asing yaitu fair dan komitmen. Apa yang dibicarakan di awal pendampingan hingga kasus selesai tidak boleh berubah.
Terutama tentang besaran nominal fee lawyer. Tidak boleh nilainya berubah di tengah jalan. Jika itu terjadi, maka dianggap tidak profesional.
Edward lantas menceritakan suka duka mendampingi orang asing. “Awal dapat klien orang asing itu karena penunjukkan.
Saya juga tidak tahu, mungkin klien yang saya tangani ini merasa cocok, sehingga merekomendasikan kepada orang lain,” tutur Edward ditemui Jawa Pos Radar Bali baru-baru ini.
Rata-rata yang didampingi Edward adalah pecandu. Biasanya mereka datang ke Bali tidak tahu jika membawa narkoba, walaupun jumlahnya kecil tetap dihukum.
Mereka menyamakan Bali dengan negaranya. “Kadang ada juga yang sisa party di negaranya di bawa ke Bali. Begitu turun dari pesawat langsung ditangkap,” jelasnya.
Pengalaman Edward, orang asing yang sulit diatur adalah orang Rusia. Sifatnya keras kepala dan tidak mudah percaya pada orang lain.
Bahkan cenderung ngotot jika dikasih tahu tentang norma hukum di Indonesia. “Umumnya kilen dari Rusia ini suka protes dan membandingkan di negaranya.
Katanya, barang (narkoba) jumlah kecil tidak perlu sidang, cukup rehab. Pokoknya ngotot, merasa tidak bersalah,” jelas pria 48 tahun itu.
Pernah pada suatu kesempatan, Edward diminta mendampingi klien dari Rusia yang tidak punya duit. Apesnya, meski memberi bantuan cuma-cuma, Edward tetap tidak percaya.
Jika sudah begitu, Edward menggunakan jurus humanis. “Saya cucikan pakaiannya. Saya sering besuk dan kirimi makanan. Akhirnya lama-lama melunak,” terangnya.
Kendala lain yang dihadapi adalah bahasa. Dikatakan Edward, tidak semua orang Rusia yang datang ke Bali bahasa Inggrisnya lancar.
Jika diberi penjelasan menggunakan bahasa Inggris, mereka kadang salah tangkap. Walhasil, Edward harus mendatangkan orang lokal yang fasih berbahasa Rusia. Ia pun harus merogoh kocek tambahan.
“Kalau ketemu klien keras kepala dan ngotot, rasanya seperti kena bom atom. Kepala rasanya pecah. Saya seperti dibuat gila,” selorohnya lantas tertawa.
Namun, menurutnya tidak semua kliennya dari Rusia pelit dan keras kepala. Ada juga yang royal. Sementara klien yang paling mudah diajak bicara berasal dari Australia.
“Kalau klien dari Australia lebih mudah, karena mereka jujur. Kalau punya uang bilang punya, kalau tidak bilang tidak,” beber pria yang hobi olahraga tinju itu.
Sementara orang Inggris dan Jerman menurutnya relatif mudah didampingi. Yang lebih mudah diajak kerja sama adalah orang Jepang.
Menurut Edward, orang Jepang ketika kesandung hukum akan berjuang mati-matian mempertahankan harga diri dan nama baik.
Pengalaman yang paling menyesakkan saat Edward mendampingi warga Chili pembawa sabu cair. Edward dibuat pusing karena orang tersebut kerap bertingkah layaknya orang gila.
Di luar dugaan, kliennya ternyata jutawan di negaranya. “Setelah bebas, ia menunjukkan uang di rekeningnya ada USD 12 juta.
Wih, saya benar-benar terkejut. Ada klien pura-pura miskin, padahal kaya,” ucapnya sambil geleng-geleng kepala.
Namun, tak selamanya pengalaman duka didapat. Edward juga pernah mendapat pengalaman menyenangkan.
Waktu itu, secara tidak sengaja, ia mendampingi orang dari sebuah negara di Asia Tengah, pecahan Uni Soviet. Kliennya itu membawa serbuk ekstasi.
Klien yang didampingi Edward itu ternyata bukan orang sembarangan. Dia adalah penasihat ekonomi presiden di negaranya.
“Saya juga kaget, klien saya itu juga pacaran dengan Miss Universe. Orangnya sangat baik. Sampai sekarang kami masih komunikasi,” ungkapnya.
Klien dari negara lain yang sudah bebas juga masih menjalin komunikasi. Bahkan, tak sedikit yang menawarkan untuk main ke negaranya untuk dijamu.
Ditanya fee lawyer paling besar yang pernah diterima, Edward tertawa lepas. “Ya, adalah di atas Rp 100 juta. Tapi, itu jarang, Bro,” ucapnya lantas terkekeh.
Biasanya dibayar dolar atau rupiah? “Rupiah,” jawabnya singkat. Saat disinggung tentang proses menentukan nominal fee lawyer, Edward menyebut tawar menawar adalah hal yang biasa.
Namun, dirinya selalu memberikan penjelasan secara detail di awal pertemuan. Setelah sepakat barulah minta operasional fee. Setelah perkara beres, barulah menerima lawyer fee.
“Kalau sudah setuju dan sepekat pada satu angka, tidak boleh berubah atau minta tambahan. Kadang kami nomboki,” tukasnya. (*)