Oleh: Dahlan Iskan
Saya sudah ke museum di banyak negara. Baru di Taipei ini melihat ramainya seperti di stasiun kereta. Di hari libur pula.
Padahal harga karcisnya setara Rp 250.000. Antrean di loket begitu padat. Yang di sini. Pun yang di sana.
Bagi saya museum ini memang istimewa. Pun bagi siapa saja. Bukan saja isinya. Terutama kisah di balik museum itu.
Bisa dibilang: semangat saya datang ke muesum ini sama dengan minat saya membaca novel ‘Peoples of the Book’. Bagaimana kisah penyelamatan benda kuno. Yang amat heroik. Penuh tragedi. Mengancam jiwa.
Dalam hal ‘People of the Book’ yang diselamatkan adalah kitab suci. Milik orang Yahudi. Dari ancaman pemusnahan. Oleh pihak gereja. Yang lagi menguasai Eropa. Pada abad ke 14.
Betapa dramatik perjalanan buku itu. Yang penyelamat terakhirnya justru orang Islam. Di Bosnia. Yang mempertaruhkan keselamatannya.
Saya tahu novel itu sebuah fiksi. Tapi saya juga tahu penulisnya telah melakukan riset yang mendalam. Seperti novel ‘Bumi Manusia’-nya Pramudya Ananta Tour. Fiksi. Tapi cerita sebenarnya tidak jauh dari itu. Saya meyakininya.
Kisah di balik museum di Taipei itu tidak kalah seru. Cuma belum ada yang menulis novel tentangnya. Atau membuat filmnya.
Saya tahu hanya dari literatur. Atau bahasa tutur. Yang diketahui secara luas. Di Taiwan. Pun di Tiongkok. Lengkap dengan bumbu-bumbunya.
Tapi tetap sulit dibayangkan: bagaimana isi museum seperti itu bisa selamat dari perang. Yang berkepanjangan.
Yang jumlah bendanya lebih dari 500.000. Patung. Jade. Keramik. Lukisan. Buku.
Perangnya tidak hanya sekali. Termasuk perang saudara. Dari tahun 1940 sampai 1949.
Semua benda itu awalnya berada di satu tempat. Menjadi kekayaan kaisar. Semua tersimpan di istana. Di Beijing. Di istana Forbidden City itu. Yang oleh orang Tiongkok disebut ‘Kugong’. Yang luasnya naudzubillahimindzalik itu. Yang terdiri dari 999 kamar itu. Di seberang lapangan Tian An Men itu.
Saat pecah perang di Manchuria pengurus museum mengira: perang akan sampai ke Beijing. Korea sudah jatuh ke Jepang. Manchuria takluk. Wilayah sekitar Qingdao juga diserang.
Pengurus museum berinisiatif: memilih benda-benda yang tertinggi nilainya. Terutama nilai sejarahnya. Untuk diselamatkan. Dari bom maupun menjarahan Jepang.
Seluruh pegawai museum diminta tidak tidur. Semalam suntuk. Memilah-milih.
Di malam yang lain mereka mengepak.
Ada yang menyebut jumlah yang berhasil dipack sampai 600.000 barang.
Malam yang lain lagi benda itu dinaikkan gerobak. Dikeluarkan melalui gerbang Qianmen. Gerbang yang sering saya lewati. Kalau ingin makan bebek Beijing di dekat Qianmen.
Keluar dari gerbang, konvoi gerobak itu belok kiri. Menuju stasiun kereta api. Stasiun Barat. Sekitar 300 meter dari gerbang terluar itu. Yang sampai sekarang wajah depan stasiunnya masih sama. Hanya telah berubah menjadi museum kereta.
Tahun-tahun itu pemerintahan Tiongkok masih dipegang partai nasionalis Koumintang. Dengan tokoh sentralnya Chiang Kai Shek. Tapi sudah sangat rapuh. Kota-kota kecil sudah dikuasai jagoan-jagoan lokal. Politikus yang preman. Atau preman yang politikus. Pedesaan sudah dikuasai Partai Komunis. Dengan tokoh sentralnya Mao Zedong.
Tapi pemerintah nan rapuh itu masih sempat berpikir: menyelamatkan benda bersejarah itu.
Dari Stasiun Barat kereta menempuh jarak yang amat jauh: menuju Shanghai. Untuk ukuran kecepatan kereta waktu itu diperlukan waktu dua hari dua malam.
Ternyata benda bersejarah itu tidak bisa lama di Shanghai. Kota itu juga akan jadi medan perang. Harta museum itu pun diangkut ke kapal. Di pelabuhan Shanghai. Perlu berapa puluh kapal? Angka yang saya peroleh berbeda-beda.
Dengan armada kapal itu harta museum Kugong tersebut dilayarkan ke hulu. Ke arah pedalaman. Ke arah kota Nanjing. Melalui bengawan Changjiang (Yang Tze Kiang). Sungai terpanjang keempat di dunia. Yang jadi pusat lalu-lintas zaman itu.
Di Nanjing pun ternyata tidak aman. Bahkan Jepang menjadikan Nanjing salah satu arena pembantaian terbesar.
Harta museum Kugong itu diangkut ke kapal lagi. Armada itu terus menuju arah hulu. Lebih ke pedalaman lagi. Ke kota Chongqing. Tempat kuliahnya Lufita berjilbab yang dari Kediri itu.
Panjang sekali tulisan ini. Kalau semua perjalanan penyelamatan itu diceritakan. Maka tibalah pada akhirnya: perang kian meluas.
Termasuk perang saudara. Antara Koumintang dengan Gongchangdang. Chiang Kai Shek dengan Mao Zedong.
Nasional lawan komunis. Borjuis lawan proletar.
Nasionalis kalah. Chiang Kai Shek melarikan diri. Terbang ke Taiwan. Dengan seluruh angkatan udaranya. Termasuk anaknya: jenderal Chiang Jingkuo.
Sebelum terbang, mereka menyanyikan lagu kebangsaan. Juga memerintahkan agar harta Museum Kugong diselamatkan ke Taiwan. Sedapat-dapatnya.
Tentu tidak bisa semua. Ada yang bilang 20.000. Ada yang bilang 60.000. Tentu dipilih yang terpenting dari yang penting.
Itulah yang dipasang di museum Taipei. Yang baru dibangun tahun 1970-an. Nama museumnya pun masih tetap sama: Kugong. Yang dalam bahasa Inggris disebut National Palace Museum.
Saya pun yakin ini: berjubelnya pengunjung museum itu lantaran kisah dramatiknya itu.
Mirip di New York. Pengunjung museumnya meningkat. Setelah film sukses ‘Nigth at the Museum’. Saya pun ke sana karena film itu.
Dan yang berjubel di museum Kugong Taiwan itu membuat saya kaget: turis dari Tiongkok. Hampir semua. Sepuluh orang yang saya tanya tidak satu pun yang dari Taiwan. Padahal yang saya tanya itu sudah saya pilih seperti polling yang tidak memihak.
Emosi saya menjadi ikut bergolak: siapa yang akan menyelamatkan harta museum Kugong itu. Kalau terjadi perang antara Tiongkok dan Taiwan.
Saya juga bisa merasakan getaran emosi pengunjung museum hari itu. Mestinya barang itu harus kembali ke Kugong di Forbidden City.
Atau biar sajalah di situ.
Asal tetap selamat.(dahlan iskan)