Ida Bagus Ketut Suarjata tidak menyangka dirinya bakal menjadi seorang dalang. Padahal, dulunya ia bercita-cita menjadi seorang polisi. Namun karena pengaruh lingkungan, seniman asal Banjar Jasri, Desa Belega, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar ini sukses jadi dalang andal.
ZULFIKA RAHMAN, Denpasar
IDA Bagus Ketut Suarjata tumbuh menjadi seorang seniman andal dalam dunia wayang kulit. Bahkan, lewat seni pewayangan, Gus Suarjata kerap tampil di berbagai acara hajatan, hingga festival.
Kepada Jawa Pos Radar Bali, pria kelahiran Gianyar, 12 Agustus 1979 silam ini menceritakan awal mula kepincut dengan seni pewayangan.
Ia mengaku menjadi dalang, atas dasar keinginan sendiri. Sebab, menjadi dalang baginya itu suatu kehormatan di Bali.
Di masyarakat, dalang wayang kulit itu mendapat posisi yang lebih dihormati dan dihargai. Karena, setiap proses upacara yadnya (Panca Yadnya), dalang selalu dilibatkan dalam proses ritual tersebut.
“Dari dasar itu, saya mulai menggeluti wayang, belajar hingga saat ini bisa mendalang,” Gus Suarjata.
“Dalam proses menjadi seorang dalang itu terlihat sangat susah. Namun, karena niat besar sekali untuk menjadi seorang dalang, maka segala sesuatu yang dianggap susah itu diabaikan,” tuturnya.
Seorang dalang, kata dia, harus memiliki keahlian menarikan walang (tetikesan), wiracerita (memaparkan ceritera) dan keahlian olah vocal (warna suara).
Padahal di lingkungan keluarganya, tidak satu orang pun yang menggeluti dunia pewayangan. Namun, untuk darah seni memang terpupuk sejak dini, karena lahir di lingkungan keluarga yang juga sebagai seniman.
“Saudara dan orang tua seniman tari arja, yang memiliki modal suara, nyanyian, lagu, tembang ciri khas Bali. Saya juga suka tembang, maka muncul keinginan untuk menjadi seorang dalang,” ujar Suarjata.
Bapak empat anak ini bisa memainkan beberapa jenis wayang, mulai wayang gedog, wayang lemah, wayang wali atau upacara. Ia memainkan wayang sendiri dan diiringi dua orang penabuh gender.
“Saya juga biasa memainkan wayang pertunjukan khusus untuk menghibur masyarakat,” katanya. Selain sebagai seni hiburan, seni wayang bermanfaat untuk pendidikan budi pekerti.
Dalam seni pakeliran itu, dia banyak mendapat pengetahuan kehidupan sosial masyarakat, pendidikan agama, pengetahuan agama disamping pendidikan seni.
“Wayang kulit juga memiliki nilai sosial, ajaran tentang Ketuhanan dan kebenaran kehidupan manusia,” paparnya.
Suarjata menambahkan, dalam setiap pertunjukan wayang itu, banyak sekali membuat karakter penokohan wayang.
Jadi, suara seorang dalang itu harus bisa memberikan jiwa di setiap penokohan-penokohan wayang kulit tersebut.
“Hal itu menjadi tingkat kesulitan seorang dalang. Karena harus memiliki penjiwaan agar setiap tokoh yang dibawakan menjadi hidup,” terang Suarjata
Orang yang bisa memainkan wayang, kata dia secara otomatis belajar tentang etika, estetika dan logika yang sangat bagus.
Seperti menarikan tokoh raja akan berbeda dengan menarikan punakawan. Menarikan raja yang angkuh dan raja yang darma, juga berbeda.
Demikian pula dengan ucapannya, kata-kata yang disampaikan juga berbeda. “Makanya itu perlu penjiwaan untuk setiap karakter.
Seorang dalang itu akan selalu mempertunjukkan dan menyampaikan aksara-aksara suci yang bersifat sakral dan pingit yang mampu memberikan vibrasi energi positif,” jelasnya.
Untuk menjaga kesenian wayang tetap hidup, sebagai seniman, Suarjata juga sadar akan pentingnya sebuah regenerasi.
Terutama kalangan muda. Ia memiliki 15 anak didik yang mau belajar dan ingin melestarikan wayang kulit agar tetap hidup di tengah gempuran arus digital.
“Mereka, murid yang cerdas, rata-rata memiliki kemampuan seni yang bagus. Banyak diantara murid saya yang sudah biasa ngayah ngewayang,” tandasnya. (*)