Mereka baru sebulan kuliah di mancanegara. Di Zhejiang University of Technology. Tiga wanita berjilbab itu. Tiga lagi laki-laki โsatu anak kiai, satu lagi anak desa di pelosok gunung.
Dan satu lagi keturunan Tionghoa. Saya mengundang mereka makan malam. Yang tiga orang ternyata sudah empat tahun kuliah di Hangzhou โkota yang jadi pusatnya Ali Baba dan tuan rumah Asian Games 2020.
โTidak terbayangkan sekarang sudah 400 mahasiswa Indonesia kuliah di sini,โ ujar Fandy Putra Limanto. Asal Surabaya. Alumni SMA St. Louis 1. Yang lagi menyelesaikan kuliah di jurusan tehnik sipil.
Tahun lalu Fandy menjabat Ketua Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Hangzhou. โAwal saya di sini yang dari Indonesia tidak sampai 50 orang,โ katanya. Tentu makan malam itu ada udang di balik batunya: yang tiga orang itu dari pesantren keluarga kami โPesantren Sabilil Muttaqin (PSM) Magetan.
Semacam untuk mengucapkan selamat belajar kepada anak sesama Magetan. Saya begitu kaget ada anak Magetan kuliah di Tiongkok. Pertanda Magetan akan maju? Saya tidak pernah memberi anjuran apa pun.
Yang jilbab itu memilih kuliah jurusan bisnis: Sastyaveani Rhea Revansyah dan Dyah Ayu Kusuma Wardhani. Satu orang lagi โyang dari gunung ituโ kuliah di jurusan teknologi software: Yusuf Muhammad Irfan.
Mereka itulah lulusan pertama SMA International Islamic School (IIS) PSM Magetan. Awalnya dulu, saya hanya ingin mendirikan madrasah tingkat SD. Yang level internasional. Di Magetan.
Di tengah 120 madrasah kami yang level lokal. Di kawasan Madiun-Kediri dan sekitarnya. Setelah SD internasional itu berjalan lima tahun, orang tua murid berkumpul.
Mengundang saya. Mereka mendaulat agar saya juga mendirikan SMP. Alasan mereka: setelah lulus SD nanti ke SMP mana anak mereka. Tidak ada SMP sekelas itu di Magetan. SMP pun terpaksa berdiri.
Dua tahun kemudian terulang. Orang tua yang sama kumpul lagi. Mendaulat lagi. Agar PSM mendirikan IIS tingkat SMA. Alasannya sama: tidak ada SMA di Magetan yang cocok untuk lulusan SMP IIS PSM.
Tiga orang itu termasuk lulusan pertama SMA itu. Yang diam-diam mendaftar ke Yayasan ITCC. Untuk mendapat beasiswa kuliah di Tiongkok. Yayasan itu โkebetulan saya yang mendirikanโ tahun ini sama dengan tahun-tahun sebelumnya: mengirim 350 calon mahasiswa ke Tiongkok (termasuk ke Taiwan).
Malam itu kami ngobrol banyak hal. Terutama alasan masing-masing untuk kuliah di Tiongkok. Ajra Ibraheem Maghfira Daud sebenarnya sudah mendaftar ke Amerika Serikat.
Ingin kuliah di New York. Ajra lulusan Pondok Modern Gontor, Ponorogo. โTapi saya ingin terjun ke bisnis,โ kata Ajra. Ternyata saya kenal ayahnya. Seorang ulama sufi.
Ahli perbandingan agama. Yang juga lulusan Gontor. Yang kuliah di berbagai universitas di luar negeri. Termasuk kuliah di Universitas Vatikan, Roma. Atas beasiswa langsung dari Paus.
Kini Ajra sudah bisa membeli sepeda motor sendiri. Dari hasil bisnis informalnya di Hangzhou. โTapi mengapa rambut Anda panjang? Seperti anak muda masa kini?โ tanya saya.
โRambut Nabi Muhammad juga panjang,โ jawabnya. โBahkan semua nabi rambutnya panjang,โ tambahnya. Kelihatan sekali ia menguasai banyak hal di bidang agama.
Lain lagi dengan Awlya Fakhrunnisa. Selama empat tahun di Hangzhou dia hanya pulang dua kali. โWaktu liburan saya pilih magang kerja di sini,โ katanyi. Awlya lulusan SMA Nahdlatul Ulama 1 Gresik, Jatim.
Ayahnya pengusaha. Kini sang ayah bersahabat dengan bos tempat putrinya magang. Punya hubungan bisnis pula. Kalau ayahnyi ke Hangzhou bertemu bosnyi. Kalau bosnyi ke Indonesia bertemu bapaknyi. Kini mereka lagi membuat langkah-langkah kecil. Untuk masa depan yang panjang.(Dahlan Iskan)