28.4 C
Jakarta
30 April 2024, 4:34 AM WIB

Kedaulatan dan HAM Dalam Bingkai Diplomasi Indonesia

PIDATO Presiden Jokowi mengecam Presiden Prancis Emmanuel Macron menuai pro dan kontra, yang sebagian datang dari kalangan pendukung setianya.

Ada dua besaran pendapat kontra terhadap presiden itu; bahwa Jokowi tak paham isi pidato dan konteks pernyataan Macron, dan bahwa banyak persoalan intoleransi atas nama agama di Indonesia terjadi di bawah pemerintahan Jokowi.

Sebelumnya, melalui akun Twitternya, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengaku telah mengundang Duta Besar Prancis untuk Indonesia dan menyampaikan kecamannya kepada Macron.

Kecaman itu terkait dengan pernyataan Emmanuel Macron dalam pidatonya pada upacara pemakaman Samuel Patty, guru sejarah yang dipenggal oleh muridnya sendiri, Abdullakh Anzorov, dari keluarga pengungsi Chechnya.

Apakah langkah Indonesia, baik lewat pidato Presiden maupun cuitan Mahfud MD itu dapat dianggap mencampuri persoalan dalam negeri negara lain, dalam hal ini Prancis?

 

Piagam PBB

Pada tanggal 12 Juni 1941, perwakilan Inggris, Kanada, Australia, Selandia Baru, Afrika Selatan, dan perwakilan pemerintahan dalam pengasingan yang terdiri dari Belgia, Cekoslovakia,

Yunani, Luksemburg, Belanda, Norwegia, Polandia, dan Yugoslavia serta Prancis, bertemu di London dan menandatangani Deklarasi St. James’s Palace.

Deklarasi itu menyatakan komitmen bersama untuk terus berjuang dan meneguhkan prinsip-prinsip yang ditetapkan untuk menjadi dasar perdamaian di masa depan.

Deklarasi ini kemudian menjadi dasar Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Bab I dari Piagam PBB menjabarkan tujuan dan prinsip dari organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Prinsip-prinsip ini termasuk kesetaraan dan penentuan nasib sendiri suatu bangsa, penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan dasar,

dan kewajiban negara anggota untuk mematuhi Piagam, untuk bekerja sama dengan Dewan Keamanan PBB dan menggunakan cara damai dalam menyelesaikan konflik.

Sebagaimana tercantum dalam pasal-pasal selanjutnya, Piagam PBB berbicara tentang menghormati prinsip persamaan hak dan penentuan nasib sendiri masyarakat,

dan untuk mengambil tindakan lain yang sesuai untuk memperkuat perdamaian universal; pencegahan dan penghapusan ancaman terhadap perdamaian dan keadilan.

Tujuan dari semua itu adalah untuk mencapai kerja sama internasional dalam memecahkan masalah internasional yang bersifat ekonomi, sosial, budaya, atau kemanusiaan,

dan dalam mempromosikan dan mendorong penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan fundamental bagi semua tanpa membedakan ras, jenis kelamin, bahasa, atau agama.

Saat itu, dunia sedang dirundung oleh perang. Di Eropa beberapa negara memindahkan pemerintahannya ke Inggris Raya ketika negara mereka diduduki oleh Tentara Nazi, Jerman.

Sementara di Asia dan Afrika, hampir semua bangsa dalam kolonisasi bangsa-bangsa Eropa. Jadi, pertama-tama, Piagam PBB bicara tentang hak dan kedaulatan.

Yakni hak asasi manusia (HAM) dan hak untuk berdaulat menentukan nasib sendiri oleh suatu bangsa.

 

Hak dan Kedaulatan

Dilansir dari Ecyclopaedia Britannica (2015), kedaulatan berasal dari bahasa Prancis, yakni Souverainete yang artinya kekuasaan.

Salah satu pemikiran mengenai kedaulatan dikemukakan oleh Jean-Jacques Rousseau dalam Du Contrat Social Ou Principes Du Droit Politique

(Mengenai Kontrak Sosial atau Prinsip-Prinsip Hak Politik), yang membagi kedaulatan menjadi dua yaitu de facto dan de jure.

Menurut Kamus Filsafat (Simon Blackburn, 2013) kedaulatan adalah otoritas tertinggi yang tidak tunduk pada otoritas lainnya. Kata kedaulatan yang kita kenal, merujuk dari Bahasa Arab, daulah, artinya kekuasaan.

Dalam khasanah internasional, konsep kedaulatan terkait dengan pemerintahan yang memiliki kendali penuh urusan dalam negerinya sendiri dalam suatu batas teritorial, dan dalam konteks tertentu, yang memiliki yurisdiksi hukum sendiri.

Jadi kedaulatan bisa dimaknai sebagai kekuasaan tertinggi yang dimiliki atas wilayah yang ada dalam suatu negara, untuk mengatur segala hal yang ada dalam wilayah negara tanpa campur tangan negara lain.

Bahwa kedaulatan negara merupakan salah satu norma dasar dalam sistem hukum internasional.

Konsekuensinya, konsep tentang negara yang berdaulat sebagai kesatuan otoritas yang tidak tunduk pada pihak manapun menjadi

penyangga sistem tata hukum internasional yang menjunjung tinggi prinsip kesetaraan, non-intervensi dan kesepakatan (consent) negara.

Jika kita kembali ke sejarahnya, maka antara HAM dan Kedaulatan adalah dua hal yang tak terpisahkan. Namun, pada prakteknya, selama ini kedaulatan dimaknai secara sempit dan tertutup.

Pemahaman sempit tentang konsep kedaulatan negara menjadi kendala bagi solusi atas masalah kemanusiaan dan perlindungan hak-hak dasar warga negara.

Kembali menengok pada sejarah perang dunia dan kekerasan, serta kejahatan kemanusiaan lainnya, kedaulatan tidak bisa serta merta dipisahkan dari pertanggungjawaban internasional suatu negara.

Bahwa kedaulatan bersifat relasional dan terbuka, bukan konsep yang sempit dan tertutup, sehingga kedaulatan negara dalam pengertian yang absolut tidak dapat lagi dipertahankan dan tak menemukan akar sejarahnya.

Kedaulatan negara harus dimaknai sebagai tanggung jawab negara untuk melindungi, menghormati dan memenuhi hak-hak warganya, dan mempertanggungjawabkan mandatnya kepada masyarakat internasional.

Oleh karena itu, perlu dikembangkan wacana untuk merekonstruksi kedaulatan sebagai tanggungjawab (sovereignty as responsibility),

menempatkan negara sebagai agen dan manifestasi dari kedaulatan rakyat yang mengemban tugas dan mempertangungjawabkan mandatnya secara internal maupun secara eksternal.

Makna kedaulatan negara harus kembali ke semangat awal yang tercantum dalam Piagam PBB.

Salah satu alasan mengapa terjadi perubahan terhadap makna kedaulatan negara adalah perhatian terhadap masalah hak asasi manusia dalam beberapa dekade terakhir.

Merespon itu, berdirilah Mahkamah Pidana Internasional berdasar Statuta Roma yang memiliki kewenangan terhadap kejahatan luar biasa seperti genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan agresi.

Pendirian Mahkamah Pidana Internasional merupakan bagian terpenting dalam perlindungan hak asasi manusia.

Statuta Roma dinyatakan berlaku pada 1 Juli 2002 setelah 60 negara mendaftarkan ratifikasi Statuta Roma kepada Sekretaris Jenderal PBB.

Mahkamah Pidana Internasional memiliki yurisdiksi terhadap 4 (empat) kejahatan serius yaitu: The crime of genocide, Crimes against humanity, War crimes, dan the crime of aggression.

Keberadaan Mahkamah Pidana Internasional diharapkan untuk mengakhiri kekebalan (impunity) dari pelaku kejahatan kemanusiaan yang sulit dijerat melalui proses peradilan dalam negeri.

Meski dalam perjalanannya, Mahkamah Pidana Internasional tak terlalu dianggap efektif, setidaknya keberadaan Mahkamah ini hendak menegaskan kembali bahwa semangat dasar Piagam PBB tak memisahkan antara isu HAM dan Kedaulatan.

 

Diplomasi Indonesia

Istilah diplomacy diperkenalkan ke dalam bahasa Inggris oleh Edward Burke pada tahun 1796 berdasarkan sebuah kata dari bahasa Prancis yaitu diplomatie.

Diplomasi adalah seni dan praktik bernegosiasi oleh seseorang atau pihak yang mewakili sebuah negara atau organisasi.

Diplomasi terkait dengan pembicaraan di level internasional yang biasanya mengurus berbagai hal seperti budaya, ekonomi, dan perdagangan.

Dalam definisi yang lebih sederhana, diplomasi adalah praktek pelaksanaan politik luar negeri suatu negara melalui negosiasi.

Merujuk pada pidato Presiden Jokowi dan Menkopolhukam Mahfud MD yang mengecam keras Presiden Macron, maka dapat dimaknai bahwa Indonesia berhak

untuk memberikan pendapatnya mengenai kondisi dalam negeri suatu negara, ketika di negara tersebut ada masalah dalam pandangan Indonesia.

Yang Indonesia harapkan adalah respon Prancis mengenai masalah terkait, yakni kebebasan berekspresi versus keyakinan yang dianut agama tertentu.

Tentu kita tak berharap bahwa Prancis akan menanggapi Indonesia dengan argument ad hominem menyerang balik Indonesia dengan banyaknya kasus intoleransi keagamaan di Indonesia.

Dalam konteks seperti itu, maka menjadi wajar juga jika Vanuatu menanyakan kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua.

Sebagaimana kita ketahui, dalam diplomasinya, Silvany Austin Pasaribu, mewakili pemerintah Indonesia menggunakan banyak waktunya

untuk menyerang balik negara Vanuatu, bukan menjelaskan dan menjawab soal pelanggaran HAM yang ditanyakan pihak Vanuatu.

Artinya, dalam diplomasi, mempertanyakan dan mengecam keras negara lain menjadi hal biasa, dan sebaliknya, dipertanyakan dan dikecam keras oleh negara lain merupakan perbincangan diplomasi yang biasa.

Bukan berarti mencampuri rumah tangga dalam negeri. Indonesia merupakan anggota PBB yang paham tentang Piagam PBB,

sebagaimana di dalam negeri, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), bukan lagi masalah domestik, tapi sudah menjadi ranah publik.

Sebaiknya Indonesia menata ulang strategi berdiplomasinya, terutama memastikan bahwa Indonesia berhasil mengatasi maraknya intoleransi dan kasus-kasus

pelanggaran HAM sebelum mempertanyakan dan mengecam negara lain mengenai pelaksanaan kebebasan beragama di tempat mereka.

Kita tentu tidak ingin mengulang kekalahan diplomasi kita dalam konflik Indonesia dan Timor Leste (Timtim), yang menghasilkan dua (2) Nobel Perdamaian untuk pihak Timor Leste dan status pelanggar HAM untuk pejabat Indonesia.

 

Joaquim Rohi

Political Science, RUDN University, Moscow, Russia

PIDATO Presiden Jokowi mengecam Presiden Prancis Emmanuel Macron menuai pro dan kontra, yang sebagian datang dari kalangan pendukung setianya.

Ada dua besaran pendapat kontra terhadap presiden itu; bahwa Jokowi tak paham isi pidato dan konteks pernyataan Macron, dan bahwa banyak persoalan intoleransi atas nama agama di Indonesia terjadi di bawah pemerintahan Jokowi.

Sebelumnya, melalui akun Twitternya, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengaku telah mengundang Duta Besar Prancis untuk Indonesia dan menyampaikan kecamannya kepada Macron.

Kecaman itu terkait dengan pernyataan Emmanuel Macron dalam pidatonya pada upacara pemakaman Samuel Patty, guru sejarah yang dipenggal oleh muridnya sendiri, Abdullakh Anzorov, dari keluarga pengungsi Chechnya.

Apakah langkah Indonesia, baik lewat pidato Presiden maupun cuitan Mahfud MD itu dapat dianggap mencampuri persoalan dalam negeri negara lain, dalam hal ini Prancis?

 

Piagam PBB

Pada tanggal 12 Juni 1941, perwakilan Inggris, Kanada, Australia, Selandia Baru, Afrika Selatan, dan perwakilan pemerintahan dalam pengasingan yang terdiri dari Belgia, Cekoslovakia,

Yunani, Luksemburg, Belanda, Norwegia, Polandia, dan Yugoslavia serta Prancis, bertemu di London dan menandatangani Deklarasi St. James’s Palace.

Deklarasi itu menyatakan komitmen bersama untuk terus berjuang dan meneguhkan prinsip-prinsip yang ditetapkan untuk menjadi dasar perdamaian di masa depan.

Deklarasi ini kemudian menjadi dasar Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Bab I dari Piagam PBB menjabarkan tujuan dan prinsip dari organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Prinsip-prinsip ini termasuk kesetaraan dan penentuan nasib sendiri suatu bangsa, penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan dasar,

dan kewajiban negara anggota untuk mematuhi Piagam, untuk bekerja sama dengan Dewan Keamanan PBB dan menggunakan cara damai dalam menyelesaikan konflik.

Sebagaimana tercantum dalam pasal-pasal selanjutnya, Piagam PBB berbicara tentang menghormati prinsip persamaan hak dan penentuan nasib sendiri masyarakat,

dan untuk mengambil tindakan lain yang sesuai untuk memperkuat perdamaian universal; pencegahan dan penghapusan ancaman terhadap perdamaian dan keadilan.

Tujuan dari semua itu adalah untuk mencapai kerja sama internasional dalam memecahkan masalah internasional yang bersifat ekonomi, sosial, budaya, atau kemanusiaan,

dan dalam mempromosikan dan mendorong penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan fundamental bagi semua tanpa membedakan ras, jenis kelamin, bahasa, atau agama.

Saat itu, dunia sedang dirundung oleh perang. Di Eropa beberapa negara memindahkan pemerintahannya ke Inggris Raya ketika negara mereka diduduki oleh Tentara Nazi, Jerman.

Sementara di Asia dan Afrika, hampir semua bangsa dalam kolonisasi bangsa-bangsa Eropa. Jadi, pertama-tama, Piagam PBB bicara tentang hak dan kedaulatan.

Yakni hak asasi manusia (HAM) dan hak untuk berdaulat menentukan nasib sendiri oleh suatu bangsa.

 

Hak dan Kedaulatan

Dilansir dari Ecyclopaedia Britannica (2015), kedaulatan berasal dari bahasa Prancis, yakni Souverainete yang artinya kekuasaan.

Salah satu pemikiran mengenai kedaulatan dikemukakan oleh Jean-Jacques Rousseau dalam Du Contrat Social Ou Principes Du Droit Politique

(Mengenai Kontrak Sosial atau Prinsip-Prinsip Hak Politik), yang membagi kedaulatan menjadi dua yaitu de facto dan de jure.

Menurut Kamus Filsafat (Simon Blackburn, 2013) kedaulatan adalah otoritas tertinggi yang tidak tunduk pada otoritas lainnya. Kata kedaulatan yang kita kenal, merujuk dari Bahasa Arab, daulah, artinya kekuasaan.

Dalam khasanah internasional, konsep kedaulatan terkait dengan pemerintahan yang memiliki kendali penuh urusan dalam negerinya sendiri dalam suatu batas teritorial, dan dalam konteks tertentu, yang memiliki yurisdiksi hukum sendiri.

Jadi kedaulatan bisa dimaknai sebagai kekuasaan tertinggi yang dimiliki atas wilayah yang ada dalam suatu negara, untuk mengatur segala hal yang ada dalam wilayah negara tanpa campur tangan negara lain.

Bahwa kedaulatan negara merupakan salah satu norma dasar dalam sistem hukum internasional.

Konsekuensinya, konsep tentang negara yang berdaulat sebagai kesatuan otoritas yang tidak tunduk pada pihak manapun menjadi

penyangga sistem tata hukum internasional yang menjunjung tinggi prinsip kesetaraan, non-intervensi dan kesepakatan (consent) negara.

Jika kita kembali ke sejarahnya, maka antara HAM dan Kedaulatan adalah dua hal yang tak terpisahkan. Namun, pada prakteknya, selama ini kedaulatan dimaknai secara sempit dan tertutup.

Pemahaman sempit tentang konsep kedaulatan negara menjadi kendala bagi solusi atas masalah kemanusiaan dan perlindungan hak-hak dasar warga negara.

Kembali menengok pada sejarah perang dunia dan kekerasan, serta kejahatan kemanusiaan lainnya, kedaulatan tidak bisa serta merta dipisahkan dari pertanggungjawaban internasional suatu negara.

Bahwa kedaulatan bersifat relasional dan terbuka, bukan konsep yang sempit dan tertutup, sehingga kedaulatan negara dalam pengertian yang absolut tidak dapat lagi dipertahankan dan tak menemukan akar sejarahnya.

Kedaulatan negara harus dimaknai sebagai tanggung jawab negara untuk melindungi, menghormati dan memenuhi hak-hak warganya, dan mempertanggungjawabkan mandatnya kepada masyarakat internasional.

Oleh karena itu, perlu dikembangkan wacana untuk merekonstruksi kedaulatan sebagai tanggungjawab (sovereignty as responsibility),

menempatkan negara sebagai agen dan manifestasi dari kedaulatan rakyat yang mengemban tugas dan mempertangungjawabkan mandatnya secara internal maupun secara eksternal.

Makna kedaulatan negara harus kembali ke semangat awal yang tercantum dalam Piagam PBB.

Salah satu alasan mengapa terjadi perubahan terhadap makna kedaulatan negara adalah perhatian terhadap masalah hak asasi manusia dalam beberapa dekade terakhir.

Merespon itu, berdirilah Mahkamah Pidana Internasional berdasar Statuta Roma yang memiliki kewenangan terhadap kejahatan luar biasa seperti genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan agresi.

Pendirian Mahkamah Pidana Internasional merupakan bagian terpenting dalam perlindungan hak asasi manusia.

Statuta Roma dinyatakan berlaku pada 1 Juli 2002 setelah 60 negara mendaftarkan ratifikasi Statuta Roma kepada Sekretaris Jenderal PBB.

Mahkamah Pidana Internasional memiliki yurisdiksi terhadap 4 (empat) kejahatan serius yaitu: The crime of genocide, Crimes against humanity, War crimes, dan the crime of aggression.

Keberadaan Mahkamah Pidana Internasional diharapkan untuk mengakhiri kekebalan (impunity) dari pelaku kejahatan kemanusiaan yang sulit dijerat melalui proses peradilan dalam negeri.

Meski dalam perjalanannya, Mahkamah Pidana Internasional tak terlalu dianggap efektif, setidaknya keberadaan Mahkamah ini hendak menegaskan kembali bahwa semangat dasar Piagam PBB tak memisahkan antara isu HAM dan Kedaulatan.

 

Diplomasi Indonesia

Istilah diplomacy diperkenalkan ke dalam bahasa Inggris oleh Edward Burke pada tahun 1796 berdasarkan sebuah kata dari bahasa Prancis yaitu diplomatie.

Diplomasi adalah seni dan praktik bernegosiasi oleh seseorang atau pihak yang mewakili sebuah negara atau organisasi.

Diplomasi terkait dengan pembicaraan di level internasional yang biasanya mengurus berbagai hal seperti budaya, ekonomi, dan perdagangan.

Dalam definisi yang lebih sederhana, diplomasi adalah praktek pelaksanaan politik luar negeri suatu negara melalui negosiasi.

Merujuk pada pidato Presiden Jokowi dan Menkopolhukam Mahfud MD yang mengecam keras Presiden Macron, maka dapat dimaknai bahwa Indonesia berhak

untuk memberikan pendapatnya mengenai kondisi dalam negeri suatu negara, ketika di negara tersebut ada masalah dalam pandangan Indonesia.

Yang Indonesia harapkan adalah respon Prancis mengenai masalah terkait, yakni kebebasan berekspresi versus keyakinan yang dianut agama tertentu.

Tentu kita tak berharap bahwa Prancis akan menanggapi Indonesia dengan argument ad hominem menyerang balik Indonesia dengan banyaknya kasus intoleransi keagamaan di Indonesia.

Dalam konteks seperti itu, maka menjadi wajar juga jika Vanuatu menanyakan kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua.

Sebagaimana kita ketahui, dalam diplomasinya, Silvany Austin Pasaribu, mewakili pemerintah Indonesia menggunakan banyak waktunya

untuk menyerang balik negara Vanuatu, bukan menjelaskan dan menjawab soal pelanggaran HAM yang ditanyakan pihak Vanuatu.

Artinya, dalam diplomasi, mempertanyakan dan mengecam keras negara lain menjadi hal biasa, dan sebaliknya, dipertanyakan dan dikecam keras oleh negara lain merupakan perbincangan diplomasi yang biasa.

Bukan berarti mencampuri rumah tangga dalam negeri. Indonesia merupakan anggota PBB yang paham tentang Piagam PBB,

sebagaimana di dalam negeri, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), bukan lagi masalah domestik, tapi sudah menjadi ranah publik.

Sebaiknya Indonesia menata ulang strategi berdiplomasinya, terutama memastikan bahwa Indonesia berhasil mengatasi maraknya intoleransi dan kasus-kasus

pelanggaran HAM sebelum mempertanyakan dan mengecam negara lain mengenai pelaksanaan kebebasan beragama di tempat mereka.

Kita tentu tidak ingin mengulang kekalahan diplomasi kita dalam konflik Indonesia dan Timor Leste (Timtim), yang menghasilkan dua (2) Nobel Perdamaian untuk pihak Timor Leste dan status pelanggar HAM untuk pejabat Indonesia.

 

Joaquim Rohi

Political Science, RUDN University, Moscow, Russia

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/