24 C
Jakarta
13 September 2024, 0:36 AM WIB

Kasus Riau Satu

Kalau saja tidak ada unsur korupsinya. Kalau saja niatnya tulus. Saya harus angkat topi. Skema PLTU Riau-1 itu sangat bagus. Baguuuuuuus.

Semua pihak diuntungkan. BUMN/PLN diuntungkan: punya saham mayoritas (51 persen) hanya dengan setor uang kontan 10 persen.

Negara diuntungkan: mendapat sumber listrik murah. Hanya 5,6 cent dolar/kWh (Bandingkan solar cell sekitar 12 cent dolar).

Pengusaha diuntungkan: dapat proyek. Lebih diuntungkan lagi: tambang Batu baranya di Peranap (Riau) laku.

Simaklah uraiannya berikut ini. Sedikit agak teknis. Jangan dibaca di saat lapar puasa mencapai puncaknya.

Pertama: soal saham.

Saya awalnya ragu. Mana ada pengusaha swasta yang mau minoritas (49 persen) tapi harus setor 90 persen. Mana ada perusahaan swasta yang berpartner dengan anak PLN yang partnernya itu hanya setor 10 persen. Mana ada bank yang mau memberikan pinjaman dengan skema saham seperti itu.

Ternyata ada. Contohnya PT Samantaka. Anak perusahaan Black Gold. Milik Johannes Kotjo dan Setya Novanto itu.

Tentu Samantaka hanya setor 49 persen. Sesuai porsinya. Lalu Samantaka harus meminjami anak perusahaan PJB (PJB anak perusahaan PLN) sebesar 41 persen. Betul. Itu bukan setoran. Itu pinjaman. Disebut pinjaman modal dari pemegang saham. Shareholder loan.

Yang saya harus salut pada Dirut PLN Pak Sofyan Basyir adalah: pinjaman itu bunganya hanya 4,125 persen. Dalam dolar. Murah sekali. Bunga komersial saat ini sekitar 6-8 persen.

Sampai di sini kepintaran Pak Sofyan ada dua: bisa dapat saham mayoritas dan bisa dapat pinjaman modal dari partner dengan bunga murah.

Besarnya bunga itu sesuai dengan bunga obligasi yang diperoleh PLN dari pasar uang global. Global bond.

Mengapa Samantaka mau?

Skema berikut ini yang semula otak saya tidak sampai. Otak saya terlatih untuk berpikir sederhana. Tidak mau ruwet-ruwet. Tapi sebenarnya ini juga tidak ruwet. Ini sangat biasa terjadi di pasar uang. Biasa sekali.

Semua ini karena Samantaka memiliki tambang batu bara. Lokasinya di Peranap. Semua pelaku batu bara tahu: di Riau tidak ada batu bara yang bagus. Tidak seperti di Kalimantan atau Sumsel.

Batu bara di Riau kalorinya rendah. Sekitar 3.000 kalori. Tingkat abunya juga tinggi. Dan kadar airnya luar biasa.

Tambang batu bara seperti ini sulit dipasarkan. Di tambang sendiri biaya tambangnya mahal. Harga jual batu baranya murah.

Hanya jagoan sekelas Johannes Kotjo yang bisa melihat lubang seperti ini. Atau jagoan sekelas Setya Novanto. Bayangkan: dua jagoan itu berkumpul di Samantaka. Kalau dua jenis manusia seperti itu kawin pastilah bisa lahir ide seruwet apa pun.

Samantaka mengajukan izin. Agar ditunjuk oleh Dirut PLN untuk membangun PLTU di mulut tambang itu.

Menurut aturan, PLN hanya boleh menunjuk anak perusahaannya sendiri. Tidak boleh menunjuk swasta. Kalau swasta mau ikut harus lewat tender.

Keluar ide: Samantaka bergabung ke cucu perusahaan PLN. Sebagai minoritas (49 persen). Cucu perusahaan PLN itulah yang ditunjuk langsung untuk membangun PLTU. Dengan perjanjian PLN akan membeli listriknya. Selama 30 tahun. Dengan harga 5,6 cent dolar tadi.

Syaratnya: Samantaka harus meminjami cucu perusahaan PLN sebesar 49 persen dari modal. Dengan demikian si cucu hanya setor 10 persen dapat saham 51 persen.

Cucu PLN tidak punya uang kalau harus setor 51 persen. Untuk setor 51 persen diperlukan uang sekitar Rp 1,2 triliun.

Dari hitungan itu berarti Samantaka ini uangnya luar biasa banyak. Untuk setorannya sendiri (49 persen) kira-kira Rp 1,2 triliun. Untuk meminjami cucu PLN kira-kira Rp 1 triliun.

Dari mana dapat uang sebanyak itu? Harus kontan pula?

Lahirlah ide hebat berikutnya:

Samantaka diakui sebagai anak perusahaan Black Gold. Yang statusnya perusahaan publik di Singapura.

Dengan status seperti itu maka bila surat penunjukan PLN ditandatangani harga saham Black Gold akan melonjak. Apalagi kalau perjanjian jual beli listrik (PPA)-nya juga sudah ditandatangani.

Dua-duanya sudah ditanda tangani.

Dengan dua surat itu nilai tambang yang sulit mau diapakan tadi menjadi black gold. Batu baranya langsung laku selama 30 tahun. 

Harga sahamnya langsung melejit. Mestinya. Nilai kenaikan harga saham Black Gold di pasar modal Singapura itu sudah cukup untuk menutup yang triliun-triliun tadi.

Belum lagi harga saham yang sudah tinggi itu masih bisa dijaminkan ke bank. Untuk kredit jenis ini perusahaan bisa mendapat fasilitas bunga murah di Singapura. Hanya sekitar 2 persen. Kalau sebagian uang pinjaman itu dipinjamkan ke cucu PLN dengan bunga 4,125 persen masih dapat untung lagi dari selisih bunga itu.

Semua itu bagus. Pintar. Hebat. Tidak ada yang melanggar hukum. Menguntungkan semua pihak.

Kalau lancar.

Kalau tidak terjadi apa-apa.

Kalau tidak ada niat buruk di baliknya. 

Kalau tidak ada bukti sosok-menyogok.

Kalau Tuhan merestui. 

Tapi ada KPK.(Dahlan Iskan)

Kalau saja tidak ada unsur korupsinya. Kalau saja niatnya tulus. Saya harus angkat topi. Skema PLTU Riau-1 itu sangat bagus. Baguuuuuuus.

Semua pihak diuntungkan. BUMN/PLN diuntungkan: punya saham mayoritas (51 persen) hanya dengan setor uang kontan 10 persen.

Negara diuntungkan: mendapat sumber listrik murah. Hanya 5,6 cent dolar/kWh (Bandingkan solar cell sekitar 12 cent dolar).

Pengusaha diuntungkan: dapat proyek. Lebih diuntungkan lagi: tambang Batu baranya di Peranap (Riau) laku.

Simaklah uraiannya berikut ini. Sedikit agak teknis. Jangan dibaca di saat lapar puasa mencapai puncaknya.

Pertama: soal saham.

Saya awalnya ragu. Mana ada pengusaha swasta yang mau minoritas (49 persen) tapi harus setor 90 persen. Mana ada perusahaan swasta yang berpartner dengan anak PLN yang partnernya itu hanya setor 10 persen. Mana ada bank yang mau memberikan pinjaman dengan skema saham seperti itu.

Ternyata ada. Contohnya PT Samantaka. Anak perusahaan Black Gold. Milik Johannes Kotjo dan Setya Novanto itu.

Tentu Samantaka hanya setor 49 persen. Sesuai porsinya. Lalu Samantaka harus meminjami anak perusahaan PJB (PJB anak perusahaan PLN) sebesar 41 persen. Betul. Itu bukan setoran. Itu pinjaman. Disebut pinjaman modal dari pemegang saham. Shareholder loan.

Yang saya harus salut pada Dirut PLN Pak Sofyan Basyir adalah: pinjaman itu bunganya hanya 4,125 persen. Dalam dolar. Murah sekali. Bunga komersial saat ini sekitar 6-8 persen.

Sampai di sini kepintaran Pak Sofyan ada dua: bisa dapat saham mayoritas dan bisa dapat pinjaman modal dari partner dengan bunga murah.

Besarnya bunga itu sesuai dengan bunga obligasi yang diperoleh PLN dari pasar uang global. Global bond.

Mengapa Samantaka mau?

Skema berikut ini yang semula otak saya tidak sampai. Otak saya terlatih untuk berpikir sederhana. Tidak mau ruwet-ruwet. Tapi sebenarnya ini juga tidak ruwet. Ini sangat biasa terjadi di pasar uang. Biasa sekali.

Semua ini karena Samantaka memiliki tambang batu bara. Lokasinya di Peranap. Semua pelaku batu bara tahu: di Riau tidak ada batu bara yang bagus. Tidak seperti di Kalimantan atau Sumsel.

Batu bara di Riau kalorinya rendah. Sekitar 3.000 kalori. Tingkat abunya juga tinggi. Dan kadar airnya luar biasa.

Tambang batu bara seperti ini sulit dipasarkan. Di tambang sendiri biaya tambangnya mahal. Harga jual batu baranya murah.

Hanya jagoan sekelas Johannes Kotjo yang bisa melihat lubang seperti ini. Atau jagoan sekelas Setya Novanto. Bayangkan: dua jagoan itu berkumpul di Samantaka. Kalau dua jenis manusia seperti itu kawin pastilah bisa lahir ide seruwet apa pun.

Samantaka mengajukan izin. Agar ditunjuk oleh Dirut PLN untuk membangun PLTU di mulut tambang itu.

Menurut aturan, PLN hanya boleh menunjuk anak perusahaannya sendiri. Tidak boleh menunjuk swasta. Kalau swasta mau ikut harus lewat tender.

Keluar ide: Samantaka bergabung ke cucu perusahaan PLN. Sebagai minoritas (49 persen). Cucu perusahaan PLN itulah yang ditunjuk langsung untuk membangun PLTU. Dengan perjanjian PLN akan membeli listriknya. Selama 30 tahun. Dengan harga 5,6 cent dolar tadi.

Syaratnya: Samantaka harus meminjami cucu perusahaan PLN sebesar 49 persen dari modal. Dengan demikian si cucu hanya setor 10 persen dapat saham 51 persen.

Cucu PLN tidak punya uang kalau harus setor 51 persen. Untuk setor 51 persen diperlukan uang sekitar Rp 1,2 triliun.

Dari hitungan itu berarti Samantaka ini uangnya luar biasa banyak. Untuk setorannya sendiri (49 persen) kira-kira Rp 1,2 triliun. Untuk meminjami cucu PLN kira-kira Rp 1 triliun.

Dari mana dapat uang sebanyak itu? Harus kontan pula?

Lahirlah ide hebat berikutnya:

Samantaka diakui sebagai anak perusahaan Black Gold. Yang statusnya perusahaan publik di Singapura.

Dengan status seperti itu maka bila surat penunjukan PLN ditandatangani harga saham Black Gold akan melonjak. Apalagi kalau perjanjian jual beli listrik (PPA)-nya juga sudah ditandatangani.

Dua-duanya sudah ditanda tangani.

Dengan dua surat itu nilai tambang yang sulit mau diapakan tadi menjadi black gold. Batu baranya langsung laku selama 30 tahun. 

Harga sahamnya langsung melejit. Mestinya. Nilai kenaikan harga saham Black Gold di pasar modal Singapura itu sudah cukup untuk menutup yang triliun-triliun tadi.

Belum lagi harga saham yang sudah tinggi itu masih bisa dijaminkan ke bank. Untuk kredit jenis ini perusahaan bisa mendapat fasilitas bunga murah di Singapura. Hanya sekitar 2 persen. Kalau sebagian uang pinjaman itu dipinjamkan ke cucu PLN dengan bunga 4,125 persen masih dapat untung lagi dari selisih bunga itu.

Semua itu bagus. Pintar. Hebat. Tidak ada yang melanggar hukum. Menguntungkan semua pihak.

Kalau lancar.

Kalau tidak terjadi apa-apa.

Kalau tidak ada niat buruk di baliknya. 

Kalau tidak ada bukti sosok-menyogok.

Kalau Tuhan merestui. 

Tapi ada KPK.(Dahlan Iskan)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/