27.2 C
Jakarta
23 November 2024, 2:20 AM WIB

Pensiun dari Kapal Pesiar, Stres Berat saat Karantina, Nyaman Bertani

Bertani barangkali kerap dipandang sebelah mata. Karena tak mendatangkan imbal hasil yang menggiurkan. Namun, sektor ini terbukti tahan banting saat resesi ekonomi mengintai.

Seorang pekerja kapal pesiar di Desa Bukti, kini memilih pensiun. Kembali ke desa. Lalu memutuskan fokus menjadi petani.

 

 

EKA PRASETYA, Singaraja 

PERKEBUNAN kelapa itu terlihat begitu rimbun. Selain kelapa, di atas lahan seluas 50 are itu terlihat berbagai tanaman. Mulai dari mangga, jagung, serta kacang merah.

Selain itu ada ratusan pohon pisang yang baru ditanam sekitar dua bulan terakhir. Suasanananya benar-benar teduh.

Kebun itu merupakan milik Made Ngardi, 52, warga Banjar Dinas Sanih, Desa Bukti, Kecamatan Kubutambahan.

Ngardi merupakan mantan pekerja migran. Setelah perusahaannya limbung diterpa pandemi, ia memilih pensiun. Bertani kini menjadi pilihan setelah pensiun.

Ngardi merupakan salah seorang pekerja migran yang terdampak pandemi. Ia merupakan orang pertama di Desa Bukti yang bekerja di kapal pesiar.

Pada tahun 1994 ia langsung bergabung dengan Carnival Cruise Line. Ketika itu orang masih menganggap bekerja di kapal pesiar, tak memberikan penghasilan yang layak.

Selama puluhan tahun ia bekerja di perusahaan yang sama. Posisi terakhirnya adalah Asisten Manajer pada divisi restoran. Masa manis pahit bekerja di kapal pesiar pun sudah ia rasakan.

Mulai dari penghasilan yang pas-pasan, hingga masa kejayaan pekerja kapal pesiar. Masa jaya itu berlangsung mulai dari krisis moneter 1997 hingga terjadinya tragedi aksi teroris di World Trade Centre (WTC) Amerika Serikat, pada 2001.

Saat pandemi terjadi, sektor pariwisata pun limbung. Para pekerja di sektor pariwisata, utamanya kapal pesiar, dipulangkan ke tanah air.

Termasuk Ngardi. Ia datang bersamaan dengan gelombang pekerja migran yang kembali ke tanah air. Ngardi sampai di tanah air pada 10 April silam.

Ia langsung memutuskan melakukan karantina mandiri di rumah penduduk yang ia sewa. Masa karantinanya berakhir pada 25 April lalu.

Masa-masa karantina itu bisa dibilang salah satu fase terberat yang ia hadapi. Ngardi mengaku mengalami depresi.

Kehilangan pekerjaan, stigma negatif terhadap pekerja migran yang begitu kencang, ditambah lagi tak bisa langsung bertemu dengan keluarga, membuat ia terpuruk.

“Selama karantina itu sudah seperti orang gila saya. Keluarga datang, hanya bisa bicara dari jarak jauh. Saya di halaman rumah, istri saya di seberang jalan.

Rasanya benar-benar seperti tahanan. Jadi selama karantina itu saya teriak-teriak tidak jelas, sering marah-marah. Sudah gila saya,” kenangnya.

Begitu masa karantina berakhir ia langsung pergi ke kebun miliknya. Menyendiri, sekaligus mencari udara segar. Stigma negatif terhadap pekerja migran, membuat ia merasa tersisih.

Pada saat yang berdekatan, muncul istilah Orang Tanpa Gejala (OTG) dan super spreader. Istilah itu merujuk pada kasus terkonfirmasi positif yang tak menunjukkan gejala klinis, dan bisa menyebarkan virus covid-19 dalam waktu cepat.

Ia pun memilih larut di kebun. Mengabaikan suara sumbang di sekitarnya. Menggarap lahan perkebunan, hasil tabungan selama bekerja sebagai pekerja migran.

Pendapatannya sebagai pekerja kapal pesiar, sengaja ia tabung dalam bentuk aset. Sehingga dapat dirasakan keluarganya. Ngardi pun mengaplikasikan kembali ilmu bertani yang dipelajari dari orang tuanya secara otodidak.

Kebun yang tadinya hanya berisi pohon kelapa, mulai diolah dengan sistem tumpang sari. Berbagai tumbuhan ia tanam.

Mulai dari bayam, kangkung cabut, jagung, kacang merah, buncis, mentimun, kacang komak, serta undis. Baru-baru ini ia juga menanam 300 pohon pisang di atas lahan tersebut.

Lahan yang tadinya dikelola dengan pola tadah hujan, mulai digarap dengan baik. Sebuah generator dibeli untuk menggerakkan air dari pompa.

Pada awal-awal penggarapan, ia menyiram dua pekan sekali. Kini setiap tiga hari ia selalu menyempatkan diri menyiram tumbuhan di lahannya.

Dalam sebulan setidaknya ia harus mengeluarkan biaya sebanyak Rp 300 ribu untuk menyiram serta memberikan pupuk di lahannya.

Hanya saja lahan itu masih dikelola dengan pupuk kimia. Ngardi mengaku masih belajar pola pemberian pupuk organik di lahan tersebut, dengan cara meminta pendampingan dari Kelompok Tani Ternak (KTT) Kerthi Winangun Desa Bukti.

Upaya itu mulai menunjukkan hasil positif. Untuk tanaman kelapa, misalnya. Tadinya ia baru melakukan panen kelapa setiap 115 hari sekali.

Dalam sekali panen ia mendapatkan tak kurang dari 1.500 butir kelapa. Kini setelah melakukan proses penyiraman dan pemupukan, kelapa sudah dapat dipanen dalam waktu 65 hari.

Setiap butir kelapa dihargai Rp 4.800. Pada panen terakhir bulan lalu, ia berhasil memanen 1.060 butir kelapa.

“Itu sudah cukup untuk beli bensin mesin air, cukup untuk makan di rumah, beli kebutuhan dapur juga cukup. Sayur juga ada di kebun, banyak.

Tinggal petik saja. Saya merasa nyaman dengan apa yang saya lakukan sekarang ini. Apalagi jadi petani, tidak terikat jam kerja. Sudah capek saya kerja terikat seperti itu,” tuturnya.

Kini ia tinggal menanti hasil panen pohon pisang. Diperkirakan pisang-pisang yang ia tanam sudah bisa panen pada akhir Desember nanti.

Apabila sistem tumpang sari itu berhasil, rencananya ia akan melakukan ekspansi lebih besar lagi. Sebab ia masih memiliki 2 bidang lahan lagi. Masing-masing seluas 2 hektare dan 70 are.

Ketua KTT Kerthi Winangun Desa Bukti, I Made Suparta mengungkapkan, pihaknya memang mendorong masyarakat kembali mengolah lahan pertanian.

Sebab selama ini masih banyak lahan pertanian yang belum dikelola dengan maksimal. Kebanyakan lahan pertanian dikelola dengan pola monokultur. Padahal bisa diaplikasikan dengan sistem tumpang sari.

“Jadi sekali menyiram itu air tidak terbuang sia-sia untuk satu tanaman saja. Apalagi di bawahnya kan masih banyak tanah yang bisa dioptimalkan.

Bisa tanam sayuran, cabai, pisang, jagung, atau papaya. Apalagi kan proses pemeliharaannya tidak terlalu sulit,” kata Suparta.

Khusus untuk proses penyiraman, Supartha menyebut saat ini ada teknologi sprinkle atau penyiraman sembur.

Dengan pola ini, petani bisa lebih efisien dalam memanfaatkan waktu dan tenaga untuk proses penyiraman. Hanya saja, teknologi ini relatif mahal bagi petani skala kecil.

“Kami sih berharap Dinas Pertanian bisa membantu pembuatan embung. Karena saat musim hujan bisa digunakan untuk menampung air.

Kalau masuk musim kemarau, perhitungan kami, paling tidak air di embung itu bisa aman untuk 3 bulan,” demikian Suparta. (*)

 

Bertani barangkali kerap dipandang sebelah mata. Karena tak mendatangkan imbal hasil yang menggiurkan. Namun, sektor ini terbukti tahan banting saat resesi ekonomi mengintai.

Seorang pekerja kapal pesiar di Desa Bukti, kini memilih pensiun. Kembali ke desa. Lalu memutuskan fokus menjadi petani.

 

 

EKA PRASETYA, Singaraja 

PERKEBUNAN kelapa itu terlihat begitu rimbun. Selain kelapa, di atas lahan seluas 50 are itu terlihat berbagai tanaman. Mulai dari mangga, jagung, serta kacang merah.

Selain itu ada ratusan pohon pisang yang baru ditanam sekitar dua bulan terakhir. Suasanananya benar-benar teduh.

Kebun itu merupakan milik Made Ngardi, 52, warga Banjar Dinas Sanih, Desa Bukti, Kecamatan Kubutambahan.

Ngardi merupakan mantan pekerja migran. Setelah perusahaannya limbung diterpa pandemi, ia memilih pensiun. Bertani kini menjadi pilihan setelah pensiun.

Ngardi merupakan salah seorang pekerja migran yang terdampak pandemi. Ia merupakan orang pertama di Desa Bukti yang bekerja di kapal pesiar.

Pada tahun 1994 ia langsung bergabung dengan Carnival Cruise Line. Ketika itu orang masih menganggap bekerja di kapal pesiar, tak memberikan penghasilan yang layak.

Selama puluhan tahun ia bekerja di perusahaan yang sama. Posisi terakhirnya adalah Asisten Manajer pada divisi restoran. Masa manis pahit bekerja di kapal pesiar pun sudah ia rasakan.

Mulai dari penghasilan yang pas-pasan, hingga masa kejayaan pekerja kapal pesiar. Masa jaya itu berlangsung mulai dari krisis moneter 1997 hingga terjadinya tragedi aksi teroris di World Trade Centre (WTC) Amerika Serikat, pada 2001.

Saat pandemi terjadi, sektor pariwisata pun limbung. Para pekerja di sektor pariwisata, utamanya kapal pesiar, dipulangkan ke tanah air.

Termasuk Ngardi. Ia datang bersamaan dengan gelombang pekerja migran yang kembali ke tanah air. Ngardi sampai di tanah air pada 10 April silam.

Ia langsung memutuskan melakukan karantina mandiri di rumah penduduk yang ia sewa. Masa karantinanya berakhir pada 25 April lalu.

Masa-masa karantina itu bisa dibilang salah satu fase terberat yang ia hadapi. Ngardi mengaku mengalami depresi.

Kehilangan pekerjaan, stigma negatif terhadap pekerja migran yang begitu kencang, ditambah lagi tak bisa langsung bertemu dengan keluarga, membuat ia terpuruk.

“Selama karantina itu sudah seperti orang gila saya. Keluarga datang, hanya bisa bicara dari jarak jauh. Saya di halaman rumah, istri saya di seberang jalan.

Rasanya benar-benar seperti tahanan. Jadi selama karantina itu saya teriak-teriak tidak jelas, sering marah-marah. Sudah gila saya,” kenangnya.

Begitu masa karantina berakhir ia langsung pergi ke kebun miliknya. Menyendiri, sekaligus mencari udara segar. Stigma negatif terhadap pekerja migran, membuat ia merasa tersisih.

Pada saat yang berdekatan, muncul istilah Orang Tanpa Gejala (OTG) dan super spreader. Istilah itu merujuk pada kasus terkonfirmasi positif yang tak menunjukkan gejala klinis, dan bisa menyebarkan virus covid-19 dalam waktu cepat.

Ia pun memilih larut di kebun. Mengabaikan suara sumbang di sekitarnya. Menggarap lahan perkebunan, hasil tabungan selama bekerja sebagai pekerja migran.

Pendapatannya sebagai pekerja kapal pesiar, sengaja ia tabung dalam bentuk aset. Sehingga dapat dirasakan keluarganya. Ngardi pun mengaplikasikan kembali ilmu bertani yang dipelajari dari orang tuanya secara otodidak.

Kebun yang tadinya hanya berisi pohon kelapa, mulai diolah dengan sistem tumpang sari. Berbagai tumbuhan ia tanam.

Mulai dari bayam, kangkung cabut, jagung, kacang merah, buncis, mentimun, kacang komak, serta undis. Baru-baru ini ia juga menanam 300 pohon pisang di atas lahan tersebut.

Lahan yang tadinya dikelola dengan pola tadah hujan, mulai digarap dengan baik. Sebuah generator dibeli untuk menggerakkan air dari pompa.

Pada awal-awal penggarapan, ia menyiram dua pekan sekali. Kini setiap tiga hari ia selalu menyempatkan diri menyiram tumbuhan di lahannya.

Dalam sebulan setidaknya ia harus mengeluarkan biaya sebanyak Rp 300 ribu untuk menyiram serta memberikan pupuk di lahannya.

Hanya saja lahan itu masih dikelola dengan pupuk kimia. Ngardi mengaku masih belajar pola pemberian pupuk organik di lahan tersebut, dengan cara meminta pendampingan dari Kelompok Tani Ternak (KTT) Kerthi Winangun Desa Bukti.

Upaya itu mulai menunjukkan hasil positif. Untuk tanaman kelapa, misalnya. Tadinya ia baru melakukan panen kelapa setiap 115 hari sekali.

Dalam sekali panen ia mendapatkan tak kurang dari 1.500 butir kelapa. Kini setelah melakukan proses penyiraman dan pemupukan, kelapa sudah dapat dipanen dalam waktu 65 hari.

Setiap butir kelapa dihargai Rp 4.800. Pada panen terakhir bulan lalu, ia berhasil memanen 1.060 butir kelapa.

“Itu sudah cukup untuk beli bensin mesin air, cukup untuk makan di rumah, beli kebutuhan dapur juga cukup. Sayur juga ada di kebun, banyak.

Tinggal petik saja. Saya merasa nyaman dengan apa yang saya lakukan sekarang ini. Apalagi jadi petani, tidak terikat jam kerja. Sudah capek saya kerja terikat seperti itu,” tuturnya.

Kini ia tinggal menanti hasil panen pohon pisang. Diperkirakan pisang-pisang yang ia tanam sudah bisa panen pada akhir Desember nanti.

Apabila sistem tumpang sari itu berhasil, rencananya ia akan melakukan ekspansi lebih besar lagi. Sebab ia masih memiliki 2 bidang lahan lagi. Masing-masing seluas 2 hektare dan 70 are.

Ketua KTT Kerthi Winangun Desa Bukti, I Made Suparta mengungkapkan, pihaknya memang mendorong masyarakat kembali mengolah lahan pertanian.

Sebab selama ini masih banyak lahan pertanian yang belum dikelola dengan maksimal. Kebanyakan lahan pertanian dikelola dengan pola monokultur. Padahal bisa diaplikasikan dengan sistem tumpang sari.

“Jadi sekali menyiram itu air tidak terbuang sia-sia untuk satu tanaman saja. Apalagi di bawahnya kan masih banyak tanah yang bisa dioptimalkan.

Bisa tanam sayuran, cabai, pisang, jagung, atau papaya. Apalagi kan proses pemeliharaannya tidak terlalu sulit,” kata Suparta.

Khusus untuk proses penyiraman, Supartha menyebut saat ini ada teknologi sprinkle atau penyiraman sembur.

Dengan pola ini, petani bisa lebih efisien dalam memanfaatkan waktu dan tenaga untuk proses penyiraman. Hanya saja, teknologi ini relatif mahal bagi petani skala kecil.

“Kami sih berharap Dinas Pertanian bisa membantu pembuatan embung. Karena saat musim hujan bisa digunakan untuk menampung air.

Kalau masuk musim kemarau, perhitungan kami, paling tidak air di embung itu bisa aman untuk 3 bulan,” demikian Suparta. (*)

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/