Oleh: Dahlan Iskan
Seorang santri berkata pada saya. Dengan penuh sopannya. Dengan suara yang lirih: minta nasehat. Tentang apa yang harus ia lakukan. Setelah tamat dari pondok pesantren nanti.
Hari itu, Rabu lalu, ia ditugaskan menjemput saya. Di bandara Banyuwangi. Untuk ke Sukorejo. Ke pondok bintang sembilan Salafiyah. Yang Santrinya 17.000. Yang telaknya di timur Situbondo. Yang didirikan kyai terkemuka almaghfiroh KH As’ad Syamsul Arifin.
Pondok itu memiliki juga sekolah formal. Sampai tingkat universitas. Namanya: Universitas Ibrahimy. Ke universitas itulah saya datang. Diundang oleh mahasiswanya. Yang tergabung dalam Lembaga Pers Mahasiswa Universitas Ibrahimy.
Yang minta nasehat tadi bernama Ahmad Zaki. Kuliah di jurusan informatika. Semester tujuh.
Sebagai orang yang pernah nyantri saya masih ingat: gaya permintaan nasehat seperti itu adalah ‘kata lain’ dari keinginannya untuk berekspresi. Santri yang bicara seperti itu pada dasarnya tidak benar-benar minta nasehat. Hanya ingin mendapat kesempatan berbicara. Tapi santri selalu merasa tidak sopan kalau langsung bicara. Santri tidak dibiasakan ini: mengekspresikan apa yang ingin ia katakan sesungguhnya. Itu tidak tawaduk.
Maka saya pun tidak langsung memberi nasehat. Saya justru bertanya pada Zaki. Banyak sekali pertanyaan. Mulai dari latar belakang keluarganya. Sampai kuliahnya.
Kemudian, saya mengajukan pertanyaan ini: Anda sendiri kelak ingin melakukan apa?
“Saya sedang belajar menjalankan bisnis pak,” katanya.
Nah, ya kan? Zaki kelihatannya ingin mengekspresikan ini: bahwa ia sudah berani berbisnis. Sambil kuliah. Ia tahu saya baru saja mendapat penghargaan: Santri of the Year. Di kategori inspirasi bisnis. Di Hari Santri yang lalu. Ia juga ingin jadi santri yang berbisnis.
“Boleh tahu bisnis apa,” tanya saya.
“Percetakan,” jawabnya.
“Sudah berapa lama.”
“Dua tahun.”
Saya kaget. Tidak saya tunjukkan kekagetan saya itu. Dalam hati saya ragu: kok Zaki ini kuno banget? Bukankah bisnis percetakan itu suram? Kalah dengan digital?
Saya pun bertanya: punya mesin cetak apa saja?
Yang hidup di benak saya adalah percetakan yang pernah saya kenal. Yang pernah saya masuki. Dengan mesin-mesin cetak seperti itu. Yang belepotan tinta.
Zaki kelihatan bingung menjawab pertanyaan saya. Ia seperti tidak paham: mengapa saya bertanya seperti itu.
Jawaban Zaki sulit saya pahami. Akhirnya saya sadar: inilah gap generation. Zaki adalah generasi melenial. Saya adalah generasi besi tua.
Kata “percetakan” yang hidup di pikiran Zaki tidak sama dengan kata “percetakan” yang ada di benak saya. Saya segera menyadari ketuaan saya.
Baiklah. Ternyata Zaki sedang berbisnis digital printing.
Tidak ada mesin cetak dalam pemahaman digital. Memang. Yang ada adalah ‘printer’ dan komputer.
Zaki berbisnis digital printing. Itu karena ia salah satu aktivis LPM Ibrahimy. Lembaga pers mahasiswa itu menerbitkan buletin. Dan majalah dinding.
Di situlah Zaki mulai mengenal seluk beluk komputer, desain, printing dan penjilidan.
Ia bisa mengerjakan grafis, bisa membuat desain. Dengan menggunakan software photoshop dan coreldraw.
Suatu saat Zaki jatuh cinta. Pada mahasiswi universitas yang sama. Di semester yang sama. Dari daerah asal yang sama: Banyuwangi Utara.
Di pondok seperti itu hampir tidak ada kesempatan ini: cowok ketemu cewek. Asramanya beda. Meski berdekatan. Ruang kuliahnya terpisah. Aturannya ketat: apalagi urusan cowok-cewek.
Dan… Tidak ada handphone.
Santri tidak boleh membawa handphone. Disita. Sembunyi-sembunyi pun pasti ketahuan. Disita.
Satu kamar tidur isinya bisa 30 orang. Tidak akan pernah tidak ada orang di kamar. Mojok ke mana pun tidak ada yang sepi.
Pernah ada teknik penyiasatan seperti ini: menitipkan HP di rumah penduduk. Yang berdekatan dengan komplek pondok. Manakala perlu, santri pamit ke rumah tetangga itu.
Ketahuan juga.
Disita.
Lebih baik taat saja.
Itulah sikap semua santri saat ini.
Semua santri tingkat dewasa sebenarnya punya HP. Juga punya account Facebook. Tapi ditinggal di rumah asal mereka. Kelak, kalau liburan, baru dipakai lagi.
Saya bertanya ke lebih tujuh santri di Ibrahimy. Termasuk yang dari Aceh. Dari Jakarta. Dari Kalimantan. Jawabnya sama: mereka punya HP. Smartphone. Tapi ditinggal di rumah orang tua di kampungnya.
Zaki jatuh cinta setengah mati.
Mungkin anak sekarang beda. Tidak bisa menikmati rasa jatuh cinta model ini: tidak bisa ketemu dan tidak bisa berhubungan dengan HP. Maksimum kirim surat. Sembunyi-sembunyi. Lewat kurir rahasia. Ada saja yang mau jadi kurir seperti itu. Yang suka rela atau pun karena barter.
Sesulit apa pun Zaki tetap bisa berkomunikasi minimal dengan si dia. Secara rahasia. Secara sembunyi-sembunyi. Dengan kode-kode. Bahkan akhirnya tahu pula hari ulang tahunnya. Tahu Facebooknya.
Zaki akan memberi kejutan. Hadiah ulang tahun. Yang istimewa. Yang tidak biasa. Yang akan jadi pembicaraan teman-teman sesama satriwatinya.
Ia desain sebuah buku tulis. Yang bisa dipakai sebagai buku harian. Di sampul buku itu akan ia beri foto si dia. Foto yang tercantiknya. Di halaman dalam, di setiap sudutnya, akan ia beri foto yang berbeda. Foto si dia juga.
Zaki mendesain buku itu berhari-hari. Bisa dibayangkan betapa bergelora jiwanya. Betapa bergejolak hatinya.
Ia tidak sulit mendapatkan foto si dia: ambil dari foto-foto di facebook. Ia pilih satu untuk sampul. Ia pilih lagi empat untuk setiap pojok halaman dalam.
Buku pun jadi. Ia pandang tiada henti. Ia raba tiada tara.
Ia pun sudah tahu caranya: bagaimana mengirimkannya. Agar sampai di asrama putri si dia.
Model buku cinta itulah yang kemudian jadi bisnisnya.
Zaki kini sudah bebas kuliah.
Sudah boleh sering meninggalkan asrama. Pulang ke kampungnya. Yang hanya 40 menit dari Ibrahimy.
Zaki membuka apa yang ia sebut percetakan. Modalnya: laptop, hp, printer dan kertas.
Siapa saja boleh memesan buku seperti itu.
Laris.
Saya kembali menyadari ketuaan saya.
Saya sulit membayangkan siapa konsumen Zaki.
Ternyata saya benar-benar sudah tua. Saya baru tahu di perjalanan dari Banyuwangi ke Pondok ini: bahwa buku tulis anak sekolah zaman sekarang sudah beda. Untuk SMP dan SMA.
Buku tulis yang ada di tas mereka itu ternyata bukan lagi dari toko. Melainkan buku yang sudah customized.
Zaki sering terima pesanan seperti itu. Buku tulis yang sampulnya foto si siswa. Terutama siswi. Yang halaman dalamnya juga foto. Di tiap pojoknya. Narsistis sudah sampai ke buku tulis.
Menimbulkan peluang bisnis baru. Seperti yang dikerjakan Zaki.
Bisnis kedua kelak, kata Zaki, adalah hidroponik. Sebagai anak desa ia hidup dari hasil pertanian. Terutama cabe. Tanah di desanya sangat cocok untuk tanaman lombok.
Tapi tiap musim hujan cabenya busuk di pohon. Zaki akan mengatasi semua itu.
Ia juga akan bisnis fashion. Jiwa seninya sampai pula ke model baju. Sekalian bisa ditangani istrinya nanti.
Zaki segera menikah. Dalam hitungan bulan.
Jalan dari Banyuwangi ke Sukorejo siang itu padat dengan truk. Tapi tidak terasa. Zaki menjawab semua pertanyaan saya.
“Kok tidak ingin jadi ustadz atau kyai?” tanya saya.
“Saya kan bukan keturunan kyai,” jawabnya. (Dahlan Iskan)