Orang hanya tahu Rejang Renteng setelah viral dan membumi sebagai tari wali dan bebali. Tapi, siapa sangka banyak aturan dan pantangan yang harus ditaati
saat latihan hingga pentas menari di pura. Mengapa ibu-ibu PKK penari Rejang Renteng mengaku merasa sehat setelah menari?
IGP ARDITA, Denpasar
APA yang didapat Ida Ayu Diastini dalam penelitiannya di Desa Saren, begitulah yang dia tularkan ke masyarakat untuk membumikan Tari Rejang Renteng.
Termasuk kata “renteng” yang kini jadi multitafsir. Namun, Diastini tetap konsisten bahwa kata “renteng” yang didapat dari para tetua di Desa Saren berarti “renta” atau dituakan.
Menurut I Made Nase, mantan Kelian Adat di Banjar Adat Saren, kata renteng itu artinya renta atau tua.
Itu juga diamini Jero Mangku Lodra (Mangku Pura Merajan Kawitan Keniten) dan Jero Mangku Gede Ngurah (Mangku Pura Dalem lan Pura Pemujanan).
“Saya tidak berani mengubah arti dan makna dari Rejang Renteng karena ini tari wali yang terinspirasi dari Tari Renteng yang begitu sakral,” ungkap Diastini.
Konsistensi Diastini terhadap uger-uger dan filosofi dari busana sederhana maupun setiap gerakan dalam tari Rejang Renteng ini sangat diterima masyarakat.
Pasalnya, banyak kejadian niskala yang sudah sering dilihat kasat mata oleh para ibu-ibu penari Rejang Renteng bila melanggar pantangannya.
Seperti bila memaksakan ikut menari saat datang bulan atau berniat merubah gerakan tari maupun tabuhnya.
“Memang banyak sudah kejadian aneh terlihat kasat mata karena penari tidak mau mengikuti apa yang saya tekankan.
Saya memundut (membawa) paican Ide Betara Dalem Ped setiap mau melatih tari maupun tabuh Rejang Renteng kemana pun saya diminta melatih.
Kalau ada penari atau penabuh yang berniat jelek atau melanggar, biasanya ada kejadian aneh menimpanya,” jelasnya.
“Ini rejang sakral dan harus dilakukan dengan hati yang bersih dan tulus,” tambah Diastini.
Menariknya, Rejang Renteng tak hanya bagus untuk membiasakan ibu-ibu ngayah menari di pura saat piodalan (pujawali).
Namun, gerakan Rejang Renteng tak ubahnya gerakan yoga yang lebih mengutamakan olah rasa dibandingkan olah tubuh.
“Menari Rejang Renteng kalau dilakukan dengan sungguh-sungguh akan terasa bahwa dalam setiap gerakannya lebih banyak pada teknik pengaturan nafas,” ucap perempuan
yang sudah mengajar tari Rejang Renteng keliling ke pelosok desa di Bali hingga ke luar daerah seperti Surabaya, Sidoarjo, Jogjakarta dan Lampung tersebut.
Selama keliling Bali melatih Rejang Renteng, Diastini mengaku sangat menikmatinya karena masyarakat menyambutnya dengan tulus.
Bahkan, kebanyakan dari mereka begitu fanatik, harus Diastini yang melatih baru mau bagus dan kompak.
Hal itu tak lepas dari kepercayaan bahwa Diastini mundut paican Ide Betara Dalem Ped dalam setiap melatih yang membuat Rejang Renteng hasil garapannya begitu metaksu.
“Sebelum melatih saya harus kasih workshop terlebih dahulu agar mereka paham seperti apa tari Rejang Renteng serta apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan.
Setelah mereka paham barulah saya melatih tarian dan tabuhnya. Astungkare selama ini semua baik-baik saja dan cepat diserap,” katanya.
Suka duka jadi pelatih tari Rejang Renteng keliling Bali tentu sangat banyak. Namun Diastini menjalaninya dengan sepenuh hati walau harus sendirian nyetir sampai ke Jembrana bolak-balik Singapadu, Gianyar.
“Dulu saya selalu jalan sendiri, kemana-mana sendiri nyetir. Baru belakangan punya asisten yang membantu di lapangan,” katanya.
Dari begitu banyak kelompok ibu-ibu PKK yang sudah dilatihnya, Diastini punya catatan tersendiri, di desa adat mana ibu-ibu PKK nya begitu kompak dan serius berlatih Rejang Renteng.
“Sebenarnya semua bagus sambutannya dan cepat menguasai tari maupun tabuh. Tapi dari semua itu saya terkesan dengan ibu-ibu PKK di Pejaten Tabanan, Bajra dan Jembrana.
Mereka sangat antusias, bendesa adatnya juga sangat mendukung dan disiplin,” ungkapnya. (bersambung)