Saya terkecoh. Salah sangka. Awalnya saya terheran-heran. Begitu banyak masjid di Punjab, India ini. Terlihat dari menara-menara tingginya. Dan kubah-kubahnya.
Seperti lagi mengendarai mobil di Lombok saja. Sebentar-sebentar melihat bangunan masjid. Begitu banyak masjid di Punjab? Ups…. Ternyata semua itu bukan masjid.
Itu disebut gurdwara. Artinya: pintu menuju Guru. Disebut juga Harmandir Sahib – -baitullah, rumah Tuhan. Nama lainnya lagi: Darbar Sahib – -pengadilan Tuhan, pengadilan Agung.
Itulah rumah ibadah agama Sikh. Begitu dekatnya arsitektur gurdwara ini dengan masjid. Agama Sikh? Anda pasti tahu –setidaknya dari bentuk udeng (topi) penganut Sikh yang khas itu.
Lebih 50 persen penduduk negara bagian Punjab adalah Sikh. Makanya begitu banyak rumah ibadah gurdwara di Punjab. Saat saya ke Desa Qadian pun harus melewati banyak gurdwara.
Qadian adalah desa tempat lahirnya Mirza Ghulam Ahmad –pendiri aliran Islam Ahmadiyah. Dari jauh sulit sekali membedakan: mana gurdwara Sikh dan mana masjidnya orang Islam.
Sama-sama bermenara tinggi. Sama-sama berkubah –kubah besar di tengah dan kubah-kubah kecil di menaranya. Barulah dari jarak dekat terlihat bedanya –itu pun bagi yang mau memperhatikan.
Yang masjid, di puncak kubahnya ada bentuk bulan sabit kecil. Yang gurdwara, di puncaknya bertengger bunga lotus kecil. Penggunaan lotus itu sendiri seperti menggambarkan ada persinggungan antara Sikh dan Buddha.
Persinggungan-persinggungan antar agama itulah yang banyak terlihat di Punjab –dan India. Misalnya saat saya ke gurdwara terbesar di dunia.
Saya ikut ritual mereka. Dari awal sampai akhir. Saya mendapat pengalaman baru: begitu banyak yang mirip dengan ritual naik haji. Di sinilah –di kota Amritsar ini– gurdwaranya dianggap yang paling suci.
Jalannya ritual di situ pasti menarik untuk ditulis. Demikian juga ketika saya ke pura yang dianggap paling suci di agama Hindu. Di Kota Varanasi.
Di negara bagian Uttar Pradesh. Saya ikuti ritual hari raya Hanoman di situ. Sampai selesai. Begitu banyak persinggungan gerak ritual keagamaan di situ.
Saya pun banyak merenung. Selama di India ini. Mengapa praktek beragama di kawasan ini begitu semangatnya. Saya jadi ingat masa kecil di desa.
Yang praktek keagamaan kami juga sangat santai tapi gegap gempita. Kini saya tahu: praktek keagamaan masa kecil itu terasa ada mirip dengan Hindu di India.
Ada mirip dengan Buddha di sini. Dan mirip dengan Sikh di Amritsar ini. Begitu banyak lagu di masjid saya ketika itu. Azan kami lagukan.
Setelah azan kami dendangkan pujian-pujian. Kadang sangat lama –menunggu masuknya Imam ke masjid –karena sang imam harus menghabiskan rokoknya dulu.
Selesai salat kami dendangkan tahlil. Setiap malam orang-orang dewasa melakukan terbangan –dengan nada yang mendayu-dayu. Dengan alat musik yang disebut terbang –gendang pipih yang lingkarannya besar sekali.
Lebih besar dari orang duduk. Penerbangnya –orang yang memukul terbang– kadang tertidur dengan kepala tersandar di terbang. Kami juga sering melagukan berjanji.
Yang kalau sampai tahap asrokal nadanya kian cepat –kian nge-beat. Kalau ada orang mati, tujuh malam kami bertahlil dengan aneka nada. Saat mengucapkan asmaul husna nadanya beda dengan saat melafalkan ayat kursi.
Begitu gembiranya kami menjalankan agama saat itu. Adakah itu karena Islam masuk ke Indonesia lewat pedagang dari Gujarat, India? Di India, sekarang ini, saya mengikuti ritual berbagai agama dan aliran –oh ini yang kian hilang di Indonesia.(Dahlan Iskan)