Pasca merayakan Nyepi, sejumlah daerah di Bali melakukan berbagai tradisi. Salah satunya Siat Yeh di Jimbaran, Badung. Yang menarik, tradisi ini bangkit akibat masifnya pembangunan pariwisata di Bali Selatan.
WAYAN WIDYANTARA, Jimbaran
SEKITAR pukul 09.30 di perempatan kecil Banjar Teba, Jimbaran, Kuta Selatan, Badung, bertemulah dua warga banjar usai mengambil tirta di sebelah barat (pantai) dan sebelah timur (suwung).
Disambut dengan tarian penyambutan, dari kedua kelompok warga yang didominasi generasi muda ini berjalan dengan perlahan-lahan menuju titik temu perempatan jalan.
Mereka yang datang dari sebelah barat, datang dengan ikat kepala kuning, dan mereka yang datang dari sebelah timur datang dengan ikat kepala putih.
Sambil bernyanyi lagu Manadi Tunggal, sebuah lagu penyemangat di tradisi Siat Yeh, akhirnya kedua kelompok tersebut pun bertemu di perempatan.
Air yang dibawa dari masing-masing kelompok kemudian disatukan dalam sebuah tempat. Setelah itu, perang air pun dimulai.
Tampak terpancar raut wajah bahagia dari masing-masing kelompok saat saling siram air. Ini merupakan kali kedua mereka melakukan tradisi ini.
Anak Agung Yusa, Pembina Sekaa Teruna ST Bhakti Asih, Banjat Teba, Jimbaran, kepada Jawa Pos Radar Bali menjelaskan, tradisi Siat Yeh Pengelukatan Agung adalah sebuah ritual yang mempertemukan dua sumber mata air utama di Desa Jimbaran.
Pertama sumber mata air laut di sebelah barat dan kedua sumber mata air suwung, di sebelah timur. “Kedua sumber mata air itu, dahulu adalah mata pencaharian pokok masyarakat Jimbaran,” ungkap AA Yusa, Jumat pagi (8/3).
Dahulu, kedua mata air tersebut bertemu secara alami di Pura Lobok. “Kalau air pasang, akan bertemu, namun karena pembangunan yang masif
di bidang pariwisata, akhirnya terhalang dengan bangunan yang besar. Sehingga tidak bisa bertemu lagi secara alami,” ungkapnya.
Oleh karena itu, pihaknya dengan ST. Bhakti Asih, membuat sebuah langkah untuk mempertemukan hal itu dengan nama Siat Yeh.
Kata Siat sesungguhnya berati perang, yakni kombinasi dari keinginan untuk bertemu. Kalau ada dendam dan lainnya, mereka akan bertemu dan selesai. Sedangkan yeh adalah salah satu sumber kehidupan bagi manusia.
Makna utamanya, air sebagai sumber kehidupan adalah sumber energi. “Kami mempersatukan energi yang ada di Jimbaran supaya seluruh kekuatan masyarakat bisa bersatu padu
menghadap persoalan kehidupan dan menyelesaikan permasalahan-permasalahan dengan kebersamaan,” jelasnya.
Yang tak kalah menarik, tradisi Siat Yeh ini juga dalam proses pengakuan sebagai warisan budaya tak benda.
“Sekarang tinggal melengkapi dokumen saja ke Dinas Kebudayaan Kabupaten Badung. Yang belum lengkap itu hanya tulisan ilmiah saja,” pungkasnya.
Di sisi lain, Anak Agung Bagus Cahya selaku ketua panitia, mengatakan, Siat Yeh ini dilakukan untuk meningkatkan persatuan.
“Kami berharap solidaritas di ST Bhakti Asih ini dapat terjalin dengan baik. Ini juga untuk menghindari hal-hal negatif pasca penyepian” pungkasnya. (*)