Begitu sulit saya menemukan celah: bisakah Pakistan menjadi model masa depan negara Islam. Pun diskusi saya dengan mahasiswa Indonesia. Yang ada di Pakistan. Kesimpulannya sama: sulit berharap itu.
Memang ada beberapa alumni Pakistan yang hebat. Salah satunya Ustadz Shamsi Ali itu. Imam besar masjid di New York itu. Tepatnya Masjid Queen, yang tidak jauh dari bandara John F Kennedy itu.
Ustadz Shamsi Ali kini lagi membangun pesantren besar di Amerika. Yang lokasinya pernah saya kunjungi itu.
Setelah ke Pakistan tentu saya ingat Ustadz Shamsi Ali. Ia kian menarik bagi saya. Bagaimana bisa. Lulusan negeri yang begitu sektarian justru punya jiwa begitu moderat. Sampai bisa diterima berbagai golongan. Di Amerika pula. Termasuk oleh golongan Yahudi di sana.
“Pandangan keislaman saya berubah setelah di Amerika,” ujar Ustadz Shamsi Ali. “Setelah banyak bergaul dengan masyarakat non Islam,” tambahnya.
Dari pedalaman Tiongkok ini pun saya menghubungi Ustadz Shamsi Ali. Di daerah suku minoritas Tiongkok ini pun saya masih kepikiran Pakistan. Kepikiran terus. Gelisah. Saya pun harus bertukar pandangan dengan alumni Pakistan itu. Yang begitu terpandang itu.
Selama ini ternyata saya berlebihan. Saya terlalu berharap pada Pakistan. Akibatnya saya sampai ‘menderita batin’ begini. Setelah melihat kenyataannya seperti itu.
Padahal saya ke Pakistan tidak punya tujuan lain. Tidak ada bisnis. Tidak ingin rekreasi. Juga bukan karena lagi sumpek di dalam negeri.
Saya khusus ke Pakistan sengaja ingin membanding-bandingkan negara Islam. Mana yang kira-kira bisa jadi model masa depan.
Pun dulu ketika ke Turki. Dengan pikiran seperti itu. Juga ketika ke Maroko. Atau ke Mesir. Dan ke Aljazair.
Ustadz Shamsi Ali ternyata punya pandangan yang sama tentang Pakistan. “Saya kira Pakistan sulit maju karena pemahaman agama yang sangat ekstrim,” ujar alumni International Islamic University di Islamabad itu. “Pandangan ekstrim itu didukung pula oleh karakter masyarakat yang agak keras,” tambahnya.
Semua itu, ujar Ustadz, menjadikan mereka cepat emosi. Lalu melakukan hal-hal yang desktruktif. “Tentu tidak lepas juga dari kenyataan bahwa Pakistan dari dulu menjadi persinggahan peperangan Afghanistan,” katanya.
Pandangan seperti itu pula yang disampaikan para mahasiswa Indonesia yang bertemu saya di Lahore malam itu (DI’s Way:Masyaallah). “Sektariannya sangat kenceng,” ujar Fahmi Wira Angkasa. Ketua PPMI Pakistan. Yang mahasiswa hukum Islam di universitas yang sama dengan kampusnya Ustadz Shamsi Ali itu.
“Kalau saya dari dulu tidak pernah melihat jika Islam akan maju dengan keadaan Pakistan. Malah ada refleksi negatif…seolah Islam itu keras, emosi, terbelakang, dan lain-lain,” ujar Ustadz.
“Kok dulu, waktu kuliah di sana, tidak ketularan keras?” tanya saya.
“Sempat ketularan pak,” jawabnya. “Saya dulu, pertama sampai di Amerika, banyak menyalah-nyalahkan….,” katanya.
Lalu Ustadz Shamsi Ali berubah pandangan. Awalnya ketika bertetangga dengan seorang Katolik keturunan Irlandia. Si Katolik selalu menyapanya dengan ramah. “Lambat laun saya mengubah pilkiran bahwa non Muslim itu bukan musuh. Tapi partner dalam kebaikan,” katanya.
Tentu saya ke Pakistan juga sambil melihat-lihat: apakah ada peluang bisnis di sana. Sekedar melihat. Siapa tahu ada ‘lubang’ dagang.
Saya juga bertemu beberapa orang Tiongkok di Lahore. Atau di Karachi. Yang juga hanya melihat-lihat peluang.
“Kenapa melihat peluangnya di sini. Kok tidak di Indonesia?” tanya saya.
“Di sini aman,” jawab pengusaha itu.
Ia orang asli Shantou, kota pantai di Provinsi Guangdong. Di Tiongkok ia punya bisnis pengolahan plastik. Ia merasa Pakistan aman.
Aneh. Bin ajaib.
Tapi saya paham. Hubungan baik antara Tiongkok dan Pakistan dirasakan sampai masyarakat luas. Kedua negara itu diibaratkan “teman di segala musim”.
Bahkan mahasiswa asing terbanyak di Pakistan pun berasal dari Tiongkok. Jumlah mahasiswa dari Indonesia hanya 285. Yang dari Tiongkok lebih 1.500 orang. Umumnya kuliah di ushuludin atau syariah.
“Saya sering jumpa mereka. Cita-cita mereka umumnya ingin jadi imam masjid di Tiongkok,” ujar Ali Muhtadin. Ia mahasiswa ushuludin. Asal Bojonegoro. Yang alumni Persis Bangil.
Makanya, tahun-tahun belakangan ini saya lihat perubahan itu. Setiap ke masjid di Tiongkok imamnya sangat muda.
Di Pakistan, orang seperti saya pun dikira dari Tiongkok. Di mana saja saya disapa: ‘ni hao’. Termasuk oleh anak-anak kecil yang lagi sok berani berbahasa Mandarin.
Saya pun tidak peduli. Saya jawab saja: wo hen hao. (dahlan iskan)