32.6 C
Jakarta
25 April 2024, 15:08 PM WIB

Oka Gunastawa: Jerat Koruptor dengan Sanksi Adat

AMLAPURA – Rangkaian Hari Antikorupsi Sedunia (Harkodia) baru saja berakhir. Indonesia patut berbangga pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Saat kinerja pemberantasan korupsi oleh kepolisian dan kejaksaan “kurang memuaskan”, KPK menawarkan “angin segar”.

Buktinya, dalam 6 tahun terakhir KPK menangkap 34 kepala daerah. Juru bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, kebanyakan kepala daerah yang ditangkap melakukan korupsi dengan modus suap untuk keperluan proyek pembangunan di wilayah kerjanya.

Beberapa di antaranya menerima uang terkait perizinan, pengisian jabatan di daerah, dan pengurusan anggaran otonomi khusus.

Sejauh ini, aib ditangkap KPK belum “menodai” kepala daerah di Bali. Hanya saja, KPK telah menjerat duo politisi senior Demokrat asli Bali,

yakni mantan Menteri ESDM era Presiden SBY, Jero Wacik (saat ini ditahan di Lapas Sukamiskin, red) dan anggota Komisi III DPR RI I Putu Sudiartana.

Sementara para eks bupati asal PDI Perjuangan yakni Prof. Dr. drg. I Gede Winasa (Jembrana), Putu Bagiada (Buleleng), I Wayan Candra (Klungkung), I Nengah Arnawa (Bangli) terbukti korupsi tanpa campur tangan KPK.

Yang terhangat, eks Wakil Gubernur Bali merangkap Ketua DPD 1 Golkar Bali, I Ketut Sudikerta oleh penyidik Ditreskrimsus Polda Bali

ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan penipuan dan penggelapan tanah senilai Rp 150 miliar di Jimbaran, Kuta Selatan, Badung.

Apakah kasus korupsi juga akan menjerat politisi yang dua periode menjabat Wakil Bupati Badung ini belum terkuak hingga kini.

Tak hanya di Indonesia, korupsi juga diperangi di seluruh penjuru dunia. Baru-baru ini, Presiden Filipina, Rodrigo Duterte menghancurkan mobil mewah dan moge (motor gede)

dengan nilai total lebih dari 4 juta pound sterling atau sekitar Rp 75,7 miliar dengan mengundang masyarakat untuk menontonnya.

Presiden Duterte mengaku pernah melempar seorang koruptor dari helikopter. Di Tiongkok, para koruptor diganjar hukuman mati.

Qisas alias ‘hukum pancung’ diterapkan di Arab Saudi. Korea Utara menerapkan hukuman lebih sadis. Mulai dari hukum tembak, diracun, dibakar hidup-hidup hingga dijadikan sebagai santapan anjing.

Eksekusi yang disebut Quan Jue ini membiarkan anjing liar kelaparan selama 3 hari, lalu sang kuruptor ditelanjangi untuk kemudian dilempar ke kandang anjing.

Tentu para koruptor di negara-negara tersebut tak bisa tersenyum layaknya di Indonesia pasca ditangkap.

Apa yang harus dilakukan untuk “membersihkan” Indonesia, khususnya Bali dari perilaku korupsi?

Ketua DPW NasDem Bali Ida Bagus Oka Gunastawa mengapresiasi ketegasan Tiongkok, Filipina, Arab Saudi, dan Korea Utara dalam memerangi koruptor.

Menariknya, caleg DPR RI Nomor Urut 1 Dapil Bali itu menyebut Bali juga memiliki “senjata” yang tak kalah hebat untuk memberangus budaya korupsi.

“Bali tak perlu melakukan hal yang sama dengan negara-negara di atas. Selain vonis pengadilan, hukum adat yang sudah saatnya ditegakkan.

Perilaku korupsi ini sudah bikin leteh (tercemar, red). Bayangkan kalau uang hasil korupsi ini digunakan untuk membangun pura? Apa jadinya Bali ini? Taksu Bali lama-lama bisa hilang,” tegas Oka Gunastawa.

Sanksi adat, tandas Sekretaris Tim Pemenangan Jokowi-Jusuf Kalla 2014 silam itu patut diterapkan. Seperti apa?

Oka Gunastawa mencontohkan bisa berupa denda satu kg beras per kepala untuk seluruh penduduk yang tinggal di wilayah adat tempat sang koruptor tinggal.

Termasuk “kasepekang” alias melarang yang bersangkutan sembahyang di Kahyangan Tiga selama periode tertentu.

Apabila meninggal dunia dalam masa hukuman adat, jenazah si koruptor tidak boleh diabenkan atau ditanam di setra adat tersebut.

“Ini mendesak dilakukan untuk melindungi Bali yang kita cintai,” tegas politisi asal Desa Jungutan, Karangasem tersebut.

Tak hanya bagi koruptor, ke depan Oka Gunastawa menilai sanksi adat juga sudah sepatutnya dialamatkan pada para bandar sekaligus penyalahguna narkoba.

Termasuk pelaku kekerasan seksual terhadap anak alias pedofilia. “Situasi saat ini mengharuskan kita menggunakan “senjata” yang diwariskan para pendahulu,

yakni kekuatan hukum adat,” tuturnya sembari menyebut sanksi adat ini bisa diterapkan bila masyarakat Bali kompak menginginkan perubahan ke arah lebih baik; restorasi sosial. (rba)

AMLAPURA – Rangkaian Hari Antikorupsi Sedunia (Harkodia) baru saja berakhir. Indonesia patut berbangga pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Saat kinerja pemberantasan korupsi oleh kepolisian dan kejaksaan “kurang memuaskan”, KPK menawarkan “angin segar”.

Buktinya, dalam 6 tahun terakhir KPK menangkap 34 kepala daerah. Juru bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, kebanyakan kepala daerah yang ditangkap melakukan korupsi dengan modus suap untuk keperluan proyek pembangunan di wilayah kerjanya.

Beberapa di antaranya menerima uang terkait perizinan, pengisian jabatan di daerah, dan pengurusan anggaran otonomi khusus.

Sejauh ini, aib ditangkap KPK belum “menodai” kepala daerah di Bali. Hanya saja, KPK telah menjerat duo politisi senior Demokrat asli Bali,

yakni mantan Menteri ESDM era Presiden SBY, Jero Wacik (saat ini ditahan di Lapas Sukamiskin, red) dan anggota Komisi III DPR RI I Putu Sudiartana.

Sementara para eks bupati asal PDI Perjuangan yakni Prof. Dr. drg. I Gede Winasa (Jembrana), Putu Bagiada (Buleleng), I Wayan Candra (Klungkung), I Nengah Arnawa (Bangli) terbukti korupsi tanpa campur tangan KPK.

Yang terhangat, eks Wakil Gubernur Bali merangkap Ketua DPD 1 Golkar Bali, I Ketut Sudikerta oleh penyidik Ditreskrimsus Polda Bali

ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan penipuan dan penggelapan tanah senilai Rp 150 miliar di Jimbaran, Kuta Selatan, Badung.

Apakah kasus korupsi juga akan menjerat politisi yang dua periode menjabat Wakil Bupati Badung ini belum terkuak hingga kini.

Tak hanya di Indonesia, korupsi juga diperangi di seluruh penjuru dunia. Baru-baru ini, Presiden Filipina, Rodrigo Duterte menghancurkan mobil mewah dan moge (motor gede)

dengan nilai total lebih dari 4 juta pound sterling atau sekitar Rp 75,7 miliar dengan mengundang masyarakat untuk menontonnya.

Presiden Duterte mengaku pernah melempar seorang koruptor dari helikopter. Di Tiongkok, para koruptor diganjar hukuman mati.

Qisas alias ‘hukum pancung’ diterapkan di Arab Saudi. Korea Utara menerapkan hukuman lebih sadis. Mulai dari hukum tembak, diracun, dibakar hidup-hidup hingga dijadikan sebagai santapan anjing.

Eksekusi yang disebut Quan Jue ini membiarkan anjing liar kelaparan selama 3 hari, lalu sang kuruptor ditelanjangi untuk kemudian dilempar ke kandang anjing.

Tentu para koruptor di negara-negara tersebut tak bisa tersenyum layaknya di Indonesia pasca ditangkap.

Apa yang harus dilakukan untuk “membersihkan” Indonesia, khususnya Bali dari perilaku korupsi?

Ketua DPW NasDem Bali Ida Bagus Oka Gunastawa mengapresiasi ketegasan Tiongkok, Filipina, Arab Saudi, dan Korea Utara dalam memerangi koruptor.

Menariknya, caleg DPR RI Nomor Urut 1 Dapil Bali itu menyebut Bali juga memiliki “senjata” yang tak kalah hebat untuk memberangus budaya korupsi.

“Bali tak perlu melakukan hal yang sama dengan negara-negara di atas. Selain vonis pengadilan, hukum adat yang sudah saatnya ditegakkan.

Perilaku korupsi ini sudah bikin leteh (tercemar, red). Bayangkan kalau uang hasil korupsi ini digunakan untuk membangun pura? Apa jadinya Bali ini? Taksu Bali lama-lama bisa hilang,” tegas Oka Gunastawa.

Sanksi adat, tandas Sekretaris Tim Pemenangan Jokowi-Jusuf Kalla 2014 silam itu patut diterapkan. Seperti apa?

Oka Gunastawa mencontohkan bisa berupa denda satu kg beras per kepala untuk seluruh penduduk yang tinggal di wilayah adat tempat sang koruptor tinggal.

Termasuk “kasepekang” alias melarang yang bersangkutan sembahyang di Kahyangan Tiga selama periode tertentu.

Apabila meninggal dunia dalam masa hukuman adat, jenazah si koruptor tidak boleh diabenkan atau ditanam di setra adat tersebut.

“Ini mendesak dilakukan untuk melindungi Bali yang kita cintai,” tegas politisi asal Desa Jungutan, Karangasem tersebut.

Tak hanya bagi koruptor, ke depan Oka Gunastawa menilai sanksi adat juga sudah sepatutnya dialamatkan pada para bandar sekaligus penyalahguna narkoba.

Termasuk pelaku kekerasan seksual terhadap anak alias pedofilia. “Situasi saat ini mengharuskan kita menggunakan “senjata” yang diwariskan para pendahulu,

yakni kekuatan hukum adat,” tuturnya sembari menyebut sanksi adat ini bisa diterapkan bila masyarakat Bali kompak menginginkan perubahan ke arah lebih baik; restorasi sosial. (rba)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/