Gempuran lahan pertanian yang semakin menipis di kota Denpasar memunculkan kreatifitas untuk melakukan pertanian di perkarangan rumah. Seperti apa?
I WAYAN WIDYANTARA, Denpasar
Rumah Agus Saskara berada di Jalan Wibisana Barat, Desa Pemecutan Kaja, Kota Denpasar. Atau sekitar 900 meter dari Pasar Badung, pasar terbesar di Bali yang baru-baru ini diresmikan oleh Presiden Joko Widodo.
Rumah pria kelahiran Denpasar tanggal 6 Juli 1994 ini sekitar 3,5 are ini terhimpit oleh sejumlah bangunan rumah lainnya. Nyaris tak ada lahan hijau disekitar rumahnya.
Namun, setelah memasuki pintu masuk rumahnya, terlihat di sebelah kanan ruangan berukuran 5 x 4 meter persegi dipenuhi tumbuhan sayur-sayuran. Dia memberi nama tempatnya, Wibisana Farm Hidroponik.
Agus merupakan kaum urban yang melakukan aktivitas urban farming di pekarangan rumah untuk bisa menghasilkan makanan sehat yang dapat dikonsumsi.
Urban farming adalah konsep memindahkan pertanian konvensional ke pertanian perkotaan, yang berbeda ada pada pelaku dan media tanamnya.
Pertanian konvensional lebih berorientasi pada hasil produksi, sedangkan urban farming lebih pada karakter pelakunya yakni masyarakat urban.
Urban farming tampaknya telah menjadi gaya hidup pria tamatan Universitas Hindu Indonesia (UNHI) ini.
Saat ditemui Jawa Pos Radar Bali, Agus mengaku tak hanya mengonsumsi untuk pribadi saja, tetapi juga dijadikan bisnis atau dijual untuk masyarakat luas. Ia mulai usaha ini sekitar 3 bulan yang lalu atau Maret 2019.
“Awalnya saya memang hobi tanam menanam. Lalu iseng lihat-lihat youtube, ada yang namanya hidroponik. Dari sana mulai mencoba sendiri di rumah,” ujarnya.
Untuk diketahui, hidroponik adalah budidaya menanam dengan memanfaatkan air tanpa menggunakan tanah dengan menekankan pada pemenuhan kebutuhan nutrisi bagi tanaman.
Dari youtube tersebut, Agus yang juga memiliki usaha Kopi Nyangluh, sebuah produk yang diolah dengan cara tradisional ini mulai mengumpulkan sejumlah bahan untuk membuat hidroponik.
Pertama, Agus mencari styrofoam bekas untuk dijadikan instalasi hidroponik. Tak hanya itu, dia juga mencari bambu bekas dan pipa bekas sebagai bahan penunjang pembuatan greenhouse (rumah kaca) tempat penanaman sayur yang akan ditanamnya.
Agus mulai mencari tanaman yang akan ditanam. Seperti pakcoy, sawi, kangkung dan selada. “Sayuran ini biasanya sering dicari oleh konsumen. Makanya saya mengawalinya dengan menanam ini dulu,” ujarnya.
Untuk prosesnya, Agus mulai melakukan pembibitan selama 14 hari. Setelah itu, dilakukan pindah tanam ke instalasi sampai panen. Instalasi tersebut menggunakan mesin pompa aquarium untuk mengaliri air nutrisi ke tanaman melalui pipa dan dialirkan ke styrofoam yang telah ditanami sayur.
Alat yang digunakan untuk membuat hidroponik tersebut sejatinya tak mahal. Terlebih Agus membuat instalasi menggunakan bahan bekas. Jika ditotal biaya yang dihabiskan untuk ukuran 5×4 meter persegi, Agus hanya modal awalnya Rp 1,1 juta.
Yang cukup mahal, Agus menggunakan 3 pompa aquarium dengan harga Rp 150 ribu. Selain itu, atap plastik UV seharga Rp 660 ribu dengan ukuran luas tanah yang digunakan.
“Ya modal awalnya memang segitu. Tapi kalau dilihat dari segi bisnis, untungnya juga lumayan, apalagi permintaan pasar juga tinggi,” akunya.
Dari ukuran luas yang digunakan, dalam sebulan dari proses pembibitan hingga panen, Agus dapat total 50 kilo sayuran. Perkilo Agus menjualnua dengan harga yang berbeda, yakni dari Rp 14 ribu sampai Rp 25 ribu perkilo.
Diluar dari jual beli tersebut, Agus sejatinya ingin mengembangkan pertanian hidroponik di perkotaan. Sebab, dengan melakukan aktivitas urban farming, masyarakat mendapat ketersediaan sayuran sebagai sumber nutrisi sehat, mengurangi impor sayuran, menghijaukan lingkungan, dan membantu mengurangi dampak pemanasan global.
Bagi Agus, konsep ini tidak lagi sekadar gaya hidup kaum urban, tapi meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap kualitas makanan, gizi, kesehatan dan lingkungan sekitar. “Hidroponik juga sebagai salah satu cara yang mampu menambah ruang terbuka hijau diperkotaan,” kata sarjana ilmu planologi ini.
Lanjut Agus, jika tak memiliki lahan kosong, hidroponik ini juga bisa dilakukan di atas rumah. Namun faktor matahari juga harus perhatikan, sebab tanaman butuh sinar matahari untuk fotosintesis. Selain itu, ph (derajat keasaman) air dan kandungan ppm (part per millon) juga harus diperhatikan.
“Matahari dan air syarat mutlak memulai berhidroponik. Bagi yang ingin berhidroponik wajib belajar itu,” ungkapnya.
Lalu apa yang membedakan sayur hidroponik dengan sayur yang tumbuh pertanian konvensional? “Kalau sayur hidroponik ini, tanpa menggunakan pestisida. Sehingga dampaknya sayur akan lebih sehat dan baik untuk kesehatan,” jawabnya.
Selain itu, hidroponik yang dapat dikatakan sebagai pertanian millineal ini juga dalam masa panennya tidak dipengaruhi musim panen. Terlebih berhidroponik, kita bisa mengatur jangka waktu panen.
“Semoga hal kecil ini dapat berkembang di masyarakat khususnya warga perkotaan. Sehingga masyarakat semakin banyak yang mengonsumsi sayur hidroponik,” pungkasnya berharap.