26.7 C
Jakarta
11 Desember 2024, 4:13 AM WIB

Trend Baru: Bayar Bagasi Apa Lagi

Oleh: Dahlan Iskan

Pelopornya: bandara Hongkong. Korbannya: bukan Anda. Sementara ini yang jadi korban adalah perusahaan penerbangan. Entahlah kalau airlines akan meneruskan beban baru ini kepada penumpang. Kelak.

Meneruskan atau tidak mestinya saya tidak perlu peduli. Manajemen bandara Hongkong bikin beban baru: untuk bagasi. Satu bagasi sekali pun. Tiap bagasi harus dipungut biaya. Ongkos membawanya dari perut pesawat. Ke tempat pengambilan bagasi. Atau dari tempat check-in ke perut pesawat.

Mulai berlaku: tanggal 6 Juli 2018.

Biaya: tiap bagasi HKD 1,32. Atau sekitar Rp 3.000.

Itu memang uang receh. Dan bandara Hongkong rupanya ingin juga mengincar uang receh.

‘Otak uang’ memang beda dengan otak-otak. Kelihatannya Rp 3 ribu rupiah. Tapi lihat perkaliannya: tiap hari ada 80.000 bagasi yang turun di Hongkong. Setahun harus dikalikan 75 juta penumpang. Asumsinya: tiap penumpang membawa satu bagasi.
Hasil perkalian itu: setiap tahun bandara Hongkong bisa dapat tambahan pemasukan sekitar Rp 200 miliar. Tujuh tahun: Rp 1,4 triliun.

Pelajaran baiknya: jangan abaikan uang receh.

Lihatlah: berapa kali Anda terima foto atau video atau ucapan good morning di HP Anda. Biaya kirimnya mungkin hanya Rp 1 rupiah. Tapi coba kalikan. Ratusan miliar rupiah setahun.

Memang bandara Hongkong tidak berurusan dengan penumpang. Bandara memungut itu ke perusahaan penerbangan. Tentu, yang terakhir itu pada protes. Tapi tetap saja tidak akan berani tidak terbang ke Hongkong.

Bandara Hongkong sebenarnya sudah kaya. Bahkan menjadi bandara paling laba di dunia. Lihat angka ini: tahun lalu labanya hampir USD 1,5 miliar. Tepatnya: USD 1,46 miliar. Atau hampir Rp 20 triliun.

Pelajaran terbaik kedua: orang itu kian kaya kian rakus. Kian ingin lebih kaya.
Tujuannya: agar menjadi yang terkaya.
Itu pandangan negatifnya.
Sudut positifnya: agar bisa memberikan pelayanan lebih baik.

Seperti kasus bandara Hongkong ini. Berkat pelayanannya yang hebat jumlah penumpangnya naik terus. Tahun ini akan mencapai 75 juta orang. Kian banyak saja pesawat yang ingin mendarat di Hongkong.

Akibatnya: landasannya kurang. Padahal sudah punya dua landasan. Harus membangun landasan ketiga. Biayanya: HKD 140 miliar. Atau hampir Rp 400 triliun.

Begitu mahal?

Tentu. Bandara Hongkong itu dibangun di pulau kecil. Tanahnya sudah habis. Harus bikin daratan baru. Di laut yang cukup dalam.

Kalau Anda lagi mendarat di Hongkong (dari arah barat), tengoklah ke kiri. Anda tentu melihat: kegiatan proyek di laut itu. Itulah proyek pembuatan landasan ketiga.

Peluang besar: harga pasir membumbung tinggi. Anda bisa jualan pasir ke Hongkong.

Setidaknya bagasi Anda telah ikut mewujudkan landasan ketiga itu.

Tapi saya, tidak akan seperti Anda. tidak ikut menyumbang.

Mengapa?

Saya jarang membawa bagasi.(dis)

Oleh: Dahlan Iskan

Pelopornya: bandara Hongkong. Korbannya: bukan Anda. Sementara ini yang jadi korban adalah perusahaan penerbangan. Entahlah kalau airlines akan meneruskan beban baru ini kepada penumpang. Kelak.

Meneruskan atau tidak mestinya saya tidak perlu peduli. Manajemen bandara Hongkong bikin beban baru: untuk bagasi. Satu bagasi sekali pun. Tiap bagasi harus dipungut biaya. Ongkos membawanya dari perut pesawat. Ke tempat pengambilan bagasi. Atau dari tempat check-in ke perut pesawat.

Mulai berlaku: tanggal 6 Juli 2018.

Biaya: tiap bagasi HKD 1,32. Atau sekitar Rp 3.000.

Itu memang uang receh. Dan bandara Hongkong rupanya ingin juga mengincar uang receh.

‘Otak uang’ memang beda dengan otak-otak. Kelihatannya Rp 3 ribu rupiah. Tapi lihat perkaliannya: tiap hari ada 80.000 bagasi yang turun di Hongkong. Setahun harus dikalikan 75 juta penumpang. Asumsinya: tiap penumpang membawa satu bagasi.
Hasil perkalian itu: setiap tahun bandara Hongkong bisa dapat tambahan pemasukan sekitar Rp 200 miliar. Tujuh tahun: Rp 1,4 triliun.

Pelajaran baiknya: jangan abaikan uang receh.

Lihatlah: berapa kali Anda terima foto atau video atau ucapan good morning di HP Anda. Biaya kirimnya mungkin hanya Rp 1 rupiah. Tapi coba kalikan. Ratusan miliar rupiah setahun.

Memang bandara Hongkong tidak berurusan dengan penumpang. Bandara memungut itu ke perusahaan penerbangan. Tentu, yang terakhir itu pada protes. Tapi tetap saja tidak akan berani tidak terbang ke Hongkong.

Bandara Hongkong sebenarnya sudah kaya. Bahkan menjadi bandara paling laba di dunia. Lihat angka ini: tahun lalu labanya hampir USD 1,5 miliar. Tepatnya: USD 1,46 miliar. Atau hampir Rp 20 triliun.

Pelajaran terbaik kedua: orang itu kian kaya kian rakus. Kian ingin lebih kaya.
Tujuannya: agar menjadi yang terkaya.
Itu pandangan negatifnya.
Sudut positifnya: agar bisa memberikan pelayanan lebih baik.

Seperti kasus bandara Hongkong ini. Berkat pelayanannya yang hebat jumlah penumpangnya naik terus. Tahun ini akan mencapai 75 juta orang. Kian banyak saja pesawat yang ingin mendarat di Hongkong.

Akibatnya: landasannya kurang. Padahal sudah punya dua landasan. Harus membangun landasan ketiga. Biayanya: HKD 140 miliar. Atau hampir Rp 400 triliun.

Begitu mahal?

Tentu. Bandara Hongkong itu dibangun di pulau kecil. Tanahnya sudah habis. Harus bikin daratan baru. Di laut yang cukup dalam.

Kalau Anda lagi mendarat di Hongkong (dari arah barat), tengoklah ke kiri. Anda tentu melihat: kegiatan proyek di laut itu. Itulah proyek pembuatan landasan ketiga.

Peluang besar: harga pasir membumbung tinggi. Anda bisa jualan pasir ke Hongkong.

Setidaknya bagasi Anda telah ikut mewujudkan landasan ketiga itu.

Tapi saya, tidak akan seperti Anda. tidak ikut menyumbang.

Mengapa?

Saya jarang membawa bagasi.(dis)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/