Orang Hongkong kini bertanya-tanya: di mana Brian Leung? Ia adalah tokoh utama demo terbesar di Hongkong barusan. Juga yang naik ke meja pimpinan DPR tanggal 1 Juli lalu. Saat demonstran berhasil ia ajak menduduki DPR. Ia adalah asisten dosen. Idola mahasiswa. Umur 25 tahun. Wartawan juga mencari-cari Leung. Tidak ketemu. Sakit kah ia? Ngumpet kah ia? Di ‘ekstradisi’ kah ia? Cari suaka ke Amerika kah ia? Dalam demo besar sore kemarin Leung juga tidak tampak. Fokus demo Minggu sore kemarin pindah: ke Kowloon Barat. Di seberang Pulau Hongkong. Di situ terdapat stasiun kereta cepat. Baru setahun dibuka. Jurusan Guangzhou-Shenzhen-Hongkong. Stasiun itu jadi sasaran demo karena: dianggap lambang kian dalamnya Tiongkok masuk ke urusan Hongkong. Demo kemarin memang tidak sebesar bulan lalu. Yang mencapai puncaknya saat 1 juta anak muda turun ke jalan. Saat mereka minta agar draf UU ekstradisi dibatalkan. Mereka khawatir para aktivis politik akan dikriminalisasi. Lalu dikirim ke Tiongkok. Pihak pemerintah mengajukan draf itu dengan niat: agar Hongkong tidak jadi surga persembunyian para kriminal dan koruptor. Misalnya pembunuh pacar yang hamil itu. (DI’s Way: Demo Hamil ). Yang tidak bisa dikirim ke Taiwan untuk diadili di sana. Pembunuhannya dilakukan di Taiwan. Barang-barang buktinya ada di sana. Akhirnya ia hanya dijatuhi hukuman enam bulan. Bukan karena pembunuhan. Tapi karena mengantongi uang bukan miliknya. Milik pacar yang dibunuhnya. Demo adalah menu harian di Hongkong. Tapi belum pernah ada demo sebesar itu. Pemerintah terpaksa menunda pembahasan draf itu. Pun minggu lalu si pembunuh sudah bebas. Sudah selesai menjalani hukumannya. Tapi demonstrasi tetap berlangsung. Tiap hari. Dengan alasan baru: gugurkan draf itu. Jangan hanya ditunda. Pun kalau dibatalkan belum tentu demonya berakhir. Masih ada tuntutan lain: bebaskan demonstran yang ditahan. Ini agak sulit. Hukum di Hongkong tidak bisa dikompromikan dengan alasan politik. Maka demo pun terus berlangsung. Yang turun ke jalan tidak sebanyak bulan lalu. Tapi ada dua momentum yang mereka manfaatkan. Pertama, ada KTT G20 di Osaka. Tanggal 28 Juni. Para pemimpin 20 negara besar kumpul di sana. Harapan mereka: G20 turun tangan. Kedua, ada hari penting 1 Juli. Peringatan dikembalikannya Hongkong ke Tiongkok. Setelah 100 tahun disewa Inggris. Menjelang 1 Juli lalu demo meningkat lagi. Fokusnya pindah: ke lokasi acara peringatan 22 tahun pengembalian Hongkong itu. Target mereka: gagalkan acara itu. Turunkan bendera Tiongkok. Ini serius. Daripada meledak pemerintah mengerem diri: peringatannya kecil-kecilan saja. Kalau perlu dilakukan di dalam ruangan. Yang hadir terbatas. Bisa menyaksikan penaikan bendera lewat kamera TV. Akhirnya itulah yang berlangsung. Pertama kali dalam sejarah. Peringatan itu dilakukan sangat sederhana. Di dalam gedung pula. Kebetulan pagi itu Hongkong hujan deras. Dua hal itulah yang mengecewakan pendemo. Tiga orang frustrasi. Bunuh diri. G20 tidak membahasnya sama sekali. Peringatan 1 Juli pun tidak ada yang bisa digagalkan. Berlangsung pula demo tandingan. Yang tidak direkayasa. Cukup besar. Mendukung polisi. Yakni dari masyarakat yang lebih tua. Yang sudah merasa terganggu kehidupan sehari-harinya. Yang juga tidak ingin polisi terus dipojokkan. Pendemo cari akal lain. Fokusnya pindah ke DPR Hongkong. Target finalnya memang belum terumuskan dengan bulat. Tapi kelompok inti gerakan ini punya agenda khusus: Hongkong merdeka. Tujuan mereka: agar bisa menjadi negara demokrasi yang sebenarnya. Agar tidak dibawah Tiongkok yang otoriter. Mereka pun merancang demo ke DPR. Kalau perlu mendudukinya. Media Hongkong menulis: hari itu sekitar 100 tokoh muda berkumpul. Untuk melakukan pemungutan suara. Dengan cara unjuk tangan. Pertanyaanya: siapa yang ingin gerakan ini ditingkatkan lebih radikal? Semua mengangkat tangan. Siapa yang ingin gerakan ini berakhir di tahap ini? Tidak ada yang angkat tangan. Bulatlah tekad mereka. Menduduki DPR. Yang tidak dijaga ketat oleh aparat kepolisian. Gerbang DPR dijebol. Pintu kaca gedung itu dipecah. Tidak mudah. Kualitas kacanya sangat baik. Dengan berbagai hantaman besi akhirnya kaca itu pecah juga. Sebenarnya tidak ada yang ingin masuk ke DPR. Mereka tahu: itu melanggar hukum. Sudah melewati batas. Apalagi lewat kaca yang sengaja dihancurkan. Brian Leung lah yang masuk pertama. Asisten dosen ilmu politik inilah yang terus berteriak. Agar yang lain ikut masuk. Dengan prinsip: kian banyak yang masuk kian kecil resikonya. Polisi akan kewalahan. Maka ratusan demonstran menduduki DPR. Brian pun menuju meja pimpinan rapat. Ia pidato di situ. Menyampaikan misi utama gerakan itu: mempertahankan Hongkong yang demokratis. Pendemo yang lain melakukan corat-coret. Isinya, misi itu juga. Ada juga yang mencopot simbol-simbol yang berbau Tiongkok. Yang mengejutkan: di meja pimpinan itu Brian mencopot masker di wajahnya. Ia sampai pada pengambilan resiko tertingginya. Terang-terangan: inilah saya! Yang lain tetap mengenakan masker penutup wajah. Mereka lantas bubar. Setelah mendengar polisi akan mengambil tindakan hukum. Gedung DPR lumpuh. Untuk enam bulan ke depan. Perbaikan yang harus dilakukan cukup besar. Gerakan ini kelihatannya terinspirasi ‘Gerakan Bunga Matahari’. Yang terjadi di Taiwan. Tahun 2014. Yang dianggap sebagai satu sukses besar. Waktu itu Partai Komintang menang besar di Taiwan. Dengan presiden Ma Ying Jiou. Yang sangat pro-Tiongkok. Saat itulah hubungan Taiwan dan daratan mencapai puncak keakrabannya. Lalu pemerintah mengajukan draf UU tentang hubungan dagang ‘dua pantai’. Mereka menghindari term ‘dua negara’. Draf itulah yang didemo besar-besaran. Dianggap terlalu jauh. Sudah mengarah ke penyatuan ekonomi. Yang dianggap sebagai jalan menuju penyatuan politik. Gerakan ‘Bunga Matahari’ (Sunflower) sangat besar. Lalu menduduki DPR. Sampai pemerintah menyerah. Draf dibatalkan. Komintang babak belur. Padahal sudah saatnya Pemilu.Komintang pun kalah telak. Pro kemerdekaan yang menang. Tsai Ing Wen menjadi presiden. Hubungan ‘dua pantai’ menjadi penuh ombak. Sampai sekarang. Taiwan tidak tenang. Konstelasi politik pun berubah lagi. Di Pilkada serentak tahun lalu Komintang menang lagi di mana-mana. Pertanda pro kemerdekaan akan kalah di Pemilu tahun depan. G20 sudah lewat. Peringatan 1 Juli sudah berlangsung. DPR sudah pernah diduduki. Tapi belum bisa seperti Sunflower di Taiwan. Brian pun lagi tidak diketahui keberadaannya. Sebenarnya Brian sudah dalam proses melanjutkan kuliah. Akan menempuh S3-nya. Menurut rencana ia akan mengambil gelar doktor itu di Seattle. Di Washington University. Mungkin Brian sudah di sana. Atau di satu tempat di daratan seberangnya. Atau Anda tahu di mana?(Dahlan Iskan)
Brian Leung
Orang Hongkong kini bertanya-tanya: di mana Brian Leung? Ia adalah tokoh utama demo terbesar di Hongkong barusan. Juga yang naik ke meja pimpinan DPR tanggal 1 Juli lalu. Saat demonstran berhasil ia ajak menduduki DPR. Ia adalah asisten dosen. Idola mahasiswa. Umur 25 tahun. Wartawan juga mencari-cari Leung. Tidak ketemu. Sakit kah ia? Ngumpet kah ia? Di ‘ekstradisi’ kah ia? Cari suaka ke Amerika kah ia? Dalam demo besar sore kemarin Leung juga tidak tampak. Fokus demo Minggu sore kemarin pindah: ke Kowloon Barat. Di seberang Pulau Hongkong. Di situ terdapat stasiun kereta cepat. Baru setahun dibuka. Jurusan Guangzhou-Shenzhen-Hongkong. Stasiun itu jadi sasaran demo karena: dianggap lambang kian dalamnya Tiongkok masuk ke urusan Hongkong. Demo kemarin memang tidak sebesar bulan lalu. Yang mencapai puncaknya saat 1 juta anak muda turun ke jalan. Saat mereka minta agar draf UU ekstradisi dibatalkan. Mereka khawatir para aktivis politik akan dikriminalisasi. Lalu dikirim ke Tiongkok. Pihak pemerintah mengajukan draf itu dengan niat: agar Hongkong tidak jadi surga persembunyian para kriminal dan koruptor. Misalnya pembunuh pacar yang hamil itu. (DI’s Way: Demo Hamil ). Yang tidak bisa dikirim ke Taiwan untuk diadili di sana. Pembunuhannya dilakukan di Taiwan. Barang-barang buktinya ada di sana. Akhirnya ia hanya dijatuhi hukuman enam bulan. Bukan karena pembunuhan. Tapi karena mengantongi uang bukan miliknya. Milik pacar yang dibunuhnya. Demo adalah menu harian di Hongkong. Tapi belum pernah ada demo sebesar itu. Pemerintah terpaksa menunda pembahasan draf itu. Pun minggu lalu si pembunuh sudah bebas. Sudah selesai menjalani hukumannya. Tapi demonstrasi tetap berlangsung. Tiap hari. Dengan alasan baru: gugurkan draf itu. Jangan hanya ditunda. Pun kalau dibatalkan belum tentu demonya berakhir. Masih ada tuntutan lain: bebaskan demonstran yang ditahan. Ini agak sulit. Hukum di Hongkong tidak bisa dikompromikan dengan alasan politik. Maka demo pun terus berlangsung. Yang turun ke jalan tidak sebanyak bulan lalu. Tapi ada dua momentum yang mereka manfaatkan. Pertama, ada KTT G20 di Osaka. Tanggal 28 Juni. Para pemimpin 20 negara besar kumpul di sana. Harapan mereka: G20 turun tangan. Kedua, ada hari penting 1 Juli. Peringatan dikembalikannya Hongkong ke Tiongkok. Setelah 100 tahun disewa Inggris. Menjelang 1 Juli lalu demo meningkat lagi. Fokusnya pindah: ke lokasi acara peringatan 22 tahun pengembalian Hongkong itu. Target mereka: gagalkan acara itu. Turunkan bendera Tiongkok. Ini serius. Daripada meledak pemerintah mengerem diri: peringatannya kecil-kecilan saja. Kalau perlu dilakukan di dalam ruangan. Yang hadir terbatas. Bisa menyaksikan penaikan bendera lewat kamera TV. Akhirnya itulah yang berlangsung. Pertama kali dalam sejarah. Peringatan itu dilakukan sangat sederhana. Di dalam gedung pula. Kebetulan pagi itu Hongkong hujan deras. Dua hal itulah yang mengecewakan pendemo. Tiga orang frustrasi. Bunuh diri. G20 tidak membahasnya sama sekali. Peringatan 1 Juli pun tidak ada yang bisa digagalkan. Berlangsung pula demo tandingan. Yang tidak direkayasa. Cukup besar. Mendukung polisi. Yakni dari masyarakat yang lebih tua. Yang sudah merasa terganggu kehidupan sehari-harinya. Yang juga tidak ingin polisi terus dipojokkan. Pendemo cari akal lain. Fokusnya pindah ke DPR Hongkong. Target finalnya memang belum terumuskan dengan bulat. Tapi kelompok inti gerakan ini punya agenda khusus: Hongkong merdeka. Tujuan mereka: agar bisa menjadi negara demokrasi yang sebenarnya. Agar tidak dibawah Tiongkok yang otoriter. Mereka pun merancang demo ke DPR. Kalau perlu mendudukinya. Media Hongkong menulis: hari itu sekitar 100 tokoh muda berkumpul. Untuk melakukan pemungutan suara. Dengan cara unjuk tangan. Pertanyaanya: siapa yang ingin gerakan ini ditingkatkan lebih radikal? Semua mengangkat tangan. Siapa yang ingin gerakan ini berakhir di tahap ini? Tidak ada yang angkat tangan. Bulatlah tekad mereka. Menduduki DPR. Yang tidak dijaga ketat oleh aparat kepolisian. Gerbang DPR dijebol. Pintu kaca gedung itu dipecah. Tidak mudah. Kualitas kacanya sangat baik. Dengan berbagai hantaman besi akhirnya kaca itu pecah juga. Sebenarnya tidak ada yang ingin masuk ke DPR. Mereka tahu: itu melanggar hukum. Sudah melewati batas. Apalagi lewat kaca yang sengaja dihancurkan. Brian Leung lah yang masuk pertama. Asisten dosen ilmu politik inilah yang terus berteriak. Agar yang lain ikut masuk. Dengan prinsip: kian banyak yang masuk kian kecil resikonya. Polisi akan kewalahan. Maka ratusan demonstran menduduki DPR. Brian pun menuju meja pimpinan rapat. Ia pidato di situ. Menyampaikan misi utama gerakan itu: mempertahankan Hongkong yang demokratis. Pendemo yang lain melakukan corat-coret. Isinya, misi itu juga. Ada juga yang mencopot simbol-simbol yang berbau Tiongkok. Yang mengejutkan: di meja pimpinan itu Brian mencopot masker di wajahnya. Ia sampai pada pengambilan resiko tertingginya. Terang-terangan: inilah saya! Yang lain tetap mengenakan masker penutup wajah. Mereka lantas bubar. Setelah mendengar polisi akan mengambil tindakan hukum. Gedung DPR lumpuh. Untuk enam bulan ke depan. Perbaikan yang harus dilakukan cukup besar. Gerakan ini kelihatannya terinspirasi ‘Gerakan Bunga Matahari’. Yang terjadi di Taiwan. Tahun 2014. Yang dianggap sebagai satu sukses besar. Waktu itu Partai Komintang menang besar di Taiwan. Dengan presiden Ma Ying Jiou. Yang sangat pro-Tiongkok. Saat itulah hubungan Taiwan dan daratan mencapai puncak keakrabannya. Lalu pemerintah mengajukan draf UU tentang hubungan dagang ‘dua pantai’. Mereka menghindari term ‘dua negara’. Draf itulah yang didemo besar-besaran. Dianggap terlalu jauh. Sudah mengarah ke penyatuan ekonomi. Yang dianggap sebagai jalan menuju penyatuan politik. Gerakan ‘Bunga Matahari’ (Sunflower) sangat besar. Lalu menduduki DPR. Sampai pemerintah menyerah. Draf dibatalkan. Komintang babak belur. Padahal sudah saatnya Pemilu.Komintang pun kalah telak. Pro kemerdekaan yang menang. Tsai Ing Wen menjadi presiden. Hubungan ‘dua pantai’ menjadi penuh ombak. Sampai sekarang. Taiwan tidak tenang. Konstelasi politik pun berubah lagi. Di Pilkada serentak tahun lalu Komintang menang lagi di mana-mana. Pertanda pro kemerdekaan akan kalah di Pemilu tahun depan. G20 sudah lewat. Peringatan 1 Juli sudah berlangsung. DPR sudah pernah diduduki. Tapi belum bisa seperti Sunflower di Taiwan. Brian pun lagi tidak diketahui keberadaannya. Sebenarnya Brian sudah dalam proses melanjutkan kuliah. Akan menempuh S3-nya. Menurut rencana ia akan mengambil gelar doktor itu di Seattle. Di Washington University. Mungkin Brian sudah di sana. Atau di satu tempat di daratan seberangnya. Atau Anda tahu di mana?(Dahlan Iskan)